Obral buku bajakan akan tetap
laris terutama ketika harga buku asli dirasa begitu mencekik. Situasi ini kerap
dialami oleh para pembaca—kasarnya—kere atau pembaca pasif yang terdesak tugas
sekolah atau kuliah, tanpa tahu-menahu yang dibelinya merupakan buku bajakan.
Menurut data dari Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI), sekitar 30 persen buku yang beredar di pasar adalah
buku bajakan. Artinya, dari setiap 10 buku yang beredar, bisa jadi tiga di
antaranya adalah hasil fotokopi berjilid atau cetakan ilegal. Tambah lagi,
riset dari Yayasan TIFA (2020) menunjukkan lebih dari 60 persen pelajar dan
mahasiswa Indonesia mengaku pernah membaca atau memiliki buku bajakan. Jadi,
jelas ini bukan masalah satu dua orang yang “salah beli”, melainkan gejala sistemik
yang dibiarkan hidup dan bahkan dinikmati.
Bagi para pembaca ulung, mudah
saja membedakan bajakan atau tidaknya buku meski sekilas melihatnya, karena
perbandingan kualitas pencetakan dari keduanya yang begitu jomplang. Contoh
paling sederhana yang tampak dari luar adalah sampul buku. Pigmen warna tinta
yang digunakan pada sampul buku bajakan dipastikan lebih rendah, sehingga
tampak warna yang buram dan detail-detail yang rusak. Hal itu terjadi karena
upaya memangkas cost pencetakan agar mencapai target jual miring dari
buku aslinya. Harga miring ini yang diminati para pembaca newbie atau
pembaca pasif yang belum menginginkan kenyamanan dalam membaca—toh, beli buku
cuma menuhin tugas.
Tambahan lagi, kita hidup di
negara yang tak punya sistem subsidi buku yang layak. Pemerintah tampaknya
belum menaruh buku dalam keranjang kebutuhan pokok, dan hasilnya bisa ditebak:
masyarakat kesulitan membeli buku asli, lalu pelan-pelan terbiasa dengan yang
bajakan. Dan ketika bajakan jadi "opsi normal", siapa yang bisa
disalahkan? Pembacanya? Penjualnya? Pemerintahnya? Anda boleh menunjuk siapa
pun, bahkan kalau perlu—silakan mengumpatnya.
Isi
Menanggapi fenomena ini, saya
berkaca pada masa lalu pribadi: menjadi pembaca yang tak kenal memilah buku
sehingga menimbulkan penyesalan yang sangat literal—menumpuk buku
bajakan yang sampulnya mengelupas dan lembarannya bercecer tak karuan. Niatnya
mau jadi rak buku estetik, ujungnya malah kayak tumpukan berkas kelurahan.
Ada beberapa tindakan sederhana
yang bisa dicoba—langkah awal dari seorang pembaca biasa yang (akhirnya) insaf.
1. Membeli buku bekas
Langkah paling realistis buat
dompet mepet. Buku bekas yang asli lebih menjanjikan daripada buku bajakan
baru. Banyak dijual online maupun di pasar buku loak. Dan yang paling
penting: kita nggak merasa berdosa tiap kali buka halamannya.
2. Manfaatkan perpustakaan
digital
Kalau malas ke perpustakaan
fisik, ada iPusnas, Gramedia Digital, dan platform semacam itu yang
menyediakan akses legal ke ribuan buku. Beberapa gratis, sebagian lain bisa
diakses dengan biaya langganan yang masih jauh lebih masuk akal daripada
membeli bajakan.
3. Tunggu diskonan resmi
Kalau ingin buku tertentu,
tahan dulu. Tunggu momen Harbolnas, Hari Buku Nasional, atau promo akhir tahun.
Toko-toko besar sering kasih potongan sampai 50%. Ini kayak sabar nunggu
THR—hasilnya lebih memuaskan daripada beli instan tapi ilegal.
4. Suarakan terus soal
pembajakan
Sekecil apa pun, edukasi itu
penting. Jangan bosan ngomongin ke teman, adik kelas, bahkan ke dosen—bahwa
beli bajakan itu merugikan banyak pihak. Kalau kita pembaca, tugas kita bukan
cuma baca, tapi juga jaga ekosistem bacaan tetap sehat.
Penutup
Pembajakan buku bukan semata
soal etika individu, tapi soal ekosistem yang dibiarkan pincang bertahun-tahun.
Ketika buku bagus mahal, subsidi tak ada, hukum tumpul, dan budaya baca masih
setengah hati, maka bajakan akan tetap jadi jalan pintas yang terlalu menggoda.
Tapi tetap ada harapan. Kalau
pembaca mulai sadar, kalau penerbit makin terbuka soal akses, dan kalau
pemerintah mau turun tangan lebih serius—barangkali, suatu hari nanti, kita
bisa membaca dengan lebih tenang. Tanpa rasa bersalah, tanpa tinta buram, dan
tanpa harus memilih antara dompet atau penulis..
Oleh: Naufal Mukrimi (20240110029_PBSIC-01)
0 komentar:
Posting Komentar