Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Selasa, 24 Juni 2025

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan



Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. Tak ada atap permanen, hanya payung lusuh penangkal terik dan hujan. Namun dari tempat itulah, pedagang kaki lima menggantungkan harapan. Bukan sekadar mencari nafkah, tapi merajut mimpi tentang pendidikan anak, rumah yang lebih layak, hingga kehidupan yang lebih tenang. Langkah mereka mungkin kecil, tapi semangatnya menghidupi denyut kota ini.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Jawa Barat Pada tahun 2023, tercatat 16.485 unit usaha mikro dan kecil di Kabupaten Kuningan, mayoritas berupa pedagang kaki lima. Di balik angka tersebut, tersimpan perjuangan berat menghadapi keterbatasan modal, cuaca tak menentu, dan persaingan yang ketat. Meski menjadi tulang punggung ekonomi lokal, kehidupan mereka tetap rapuh dan sangat membutuhkan dukungan untuk bertahan dan berkembang.

Salah satu pedagang yang ditemui di lokasi mengungkapkan bahwa dirinya mulai berjualan di tempat tersebut sejak tahun 2021. Sebelumnya, ia sempat berjualan di sisi barat area itu, namun kemudian memutuskan untuk pindah ke lokasi sekarang demi mendapatkan tempat yang lebih strategis dan ramai pengunjung. “Awalnya saya bukan berjualan di sini, tapi di barat. Lalu pindah ke sini tahun 2021,” ujarnya. Ia mengaku cukup nyaman berjualan di lokasi saat ini meskipun tetap ada tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kondisi cuaca. Salah satu pedagang lainnya mengatakan bahwa meskipun secara umum tidak ada kesulitan besar dalam berdagang, namun ketika cuaca tidak mendukung seperti hujan deras yang turun dari siang hingga malam, aktivitas jual beli menjadi sangat sepi. “Kalau hujan dari siang sampai malam, ya begini lah resikonya orang dagang. Pembeli jadi malas keluar rumah,” tuturnya sambil merapikan barang dagangannya. Kondisi ini membuat para pedagang harus bersabar dan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menarik minat pelanggan di tengah cuaca yang tidak bersahabat.

Selain persoalan cuaca, ketersediaan tempat untuk berjualan juga menjadi perhatian penting bagi para pedagang. Seorang pedagang yang sudah berjualan selama lima tahun berharap agar pemerintah dapat memperhatikan kebutuhan para pelaku usaha kecil dengan menyediakan lahan atau tempat yang lebih luas dan layak. “Kalau bisa sih memperbanyak lahannya, supaya semua pedagang punya tempat berjualan yang layak,” katanya. Ia menilai bahwa ketersediaan tempat usaha yang memadai merupakan salah satu bentuk dukungan nyata dari pemerintah terhadap pengembangan ekonomi rakyat kecil.

Tak hanya itu, bagi sebagian pedagang, usaha yang mereka jalankan ini bukan sekadar mencari nafkah harian, melainkan juga sebagai harapan untuk masa depan keluarga. Salah seorang pedagang dengan penuh semangat menyampaikan harapannya agar usahanya bisa berkembang dan membuka cabang baru di masa depan. “Semoga saya bisa menambah cabang untuk menghidupi keluarga,” ujarnya sambil tersenyum. Harapan tersebut mencerminkan semangat dan tekad para pelaku usaha kecil dalam membangun kehidupan yang lebih baik, meski di tengah keterbatasan dan tantangan yang mereka hadapi setiap hari.

Di balik asap gorengan dan tumpukan piring plastik, tersimpan harapan yang tak pernah padam.
Bagi mereka, dagangan ini bukan sekadar soal makan, tapi tentang martabat, mimpi, dan masa depan.

Maka, saat kita menikmati makanan kaki lima, mari kita lihat lebih dalam. Ada tangan-tangan gigih yang bekerja, dan ada harapan yang terus menyala.

Senin, 23 Juni 2025

Ngomong Sama Diri Sendiri: Wajar atau Gila?

Pernah nggak, kamu lagi jalan sendiri terus ngomel sendiri? Atau sedang stres, lalu berbisik pelan, “Ayo bisa, semangat, ini belum selesai!” Nah, kebiasaan ini sering bikin orang bertanya-tanya: ini gue waras nggak sih? Atau... gue udah gila”

Padahal faktanya, berbicara pada diri sendiri itu bukan hal aneh, bahkan bisa jadi tanda sehat mental—selama tahu batasnya.

Self-talk: Antara Gila dan Strategi Mental

Secara ilmiah, fenomena ini disebut self-talk, yaitu dialog internal atau ucapan yang seseorang tujukan kepada dirinya sendiri. Menurut studi yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology oleh Ethan Kross dan Jason Moser (2014), self-talk—terutama yang menggunakan penyebutan diri dalam kata ganti orang ketiga seperti “Kamu bisa, Meyren!”—dapat membantu individu mengelola stres dan kecemasan dengan lebih baik. Jadi, ini bukan kegilaan, tapi strategi pengaturan emosi!

Self-talk terbagi menjadi dua: positif dan negatif. Self-talk positif bisa memperkuat motivasi, membantu pengambilan keputusan, dan mengurangi kecemasan. Sementara itu, self-talk negatif bisa memperburuk kondisi psikologis, apalagi jika diulang terus-menerus.

Mengapa Kita Suka Ngomong Sendiri?

Menurut American Psychological Association (APA), kebiasaan berbicara kepada diri sendiri terjadi karena otak sedang memproses informasi, memperkuat ingatan, hingga menyusun rencana tindakan. Aktivitas ini merupakan bagian dari mekanisme internal untuk membantu seseorang memahami situasi dan meresponsnya secara lebih terarah.

