Kamis, 24 Juli 2025

Aku Ingin Masyarakat Indonesia Serius Mengikis Pembajakan Buku

 Pendahuluan

 

Obral buku bajakan akan tetap laris terutama ketika harga buku asli dirasa begitu mencekik. Situasi ini kerap dialami oleh para pembaca—kasarnya—kere atau pembaca pasif yang terdesak tugas sekolah atau kuliah, tanpa tahu-menahu yang dibelinya merupakan buku bajakan.

 

Menurut data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), sekitar 30 persen buku yang beredar di pasar adalah buku bajakan. Artinya, dari setiap 10 buku yang beredar, bisa jadi tiga di antaranya adalah hasil fotokopi berjilid atau cetakan ilegal. Tambah lagi, riset dari Yayasan TIFA (2020) menunjukkan lebih dari 60 persen pelajar dan mahasiswa Indonesia mengaku pernah membaca atau memiliki buku bajakan. Jadi, jelas ini bukan masalah satu dua orang yang “salah beli”, melainkan gejala sistemik yang dibiarkan hidup dan bahkan dinikmati.

 

Bagi para pembaca ulung, mudah saja membedakan bajakan atau tidaknya buku meski sekilas melihatnya, karena perbandingan kualitas pencetakan dari keduanya yang begitu jomplang. Contoh paling sederhana yang tampak dari luar adalah sampul buku. Pigmen warna tinta yang digunakan pada sampul buku bajakan dipastikan lebih rendah, sehingga tampak warna yang buram dan detail-detail yang rusak. Hal itu terjadi karena upaya memangkas cost pencetakan agar mencapai target jual miring dari buku aslinya. Harga miring ini yang diminati para pembaca newbie atau pembaca pasif yang belum menginginkan kenyamanan dalam membaca—toh, beli buku cuma menuhin tugas.

 

Tambahan lagi, kita hidup di negara yang tak punya sistem subsidi buku yang layak. Pemerintah tampaknya belum menaruh buku dalam keranjang kebutuhan pokok, dan hasilnya bisa ditebak: masyarakat kesulitan membeli buku asli, lalu pelan-pelan terbiasa dengan yang bajakan. Dan ketika bajakan jadi "opsi normal", siapa yang bisa disalahkan? Pembacanya? Penjualnya? Pemerintahnya? Anda boleh menunjuk siapa pun, bahkan kalau perlu—silakan mengumpatnya.

 

Isi

Menanggapi fenomena ini, saya berkaca pada masa lalu pribadi: menjadi pembaca yang tak kenal memilah buku sehingga menimbulkan penyesalan yang sangat literal—menumpuk buku bajakan yang sampulnya mengelupas dan lembarannya bercecer tak karuan. Niatnya mau jadi rak buku estetik, ujungnya malah kayak tumpukan berkas kelurahan.

Ada beberapa tindakan sederhana yang bisa dicoba—langkah awal dari seorang pembaca biasa yang (akhirnya) insaf.

 

1. Membeli buku bekas

Langkah paling realistis buat dompet mepet. Buku bekas yang asli lebih menjanjikan daripada buku bajakan baru. Banyak dijual online maupun di pasar buku loak. Dan yang paling penting: kita nggak merasa berdosa tiap kali buka halamannya.

 

2. Manfaatkan perpustakaan digital

Kalau malas ke perpustakaan fisik, ada iPusnas, Gramedia Digital, dan platform semacam itu yang menyediakan akses legal ke ribuan buku. Beberapa gratis, sebagian lain bisa diakses dengan biaya langganan yang masih jauh lebih masuk akal daripada membeli bajakan.

 

3. Tunggu diskonan resmi

Kalau ingin buku tertentu, tahan dulu. Tunggu momen Harbolnas, Hari Buku Nasional, atau promo akhir tahun. Toko-toko besar sering kasih potongan sampai 50%. Ini kayak sabar nunggu THR—hasilnya lebih memuaskan daripada beli instan tapi ilegal.

 

4. Suarakan terus soal pembajakan

Sekecil apa pun, edukasi itu penting. Jangan bosan ngomongin ke teman, adik kelas, bahkan ke dosen—bahwa beli bajakan itu merugikan banyak pihak. Kalau kita pembaca, tugas kita bukan cuma baca, tapi juga jaga ekosistem bacaan tetap sehat.

 

Penutup

 

Pembajakan buku bukan semata soal etika individu, tapi soal ekosistem yang dibiarkan pincang bertahun-tahun. Ketika buku bagus mahal, subsidi tak ada, hukum tumpul, dan budaya baca masih setengah hati, maka bajakan akan tetap jadi jalan pintas yang terlalu menggoda.

 

Tapi tetap ada harapan. Kalau pembaca mulai sadar, kalau penerbit makin terbuka soal akses, dan kalau pemerintah mau turun tangan lebih serius—barangkali, suatu hari nanti, kita bisa membaca dengan lebih tenang. Tanpa rasa bersalah, tanpa tinta buram, dan tanpa harus memilih antara dompet atau penulis..


Oleh: Naufal Mukrimi (20240110029_PBSIC-01)

 

0 komentar:

Posting Komentar

Aku Ingin Masyarakat Indonesia Serius Mengikis Pembajakan Buku

  Pendahuluan   Obral buku bajakan akan tetap laris terutama ketika harga buku asli dirasa begitu mencekik. Situasi ini kerap dialami ol...