Menurut laporan resmi Statistik Pemuda Indonesia 2024 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemuda Indonesia yang berusia 16–30 tahun mencapai 64,22 juta jiwa, setara dengan sekitar 20% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, distribusi tempat tinggal menunjukkan bahwa sekitar 60,72% pemuda tinggal di wilayah perkotaan, sementara 39,28% berada di pedesaan, yang berimplikasi besar terhadap akses mereka terhadap pendidikan dan layanan publik lainnya. Dalam hal tingkat pendidikan, data Susenas Maret 2024 mengungkap bahwa 40,94% pemuda Indonesia merupakan lulusan SMA/SMK atau sederajat, sementara yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi (D3, D4, S1, S2, atau S3) hanya mencapai 11,39%. Sebaliknya, masih terdapat persentase cukup besar yang hanya tamat SMP (sekitar 21,17%) dan bahkan SD atau tidak tamat sekolah sama sekali (11,63%). Angka-angka ini mencerminkan bahwa sebagian besar pemuda Indonesia belum berhasil menembus jenjang pendidikan tinggi, meskipun mereka berada pada usia produktif yang ideal untuk menempuh pendidikan lanjutan.
Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor yang
bersifat struktural maupun geografis. Salah satu penyebab utama adalah
keterbatasan ekonomi keluarga, yang membuat banyak pemuda tidak mampu membiayai
pendidikan tinggi, baik karena mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) maupun biaya
hidup di kota besar. Selain itu, faktor geografis juga memainkan peran penting,
terutama bagi pemuda yang tinggal di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan
terluar) yang minim akses terhadap perguruan tinggi. Faktor lain adalah daya
tampung perguruan tinggi negeri dan swasta yang masih terbatas dibandingkan
dengan jumlah lulusan SMA/SMK setiap tahunnya, menyebabkan banyak pemuda tidak
mendapat tempat di bangku kuliah. Akibatnya, dari lebih dari 64 juta pemuda,
hanya sekitar 7,3 juta yang mengenyam pendidikan tinggi, sementara lebih dari
56 juta lainnya belum berkesempatan memperoleh keterampilan akademik tingkat
lanjut yang sangat dibutuhkan di era ekonomi berbasis pengetahuan. Masalah ini
menegaskan pentingnya kebijakan afirmatif dari pemerintah seperti perluasan
beasiswa, pembangunan perguruan tinggi di daerah terpencil, penguatan sistem
pendidikan vokasi, serta peningkatan fleksibilitas sistem pendidikan tinggi
untuk merangkul lebih banyak pemuda Indonesia.
Melihat potensi besar pemuda Indonesia, harapannya
adalah:
Harapan ke depan adalah terciptanya sistem pendidikan
tinggi nasional yang inklusif, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan semua
lapisan masyarakat. Ketika pemuda di pedalaman Papua atau Nusa Tenggara
memiliki akses yang sama seperti pemuda di Jakarta atau Bandung untuk masuk
perguruan tinggi, maka Indonesia benar-benar telah membangun pondasi keadilan
sosial.
Pendidikan tinggi bukan semata-mata soal gelar
akademik, melainkan alat mobilitas sosial. Ia memberi harapan pada anak
petani, nelayan, dan buruh untuk bisa meraih kehidupan lebih baik. Dalam
konteks era industri 5.0 yang menuntut kreativitas, inovasi, dan keterampilan
digital, peningkatan kualitas dan jangkauan pendidikan tinggi menjadi kunci
utama untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh dan kompetitif secara global.
Untuk mewujudkan harapan di atas, beberapa langkah
dapat diambil oleh pemerintah dan masyarakat:
1.
Perluasan
dan pemerataan Beasiswa
Pemerintah perlu meningkatkan cakupan beasiswa
seperti KIP Kuliah dan LPDP tidak hanya bagi mereka yang berprestasi, tapi juga
bagi pemuda dari keluarga rentan di wilayah 3T. Skema beasiswa juga harus
mempertimbangkan biaya hidup, bukan sekadar UKT, agar mahasiswa tidak terhenti
di tengah jalan karena kendala ekonomi.
2. Pembangunan
Perguruan Tinggi di Wilayah Terpencil
Saat ini, konsentrasi kampus masih menumpuk di
kota-kota besar. Pembangunan cabang atau kampus satelit di wilayah timur
Indonesia, perbatasan, atau daerah terpencil perlu diperluas agar pemuda lokal
memiliki kesempatan belajar tanpa harus merantau jauh.
3.
Penguatan
Pendidikan vokasi dan Politeknik
Pendidikan tinggi tidak selalu berarti universitas.
Pendidikan vokasi seperti politeknik dan akademi komunitas dapat menjadi jalur
cepat bagi pemuda untuk memperoleh keterampilan kerja yang dibutuhkan industri
lokal, sehingga dapat mengurangi pengangguran terdidik.
4.
Peningkatan
daya tampung PTN dan PTS
Keterbatasan daya tampung PTN menjadi salah satu
penghambat utama. Pemerintah perlu mendorong kerja sama antara PTN dan PTS agar
distribusi mahasiswa lebih merata, sekaligus meningkatkan akreditasi dan
kualitas PTS di daerah.
5.
Digitalisasi
dan Fleksibilitas Pendidikan Tinggi
Dengan perkembangan teknologi, model perkuliahan
daring atau hybrid perlu diperluas. Sistem pembelajaran jarak jauh yang murah,
mudah diakses, dan berkualitas akan memungkinkan pemuda dari berbagai daerah
mengikuti pendidikan tinggi tanpa harus berpindah domisili.
6.
Keterlibatan
Sektor Swasta dan Dunia Industri
Dunia industri perlu dilibatkan dalam penyediaan
beasiswa, magang berbayar, dan program pelatihan bagi pemuda yang belum mampu
melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Kolaborasi ini dapat menghubungkan
lulusan SMA/SMK langsung ke dunia kerja yang relevan.







0 komentar:
Posting Komentar