Argumennya, manusia cenderung merasa lebih tenang ketika bisa “mendengarkan” pikirannya sendiri dalam bentuk suara. Saat kita berbicara dengan diri sendiri, seolah-olah kita sedang menciptakan ruang dialog dalam pikiran untuk memperjelas apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan. Ini membuat emosi terasa lebih ringan, dan keputusan lebih mudah diambil. Bahkan tanpa sadar, banyak orang melakukan ini saat sedang bingung, marah, atau gelisah sebagai bentuk penyaluran emosi secara aman.

Sementara itu, dalam jurnal Early Childhood Research Quarterly oleh Winsler et al. (2003), disebutkan bahwa anak-anak usia 3 hingga 7 tahun secara alami sering berbicara sendiri saat bermain atau menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan bagian dari eksplorasi, pengendalian diri, dan pembentukan pola pikir yang sehat.

Argumen lanjutannya adalah, kebiasaan tersebut sebenarnya tidak hilang saat seseorang tumbuh dewasa hanya berubah bentuk. Jika dulu anak-anak berbicara sambil bermain boneka atau menyusun balok, orang dewasa kini melakukannya dalam bentuk bisikan, gumaman, atau monolog dalam hati. Tetapi tujuannya tetap sama: membantu diri memahami situasi, memberi arahan, dan meredakan tekanan. Maka dari itu, kebiasaan ngomong sendiri sebenarnya adalah bagian dari cara alami manusia untuk berpikir dan mengelola dirinya sendiri dalam diam.

Apa Kata Ilmu Tentang Manfaatnya?

Beberapa manfaat self-talk yang telah diteliti antara lain adalah meningkatkan performa, di mana studi dari Journal of Sport & Exercise Psychology (Theodorakis, 2000) menunjukkan bahwa atlet yang rutin menggunakan self-talk positif mampu meningkatkan fokus dan kinerja fisiknya. Selain itu, self-talk juga terbukti mampu menurunkan stres. Menurut Kross dan Ayduk (2011) dalam jurnal Science, penggunaan distanced self-talk, yaitu berbicara pada diri sendiri dalam orang ketiga, efektif dalam meredam reaksi emosional dalam situasi menekan. Tak hanya itu, self-talk juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena dengan berbicara sendiri, kita sering kali dapat “menyuarakan” pikiran-pikiran yang rumit menjadi lebih jelas, sehingga solusi bisa ditemukan dengan lebih cepat dan terarah. 

Kapan Jadi Tidak Normal?

Meski berbicara pada diri sendiri umumnya merupakan hal yang wajar, ada kondisi tertentu di mana kebiasaan ini bisa menjadi tanda peringatan adanya gangguan psikologis yang lebih serius. Hal ini terutama jika self-talk dilakukan secara intens, tidak terkendali, atau disertai dengan gejala-gejala yang mengganggu fungsi sehari-hari.

Misalnya, jika seseorang terus-menerus berbicara dengan suara keras, bahkan ketika sedang tidak ada situasi yang menuntut refleksi diri, dan ucapannya disertai dengan emosi ekstrem seperti kemarahan, ketakutan, atau kesedihan yang berlebihan, maka ini patut diwaspadai. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya disorganisasi pikiran.

Lebih jauh lagi, jika seseorang mulai mendengar suara-suara yang tidak berasal dari pikirannya sendiri (auditory hallucination), seperti merasa ada yang menyuruh, mengancam, atau mengomentari tindakannya, ini sudah masuk dalam kategori gejala psikosis. Begitu juga ketika seseorang merasa ada sosok lain dalam dirinya, yang seolah-olah nyata dan merasa harus berbicara atau berdiskusi dengannya secara teratur, maka hal ini bisa mengarah pada gangguan seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian disosiatif.

Dalam dunia psikiatri, gejala-gejala seperti itu bukan lagi dianggap sebagai self-talk sehat, melainkan sebagai gangguan persepsi dan identitas. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu relasi sosial, pekerjaan, dan bahkan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pertolongan profesional sangat diperlukan, seperti berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater agar bisa mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.

Bicara Sendiri Itu... Normal Kok!

Jadi, lain kali kalau kamu kepergok ngomong sendiri, jangan buru-buru minder atau merasa aneh. Bisa jadi kamu sedang mengatur pikiran, menenangkan diri, atau memberi semangat yang justru tidak bisa diberikan orang lain.

Psikolog Susan David dalam bukunya Emotional Agility menjelaskan bahwa apa yang kita katakan pada diri sendiri setiap hari bisa sangat memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. Dengan kata lain, dialog internal justru menjadi fondasi penting dalam membentuk kesehatan mental dan ketangguhan emosi.

Maka dari itu, ngomong sama diri sendiri bukanlah tanda gila, tapi bisa jadi cermin dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikirannya sendiri. Asal tahu kapan harus berhenti dan bisa membedakan realita dengan halusinasi, maka kebiasaan ini sangat wajar, bahkan menyehatkan.

Oleh: Nurhana Alda Fadilah

Senin, 16 Juni 2025

#KaburAjaDulu: Ketika Anak Muda Merasa Pergi adalah Solusi

 


Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Lebih dari sekadar tren viral, tagar ini mencerminkan keresahan mendalam generasi muda Indonesia terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi saat ini. Banyak anak muda merasa terjebak dalam situasi yang stagnan, dan keinginan untuk “kabur” atau mencari peluang di luar negeri pun semakin kuat.

Salah satu penyebab utamanya adalah terbatasnya lapangan kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk kelompok usia 15–24 tahun mencapai 17,32%, menjadikannya kelompok usia dengan tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya tingkat gaji yang diterima oleh pekerja muda. Laporan BPS pada Februari 2025 mencatat bahwa rata-rata upah/gaji buruh atau karyawan di Indonesia hanya sekitar Rp3,09 juta per bulan, jumlah yang dianggap tidak memadai jika dibandingkan dengan biaya hidup yang terus meningkat. Selain itu, sistem pendidikan dan dunia kerja dinilai belum cukup menghargai kreativitas dan inovasi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, bahkan menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini kurang mengapresiasi kreativitas, yang berdampak pada rendahnya penghargaan terhadap lulusan perguruan tinggi maupun inovator muda.

