Selasa, 01 Juli 2025

Mimpi yang tertunda: Realita Akses Pendidikan Tinggi di Indonesia

Menurut laporan resmi Statistik Pemuda Indonesia 2024 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemuda Indonesia yang berusia 16–30 tahun mencapai 64,22 juta jiwa, setara dengan sekitar 20% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, distribusi tempat tinggal menunjukkan bahwa sekitar 60,72% pemuda tinggal di wilayah perkotaan, sementara 39,28% berada di pedesaan, yang berimplikasi besar terhadap akses mereka terhadap pendidikan dan layanan publik lainnya. Dalam hal tingkat pendidikan, data Susenas Maret 2024 mengungkap bahwa 40,94% pemuda Indonesia merupakan lulusan SMA/SMK atau sederajat, sementara yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi (D3, D4, S1, S2, atau S3) hanya mencapai 11,39%. Sebaliknya, masih terdapat persentase cukup besar yang hanya tamat SMP (sekitar 21,17%) dan bahkan SD atau tidak tamat sekolah sama sekali (11,63%). Angka-angka ini mencerminkan bahwa sebagian besar pemuda Indonesia belum berhasil menembus jenjang pendidikan tinggi, meskipun mereka berada pada usia produktif yang ideal untuk menempuh pendidikan lanjutan.

 

Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat struktural maupun geografis. Salah satu penyebab utama adalah keterbatasan ekonomi keluarga, yang membuat banyak pemuda tidak mampu membiayai pendidikan tinggi, baik karena mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) maupun biaya hidup di kota besar. Selain itu, faktor geografis juga memainkan peran penting, terutama bagi pemuda yang tinggal di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang minim akses terhadap perguruan tinggi. Faktor lain adalah daya tampung perguruan tinggi negeri dan swasta yang masih terbatas dibandingkan dengan jumlah lulusan SMA/SMK setiap tahunnya, menyebabkan banyak pemuda tidak mendapat tempat di bangku kuliah. Akibatnya, dari lebih dari 64 juta pemuda, hanya sekitar 7,3 juta yang mengenyam pendidikan tinggi, sementara lebih dari 56 juta lainnya belum berkesempatan memperoleh keterampilan akademik tingkat lanjut yang sangat dibutuhkan di era ekonomi berbasis pengetahuan. Masalah ini menegaskan pentingnya kebijakan afirmatif dari pemerintah seperti perluasan beasiswa, pembangunan perguruan tinggi di daerah terpencil, penguatan sistem pendidikan vokasi, serta peningkatan fleksibilitas sistem pendidikan tinggi untuk merangkul lebih banyak pemuda Indonesia.

Melihat potensi besar pemuda Indonesia, harapannya adalah:

Harapan ke depan adalah terciptanya sistem pendidikan tinggi nasional yang inklusif, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan semua lapisan masyarakat. Ketika pemuda di pedalaman Papua atau Nusa Tenggara memiliki akses yang sama seperti pemuda di Jakarta atau Bandung untuk masuk perguruan tinggi, maka Indonesia benar-benar telah membangun pondasi keadilan sosial.

Pendidikan tinggi bukan semata-mata soal gelar akademik, melainkan alat mobilitas sosial. Ia memberi harapan pada anak petani, nelayan, dan buruh untuk bisa meraih kehidupan lebih baik. Dalam konteks era industri 5.0 yang menuntut kreativitas, inovasi, dan keterampilan digital, peningkatan kualitas dan jangkauan pendidikan tinggi menjadi kunci utama untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh dan kompetitif secara global.

Untuk mewujudkan harapan di atas, beberapa langkah dapat diambil oleh pemerintah dan masyarakat:

1.     Perluasan dan pemerataan Beasiswa

Pemerintah perlu meningkatkan cakupan beasiswa seperti KIP Kuliah dan LPDP tidak hanya bagi mereka yang berprestasi, tapi juga bagi pemuda dari keluarga rentan di wilayah 3T. Skema beasiswa juga harus mempertimbangkan biaya hidup, bukan sekadar UKT, agar mahasiswa tidak terhenti di tengah jalan karena kendala ekonomi.

2.     Pembangunan Perguruan Tinggi di Wilayah Terpencil

Saat ini, konsentrasi kampus masih menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan cabang atau kampus satelit di wilayah timur Indonesia, perbatasan, atau daerah terpencil perlu diperluas agar pemuda lokal memiliki kesempatan belajar tanpa harus merantau jauh.

3.     Penguatan Pendidikan vokasi dan Politeknik

Pendidikan tinggi tidak selalu berarti universitas. Pendidikan vokasi seperti politeknik dan akademi komunitas dapat menjadi jalur cepat bagi pemuda untuk memperoleh keterampilan kerja yang dibutuhkan industri lokal, sehingga dapat mengurangi pengangguran terdidik.

4.     Peningkatan daya tampung PTN dan PTS

Keterbatasan daya tampung PTN menjadi salah satu penghambat utama. Pemerintah perlu mendorong kerja sama antara PTN dan PTS agar distribusi mahasiswa lebih merata, sekaligus meningkatkan akreditasi dan kualitas PTS di daerah.

5.     Digitalisasi dan Fleksibilitas Pendidikan Tinggi

Dengan perkembangan teknologi, model perkuliahan daring atau hybrid perlu diperluas. Sistem pembelajaran jarak jauh yang murah, mudah diakses, dan berkualitas akan memungkinkan pemuda dari berbagai daerah mengikuti pendidikan tinggi tanpa harus berpindah domisili.

6.     Keterlibatan Sektor Swasta dan Dunia Industri

Dunia industri perlu dilibatkan dalam penyediaan beasiswa, magang berbayar, dan program pelatihan bagi pemuda yang belum mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Kolaborasi ini dapat menghubungkan lulusan SMA/SMK langsung ke dunia kerja yang relevan.



Oleh: Salfa Fitria Rahmawati ( 20240110019_PBSI-01 )


0 komentar:

Posting Komentar

Aku Ingin Masyarakat Indonesia Serius Mengikis Pembajakan Buku

  Pendahuluan   Obral buku bajakan akan tetap laris terutama ketika harga buku asli dirasa begitu mencekik. Situasi ini kerap dialami ol...