Fenomena #KaburAjaDulu ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya brain drain, yaitu migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Kita bisa kehilangan banyak talenta unggul karena mereka lebih memilih berkarier di luar negeri, di mana prospek masa depan dinilai lebih menjanjikan. Kurangnya tenaga ahli dalam negeri bisa menghambat inovasi dan memperlambat pertumbuhan industri lokal, sehingga membuat Indonesia semakin sulit bersaing secara global. Selain itu, kesenjangan kesejahteraan pun bisa semakin melebar karena kualitas sumber daya manusia yang tertinggal di dalam negeri menjadi timpang.

Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya langkah konkret dari berbagai pihak. Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dengan menyesuaikan upah terhadap inflasi dan biaya hidup. Lingkungan kerja yang kompetitif dan adil harus diciptakan untuk mendorong inovasi serta memberikan kesempatan setara bagi semua kalangan. Pendidikan juga harus diperkuat, dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap beasiswa dan fasilitas belajar yang memadai, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. Tak kalah penting, penyederhanaan birokrasi menjadi langkah strategis untuk mengurangi hambatan administratif yang selama ini menghambat pengembangan karier dan usaha.

Pada akhirnya, fenomena #KaburAjaDulu adalah refleksi nyata dari aspirasi generasi muda yang mendambakan masa depan yang lebih baik. Ini menjadi sinyal penting bahwa Indonesia perlu segera berbenah, agar anak mudanya tidak perlu merasa bahwa satu-satunya cara untuk berkembang adalah dengan meninggalkan tanah air. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan, inovasi, dan kesejahteraan generasi muda.


Oleh: Muhamad Rafid Thufail

Self-Reward Itu Perlu Banget, atau Cuma Alasan?

 


“Baru ngerjain tugas dua jam, langsung checkout skincare.”

“Baru pulang ngampus, rasanya pantas banget beli kopi mahal.”

 

Kalau kamu Gen Z dan sering ngomong kayak gitu, kamu nggak sendirian. Fenomena self-reward, alias memberi hadiah ke diri sendiri, memang lagi naik daun dikalangan anak muda sekarang. Tapi, benarkah ini bentuk self-care yang sehat? atau justru cuma alibi manis untuk memanjakan diri setiap kali sedikit lelah?

 

Kenapa Self-Reward Jadi Tren di Kalangan Gen Z?

Generasi Z tumbuh di era yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan. Dari tugas kuliah, magang, freelance, sampai harus tetap exist di sosial media, semuanya terjadi bersamaan. Tidak heran jika self-reward jadi bentuk pelarian yang rasanya sah dan menyenangkan.

Banyak dari kita merasa perlu merayakan setiap usaha, sekecil apa pun. Entah itu lewat kopi kekinian, nonton Netflix semalaman, atau impulsive shopping di e-commerce tengah malam. Seolah ada bisikan halus di kepala: “Kamu sudah kerja keras, kamu pantas dapat ini.”

Dan sebenarnya itu tidak salah. Tapi juga tidak selalu benar.

 

Apa Kata Psikologi tentang Self-Reward?

Secara psikologis, memberi penghargaan pada diri sendiri itu sehat. Dalam teori operant conditioning, reward bisa memperkuat perilaku positif. Otak kita belajar untuk mengaitkan usaha dengan kesenangan. Itu sebabnya, self-reward yang terencana bisa jadi motivasi yang efektif.

 

Menurut Psychology Today, self-reward mampu:

·         Menurunkan tingkat stres

·         Meningkatkan semangat untuk menyelesaikan tugas berikutnya

·         Dan memperkuat kebiasaan baik.

 

Tapi, semua itu hanya berlaku jika dilakukan dengan sadar dan proporsional.

 

Masalahnya muncul ketika self-reward berubah jadi coping mechanism yang impulsif. Saat segala bentuk lelah direspon dengan “Healing mahal,” kamu bisa terjebak dalam siklus:

Lelah → Boros → Menyesal → Lelah Lagi.

 

Cara Bijak Melakukan Self-Reward

Boleh kok treat yourself. Tapi jangan sampai hadiah kecil justru jadi pelarian dari rasa tidak nyaman yang belum dihadapi. Yuk, kenali ciri-ciri self-reward yang sehat dan realistis:

1.          Proporsional

Selesai satu to-do list? Rayakan dengan nonton satu episode serial favorit. Tapi kalau baru nulis satu paragraf, mungkin cukup istirahat 10 menit, bukan langsung checkout skincare full set.

2.          Sesuai Kemampuan

Self-reward nggak harus mahal. Jalan sore, masak makanan favorit, journaling, atau dengar playlist santai juga bisa jadi bentuk apresiasi ke diri sendiri.

3.          Bukan Pelarian

Kalau kamu merasa perlu “Hadiah” setiap hari biar semangat, mungkin yang kamu butuhkan bukan treat, tapi istirahat, boundaries yang lebih jelas, atau bahkan ngobrol dengan tenaga profesional.

4.          Sadar Tujuan dan Pola

Tanya ke diri sendiri: “Aku melakukan ini karena aku sudah berjuang, atau karena aku capek dan nggak tahu cara lain buat tenang?” Refleksi kecil ini bisa bantu kamu keluar dari siklus auto-reward yang nggak sehat.

 

Self-reward bisa jadi bentuk self-care yang valid, selama kamu tahu batasnya. Ini bukan soal “boleh atau nggak,” tapi soal sadar atau enggak. Jangan sampai hadiah yang niatnya bikin kamu bahagia, justru bikin kamu makin lelah karena tidak menyelesaikan masalah dari akarnya.

Kamu berhak merayakan usaha sekecil apa pun. Tapi jangan lupa, kadang bentuk cinta paling tulus untuk diri sendiri bukan belanja impulsif, tapi memberi ruang untuk diam, istirahat, dan mengenali apa yang sebenarnya kamu butuhkan.

Karena self-reward terbaik bukan yang mahal, tapi yang menyembuhkan.

 


Oleh: Lena Sulistia Agustrianti (20230110031) 

Rabu, 11 Juni 2025

Manfaat berjalan kaki dan Grounding untuk kesehatan mental

 


Berjalan  kaki merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh sebagian orang. Walaupun mudah dilakukan, berjalan kaki sangatlah berdampak besar bagi kesehatan fisik maupun mental. Dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berjalan kaki dapat melancarkan peredaran darah, mengurangi resiko penyakit jantung, menjaga berat badan tetap stabil, dan menjaga kebugaran tubuh. Juga masih banyak lagi manfaat fisik yang didapat dari berjalan kaki.

     Tidak hanya memberikan dampak positif fisik. Berjalan kaki juga berdampak pada kesehatan mental. Dilansir dari blog radio Tulungagung Berjalan kaki sangat baik untuk kesehatan mental. Aktivitas ringan seperti berjalan kaki dapat merangsang produksi endorphin, hormon yang membantu mengurangi stress dan kecemasan. Menurut sebuah studi menemukan berjalan kaki secara rutin dapat mengurangi gejala depresi dan meningkatkan mood seseorang.

Manfaat kesehatan mental lainnya yang bisa didapat dari berjalan kaki yakni :

1. Mengurangi stres

     Dilansir dari Madiun Today berjalan kaki bisa meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak, yang dapat menenangkan pikiran dan meningkatkan suasana hati. Aktivitas fisik ini dapat merangsang produksi hormon endorfin, yang membantu meningkatkan mood dan mengurangi stres serta depresi.

2. Meningkatkan suasana hati

     Berjalan kaki membantu menurunkan hormon stres, seperti kortisol, yang dapat menyebabkan kecemasan dan ketegangan.  berjalan kaki juga meningkatkan sirkulasi darah ke otak, yang dapat meningkatkan fungsi kognitif dan mood.

3. meningkatkan kualitas tidur

     Berjalan kaki dapat membantu mengatur ritme sirkadian tubuh, yang berperan dalam meningkatkan kualitas tidur. Orang yang rutin berjalan kaki lebih cenderung tidur lebih nyenyak dan bangun lebih segar.

4. menjaga kesehatan kognitif

     Dilansir dari Halodoc berjalan kaki memiliki dampak baik bagi fungsi eksekutif dan kecepatan pemrosesan otak. Hal tersebut dikatakan oleh penulis studi Joyce Gomes-Osman, PhD., dari University of Miami Miller School of Medicine. Fungsi eksekutif yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk merencanakan, mengatur, dan menyelesaikan tugas. Hasil studi tentang manfaat berjalan kaki untuk kesehatan otak ini didasarkan pada peninjauan terhadap hampir 100 uji klinis yang dilakukan pada 11.000 peserta dengan usia rata-rata 73 tahun. Uji coba ini berfungsi untuk menguji manfaat kognitif dari berbagai latihan fisik, termasuk berjalan kaki, bersepeda, menari, tai chi, dan yoga. Kegiatan fisik ini dilakukan selama rentang waktu empat minggu hingga satu tahun.


Praktik Grounding

     Dikutip dari Alodokter Grounding atau earthing adalah teknik terapi yang melibatkan aktivitas tertentu di ruang terbuka sehingga membuat seseorang kembali terhubung pada bumi. Grounding punya banyak manfaat untuk kesehatan, sehingga terapi ini makin dilirik banyak orang.  

     Grounding punya banyak manfaat untuk kesehatan karena terapi ini dipercaya bisa mengalirkan energi positif dari bumi, yang berdampak baik terhadap kesehatan fisik maupun mental.

     Grounding juga mudah untuk dilakukan. Anda hanya perlu melakukan kontak langsung dengan permukaan bumi, seperti berjalan tanpa menggunakan alas kaki di sekitar rumah, duduk santai di kursi dengan kaki telanjang, atau berbaring di atas rumput.

 

Manfaat Grounding

1. Mengurangi rasa lelah

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa melakukan aktivitas grounding bisa mengurangi kelelahan. Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa orang yang melakukan grounding cenderung menjadi tidak mudah lelah atau sakit dan memiliki suasana hati yang lebih baik.

Berdasarkan hal tersebut, para peneliti meyakini bahwa grounding dapat membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang.

2. Mengurangi peradangan

Grounding yang dilakukan secara rutin dapat membantu mengurangi peradangan, yang dikaitkan dengan berbagai penyakit dan rasa sakit. Manfaat grounding ini mungkin diperoleh karena grounding bisa membantu mengelola kadar kortisol dalam darah.

Kortisol merupakan hormon yang muncul saat tubuh mengalami stres. Hormon ini memiliki fungsi mengatur metabolisme tubuh, tekanan darah, gula darah, dan respon tubuh terhadap stres.

3. Menurunkan tekanan darah

Meski perlu untuk diteliti lebih lanjut, sebuah penelitian menunjukkan bahwa grounding yang dilakukan secara rutin dapat menurunkan tekanan darah penderita hipertensi.

Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa rata-rata tekanan darah sistolik penderita hipertensi mengalami penurunan sekitar 14,3% setelah melakukan grounding secara rutin.

4. Meningkatkan imunitas tubuh

Beberapa peneliti percaya bahwa grounding dapat meningkatkan imunitas tubuh. Cara kerja grounding dalam meningkatkan imunitas tubuh diyakini sama dengan antioksidan, yaitu menghubungkan sel yang hidup (manusia) dengan matriks hidup lainnya (tanah, rumput, alam sekitar) melalui konduksi listrik satu dengan yang lainnya. Koneksi yang positif ini kemudian membuat tubuh dapat menangkal radikal bebas yang merusak sel-sel tubuh dan memicu beragam penyakit.

5. Menurunkan risiko terkena penyakit jantung

Karena mampu menurunkan tekanan darah, grounding yang dilakukan secara rutin juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit jantung. Selain itu, grounding juga mampu meningkatkan detak jantung yang melemah.

Sebuah penelitian menunjukkan adanya peningkatan detak pada jantung lemah setelah melakukan grounding selama 20 menit. Manfaat grounding bagi kesehatan jantung ini pun akan meningkat jika grounding dilakukan lebih lama. 

6. Mengurangi kecemasan

Manfaat grounding kesehatan mental antara lain adalah menurunkan tingkat kecemasan. Ini karena saat melakukan aktivitas membumi, fokus Anda akan teralihkan. Saat Anda berjalan-jalan di taman tanpa menggunakan alas kaki, menikmati setiap pijakan kaki ke tanah atau rumput bisa mengalihkan rasa cemas yang dirasakan.

Begitu juga halnya dengan menghitung banyaknya langkah kaki yang Anda pijakkan. Fokus Anda dapat menjadi teralihkan, sehingga rasa cemas berkurang.

        Berjalan kaki dan Grounding merupakan aktivitas yang murah dilakukan. Untuk memulai membiasakannya bisa dimulai dari skala kecil terlebih dahulu. Dengan berjalan kaki dan Grounding, kita bisa mendapat beragam manfaat. salah satu manfaatnya merujuk pada kesehatan mental. Aktivitas ini dapat mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, memperbaiki kualitas tidur, dan menjaga kesehatan kognitif dengan meningkatkan fungsi eksekutif dan kecepatan pemrosesan otak.


Oleh Ridho Wahyu Nugraha

Banjir Bandung: Mengungkap Penyebab dan Dampak yang Menghantui

 








 

Banjir di Bandung telah menjadi masalah yang berulang dan semakin mengkhawatirkan. Setiap tahun, saat musim hujan tiba, warga Bandung harus bersiap menghadapi potensi banjir yang dapat merusak rumah, infrastruktur, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Banjir di Bandung merupakan masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dengan melakukan evaluasi dan perbaikan infrastruktur serta meningkatkan kesadaran masyarakat, diharapkan kejadian banjir dapat diminimalisir di masa mendatang. Melalui kolaborasi dan upaya berkelanjutan, Bandung dapat membangun ketahanan terhadap bencana banjir yang lebih baik.

 

Penyebab Banjir di Bandung

Salah satu penyebab utama banjir di Bandung adalah alih fungsi lahan yang masif. Banyak lahan pertanian yang beralih menjadi pemukiman, area bisnis, dan tempat wisata. Hal ini mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, sehingga meningkatkan risiko banjir. Menurut Direktur Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Ahmad Gunawan, alih fungsi lahan di kawasan seperti Pangalengan dan Baleendah telah mengancam ketersediaan air dan meningkatkan potensi krisis air bersih di masa depan.

Selain itu, pembangunan infrastruktur yang tidak terencana juga berkontribusi terhadap masalah ini. Banyak bangunan yang didirikan di daerah tangkapan air, yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air. Dengan semakin banyaknya permukiman yang dibangun di daerah tersebut, kemampuan tanah untuk menyerap air hujan semakin berkurang. Data dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa luas kawasan pemukiman meningkat signifikan, sementara lahan pertanian terus menyusut.

Perubahan iklim juga memainkan peran penting dalam meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan. Dengan pola cuaca yang semakin tidak menentu, hujan lebat yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan sungai meluap dan banjir bandang. Hal ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat untuk melakukan langkah-langkah mitigasi yang efektif.

 

Dampak Banjir bagi Masyarakat

Dampak dari banjir di Bandung sangat luas dan merugikan. Banyak rumah yang rusak, dan aktivitas sehari-hari masyarakat terganggu. Dalam beberapa kejadian, seperti banjir bandang di Cilengkrang, belasan rumah mengalami kerusakan berat, dan beberapa warga harus mendapatkan perawatan medis akibat dampak banjir. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga tidak sedikit, dengan banyak usaha kecil yang terpaksa tutup sementara waktu.

Dampak sosial juga tidak kalah penting. Banyak keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan barang berharga akibat banjir. Hal ini dapat menyebabkan trauma psikologis bagi anak-anak dan orang dewasa yang terdampak. Dengan meningkatnya jumlah pengungsi, pemerintah harus berupaya menyediakan tempat tinggal sementara dan bantuan yang memadai untuk membantu mereka pulih dari bencana ini.

Masyarakat Bandung memiliki pendapat yang beragam tentang masalah banjir ini. Seorang warga bernama Rani, yang tinggal di kawasan Cileunyi, mengungkapkan, "Setiap kali hujan deras, saya selalu khawatir. Banjir sudah menjadi hal biasa, tetapi dampaknya sangat merugikan kami." Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu lebih aktif dalam melakukan perbaikan infrastruktur dan mengatur pembangunan di daerah rawan banjir.

Di sisi lain, seorang pedagang kaki lima bernama Budi mengatakan, "Banjir membuat saya kehilangan pelanggan. Banyak orang tidak mau datang ke area ini ketika banjir melanda." Ia berharap pemerintah dapat membantu para pedagang kecil dengan memberikan akses ke lokasi yang lebih aman dan mendukung usaha mereka saat terjadi bencana.

Selain itu, seorang mahasiswa, Diah, juga memberikan pandangannya. "Saya merasa pendidikan saya terganggu ketika sekolah diliburkan akibat banjir. Penting bagi pemerintah untuk mencarikan solusi agar sekolah tetap bisa berjalan meski cuaca buruk." Dia menekankan perlunya peningkatan kesadaran di kalangan generasi muda tentang pentingnya menjaga lingkungan untuk mencegah bencana di masa depan.

 

Upaya Penanganan dan Solusi

Untuk mengatasi masalah banjir, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya, termasuk evaluasi terhadap infrastruktur dan pola tanam masyarakat. Bupati Bandung menekankan pentingnya penanaman pohon dan penggunaan teknik pertanian yang lebih baik untuk mengurangi risiko banjir di masa depan. Program penghijauan dan pembuatan sumur resapan menjadi salah satu strategi yang diusulkan untuk mengelola air hujan secara lebih efektif.

Masyarakat juga diharapkan lebih sadar akan pentingnya menjaga kebersihan sungai dan tidak membuang sampah sembarangan. Edukasi tentang pengelolaan limbah yang baik menjadi langkah preventif yang dapat diambil untuk mengurangi risiko banjir. Dengan kesadaran yang tinggi, diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam pencegahan banjir.

Pemerintah juga perlu meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah dan sektor swasta, untuk merancang solusi yang berkelanjutan. Penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan bisa menjadi salah satu alternatif dalam menghadapi permasalahan banjir yang terus mengancam. Dengan sinergi yang baik, diharapkan kondisi banjir di Bandung bisa ditangani secara efektif dan berkelanjutan.

Jajan atau Servis Motor? Sebuah Perspektif Sosial dan Praktis


Jajan atau Servis Motor? Sebuah Perspektif Sosial dan Praktis

Oleh: Satria Ramadhan (20230110009)

Di tengah gaya hidup urban yang terus berkembang, banyak perempuan menghadapi dilema sederhana namun menarik: apakah lebih baik menghabiskan waktu untuk servis motor atau menikmati waktu senggang dengan jajan di cafe? Ungkapan seperti "Dih, mendingan jajan deh daripada servis motor!" bukan hanya candaan, tetapi mencerminkan realitas sehari-hari bagi banyak perempuan. Artikel ini akan membahas fenomena tersebut secara lebih komparatif dengan melihat perbedaan sudut pandang antara laki-laki dan perempuan, serta faktor yang memengaruhi preferensi mereka.

Bengkel vs Cafe: Dunia yang Berbeda

Servis motor bagi sebagian besar perempuan sering terasa seperti memasuki dunia lain. Suasana bengkel dengan bau oli, suara mesin yang bising, dan percakapan teknis antara mekanik bukanlah sesuatu yang menarik bagi mereka. Banyak perempuan merasa tidak nyaman karena kurangnya pengetahuan teknis dan adanya kekhawatiran akan ditipu atau mendapatkan pelayanan yang kurang transparan.

Sebaliknya, cafe atau tempat jajan menawarkan pengalaman yang lebih menyenangkan dan mudah diakses. Tidak ada istilah teknis yang membingungkan, tidak perlu merasa terintimidasi, dan yang terpenting, ada kesan sosial yang lebih nyaman. Nongkrong sambil menikmati kopi, es krim, atau makanan ringan memberikan kepuasan emosional dan memperbaiki mood.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan

Mengapa banyak perempuan lebih memilih jajan dibandingkan servis motor? Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi keputusan ini:

1. Prioritas Waktu dan Kenyamanan

Perempuan yang sibuk bekerja atau kuliah sering kali memilih untuk mengalokasikan waktu luangnya untuk hal-hal yang menyenangkan daripada menghabiskan waktu di bengkel. Dua jam yang bisa digunakan untuk menunggu servis motor terasa lebih berharga jika digunakan untuk bersantai atau berinteraksi sosial.

2. Kurangnya Pendidikan Mekanik Sejak Dini

Sejak kecil, laki-laki lebih sering diajak untuk memahami mesin dan kendaraan, sementara perempuan cenderung diarahkan ke bidang lain seperti memasak, kecantikan, atau fashion. Akibatnya, saat dewasa, servis motor menjadi sesuatu yang asing dan kurang menarik bagi mereka.

3. Dukungan dari Lingkungan

Banyak perempuan merasa bahwa mereka tidak perlu memahami seluk-beluk perawatan motor karena ada orang lain yang bisa membantu. Baik itu teman laki-laki, anggota keluarga, atau bahkan layanan mekanik yang bisa dipanggil ke rumah. Fenomena ini memperkuat kebiasaan untuk menghindari bengkel dan lebih mengandalkan pihak lain dalam merawat kendaraan mereka.

Perspektif Laki-Laki: Mengapa Mereka Lebih Nyaman dengan Servis Motor?

Di sisi lain, laki-laki cenderung lebih nyaman dengan servis motor karena mereka sudah terbiasa dengan lingkungan bengkel sejak muda. Mereka memahami pentingnya perawatan kendaraan dalam jangka panjang dan lebih percaya diri saat berinteraksi dengan mekanik. Selain itu, bagi sebagian laki-laki, servis motor bukan hanya sekadar kebutuhan tetapi juga bentuk hobi atau aktivitas yang menarik.

Namun, pandangan ini tidak selalu berlaku secara universal ada juga laki-laki yang kurang tertarik pada dunia otomotif dan lebih memilih menghindari bengkel. Dalam kasus seperti ini, preferensi terhadap servis motor atau jajan lebih ditentukan oleh latar belakang individu dibandingkan gender semata.

Apakah Salah Memilih Jajan daripada Servis Motor?

Jawabannya adalah tidak. Ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal preferensi dan kenyamanan. Bagaimanapun juga, merawat motor tetap penting karena kendaraan adalah alat transportasi utama bagi banyak orang. Menghindari servis motor sepenuhnya bisa berakibat buruk jika kendaraan mengalami kerusakan di saat yang tidak diinginkan.

Solusi terbaik adalah menemukan keseimbangan antara kenyamanan dan tanggung jawab. Perempuan bisa mencari bengkel yang memberikan pengalaman lebih nyaman dan ramah, sementara laki-laki bisa lebih proaktif dalam membantu memberikan edukasi mengenai perawatan kendaraan kepada teman-teman mereka.

Pada akhirnya, baik jajan maupun servis motor memiliki nilai dan kelebihannya masing-masing. Yang terpenting adalah membuat pilihan yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup kita.

"Daripada ke bengkel, mending ke cafe. Motor bisa nunggu, kopi nggak."

Namun jangan lupa, motor juga butuh perawatan agar tetap sehat dan bisa menemani aktivitas sehari-hari!

 

Minggu, 08 Juni 2025

BANK EMOK, SOLUSI ATAU MASALAH?

 

Bank Emok adalah istilah yang digunakan untuk menyebut praktik pemberian pinjaman uang secara kelompok yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu di pedesaan. Istilah "emok" sendiri diambil dari bahasa Sunda yang berarti duduk berkelompok, sesuai dengan cara para anggotanya berkumpul saat proses pinjaman berlangsung. Fenomena Bank Emok menarik perhatian khalayak. Keberadaannya dinilai membantu masyarakat, terutama ibu-ibu karena akses pinjaman yang cukup mudah.

Meskipun tidak terdaftar sebagai lembaga perbankan resmi, Bank Emok menjadi salah satu bentuk pinjaman yang cukup populer di tengah masyarakat karena prosesnya yang sangat mudah.

Namun, di balik kemudahan mendapatkan pinjaman tersebut, ada risiko yang perlu diwaspadai, seperti bunga yang tinggi dan sistem penagihan yang bisa memberatkan peminjam. Untuk memahami lebih lanjut tentang apa itu Bank Emok dan bagaimana sistem kerjanya, simak ulasan berikut ini.

Dikutip dari buku Antologi Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Kearifan Lokal karya Dewi Susilowati, dan kawan-kawan, Bank Emok adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sistem pinjaman berbasis kelompok yang banyak dijumpai di lingkungan masyarakat, terutama di daerah pedesaan.

Sistem ini menawarkan kemudahan akses bagi mereka yang membutuhkan dana cepat tanpa harus melalui proses yang rumit seperti di bank konvensional. Pinjaman biasanya diberikan melalui kelompok-kelompok kecil, dengan tujuan memudahkan pengelolaan dan penagihan.

Salah satu keunggulan Bank Emok terletak pada proses pengajuan yang sederhana. Seseorang cukup bergabung dalam kelompok, pinjaman bisa dicairkan tanpa perlu jaminan atau persyaratan administrasi yang berbelit-belit. Hal inilah yang membuat Bank Emok populer, terutama di kalangan ibu rumah tangga yang membutuhkan modal usaha kecil atau dana untuk kebutuhan mendesak.

Namun, dibalik kemudahan tersebut, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Bunga pinjaman sering kali cukup tinggi, bahkan ada yang menilai tidak jauh berbeda dengan praktik rentenir. Selain itu, sistem cicilan yang kaku dan metode penagihan yang ketat bisa menjadi beban tambahan bagi peminjam.

Dalam jurnal NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial oleh Irenza Sabatini Mulyadi, dan kawan-kawan, dijelaskan bahwa Bank Emok bekerja dengan cara menyalurkan dana pinjaman secara berkelompok, di mana satu kelompok biasanya terdiri dari 5-10 orang atau lebih. 

Jumlah anggota dalam kelompok ini sudah ditentukan oleh pihak pemberi pinjaman, sementara calon peminjam bertugas mengumpulkan anggota sesuai kebutuhan. Setelah kelompok terbentuk, akan ditunjuk seorang ketua yang berperan sebagai penghubung antara anggota dan pihak pemberi pinjaman.

Dana pinjaman yang diberikan bervariasi, mulai dari belasan hingga puluhan juta rupiah, tergantung kebutuhan masing-masing anggota. Pencairan dilakukan secara kolektif berdasarkan total akumulasi pinjaman kelompok. Sistem pembayaran dilakukan secara kredit mingguan dengan bunga cukup tinggi, yaitu lebih dari 25% dari total pinjaman.

Hal yang menjadi ciri khas Bank Emok adalah sistem “Tanggung Renteng”, artinya semua anggota bertanggung jawab bersama atas pinjaman tersebut. Jika ada anggota yang gagal membayar cicilan, maka sisa tanggungan tersebut harus dibayar oleh anggota lainnya.

Skema ini mengandalkan solidaritas kelompok, namun juga bisa menimbulkan masalah jika ada anggota yang tidak bertanggung jawab. Model ini terinspirasi dari sistem pinjaman kelompok di Grameen Bank, yang bertujuan memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan kekuatan kelompok sebagai jaminan sosial. Meskipun efektif untuk mempermudah akses pinjaman, sistem ini tetap memiliki risiko yang harus dipertimbangkan dengan matang sebelum terlibat di dalamnya.

Dari sisi positif, Bank Emok dapat dianggap sebagai bentuk inovasi keuangan mikro yang mampu menjangkau masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan formal. Kemudahan dalam mengakses pinjaman tanpa jaminan, proses yang cepat, serta pemberdayaan ekonomi ibu-ibu rumah tangga menjadi poin penting dalam mendukung ekonomi skala kecil. Bagi sebagian orang, Bank Emok menjadi satu-satunya jalan keluar dari kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda.

Sementara dari sisi negatif, sistem bunga yang tinggi dan kewajiban tanggung renteng menjadi beban psikologis dan sosial yang tidak ringan. Ketika satu orang tidak mampu membayar, maka anggota lain pun terkena dampaknya. Hal ini seringkali memicu konflik dalam kelompok dan menimbulkan rasa tidak nyaman antaranggota. Selain itu, karena tidak berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sistem ini rawan penyelewengan. Tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi peminjam jika terjadi pelanggaran atau intimidasi dalam proses penagihan. Lebih jauh lagi, praktik Bank Emok yang tidak terstandarisasi membuka celah bagi oknum tertentu untuk memanipulasi data, menetapkan bunga semena-mena, dan melakukan penagihan secara kasar.

Pada akhirnya, Bank Emok memang hadir sebagai alternatif solusi keuangan bagi masyarakat kecil, tetapi potensi permasalahan yang ditimbulkannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dibutuhkan literasi keuangan yang kuat serta pengawasan yang lebih jelas agar praktik ini benar-benar bisa menjadi jalan keluar, bukan jebakan baru. Sebelum meminjam, pahami risikonya karena tidak semua yang mudah itu menguntungkan. Bijaklah dalam mengambil keputusan finansial, agar langkah kecil tak berubah menjadi beban besar. 

Sabtu, 07 Juni 2025

Kebiasaan Foto Makanan Sebelum Makan: Budaya atau Kebiasaan?


 

Makanan Jadi Model, Kita Jadi Fotografer

Tak bisa dipungkiri, di era digital ini, hampir setiap kali kita duduk di meja makan, ada satu hal yang pasti dilakukan yaitu memotret makanan. Tak peduli apakah itu sepiring nasi goreng sederhana, atau sekedar cemilan kopi dengan kue. Insting pertama yang datang bukan langsung mencicipi, melainkan menekan tombol kamera.

Begitu makanan terhidang, tak jarang kita sudah sibuk dengan ponsel, menata sudut foto terbaik, mencari cahaya yang pas, dan mengatur tampilan makanannya agar instagramable. Tapi, pertanyaannya: Apakah ini budaya baru, atau sekadar kebiasaan yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi?

Generasi Digital dan Identitas Diri

Generasi digital, terutama Generasi Z dan Millennials, tumbuh di dunia yang terhubung dengan internet. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tidak hanya menjadi platform berbagi foto, tetapi juga ajang untuk menunjukkan identitas diri. Makanan, dengan segala variasinya, menjadi cara mudah untuk berbagi rasa, momen, dan bahkan gaya hidup.

Menurut artikel di IDN Times, banyak orang yang suka memotret makanan sebelum makan karena tampilan makanan yang menarik, serta dorongan untuk membagikan momen di media sosial sebagai bentuk ekspresi diri (IDN Times, 2021)¹. Di sinilah makanan tidak hanya dilihat sebagai kebutuhan biologis, tapi juga sebagai bentuk “konten” yang merepresentasikan gaya hidup.

Kenapa Foto Makanan Jadi Tren

1. Eksistensi di Media Sosial

Foto makanan bukan lagi soal rasa. Seperti yang dijelaskan dalam artikel di Kompasiana, membagikan foto makanan menjadi simbol status dan gaya hidup tertentu, seperti makan di tempat mahal atau menyantap makanan unik (Kompasiana, 2022)². Unggahan makanan bisa menjadi “etalase diri digital”.

2. Sebagai Draft dan Kenangan

Dalam artikel dari JawaPos, dijelaskan bahwa orang yang memotret makanan seringkali ingin mengabadikan momen, bukan sekadar makanannya. Ini membantu mereka mengenang momen tersebut di kemudian hari³.  Ketika kita melihat foto makanan di feed, kita seperti “terbawa” ke dalam momen itu lagi. 


3. Makanan yang Memanjakan Mata

Banyak tempat makan kini menyajikan makanan dengan estetika tinggi karena sadar akan potensi viral di media sosial. Tren ini bahkan dibahas oleh pakar kuliner Indonesia Fadly Rahman, yang menyebut bahwa dokumentasi makanan bisa menjadi bagian dari ekspresi sosial modern.

Dampak Positif dan Negatif dari Kebiasaan Ini

Positif:

  • Meningkatkan Kreativitas:

Menata makanan agar menarik untuk difoto melatih kreativitas visual seseorang. Bahkan, hal ini bisa menjadi profesi, seperti food stylist dan food content creator.

  • Sarana Eksplorasi Kuliner:

Berkat unggahan makanan, orang tertarik mencoba tempat makan atau resep baru, membuka peluang bagi UMKM kuliner untuk dikenal lebih luas (Harian Disway, 2023)⁵.

  • Mempererat Hubungan Sosial:

Berbagi foto makanan jadi pemicu obrolan ringan, cara menyapa teman, atau mempererat hubungan lewat komentar dan pesan.

Negatif:

  • Mengurangi Fokus pada Momen:

Ketika terlalu sibuk mengatur cahaya atau filter, kita bisa kehilangan esensi dari momen makan bersama. Seperti disinggung dalam artikel JawaPos, ini mengurangi mindfulness saat makan³.

  • Tekanan Sosial: 

Makanan yang tidak fotogenik atau kurang populer kadang dianggap “kurang menarik” di media sosial. Hal ini bisa memberi tekanan pada orang untuk hanya memilih makanan yang “populer” atau Instagrammable, daripada menikmati apa yang mereka sukai. 

  • Kecanduan Konten: 

Ada kalanya foto makanan hanya untuk mengejar likes, bukan untuk mengabadikan kenangan yang benar-benar berarti. Kebiasaan ini dapat mengarah pada kecanduan untuk selalu mendapatkan validasi dari dunia maya. 


Pada akhirnya, kebiasaan foto makanan lebih dari sekadar sebuah tren atau kebiasaan. Ini adalah wujud bagaimana kita berinteraksi dengan dunia digital dan membagikan bagian dari hidup kita. Tetapi, kita juga harus mengingat bahwa makanan adalah pengalaman multisensori yang melibatkan lebih dari sekadar visual. Jangan biarkan foto makanan mengalihkan kita dari kenikmatan sejati dari makan itu sendiri. 

Cobalah sesekali untuk menjauh dari ponsel, menikmati setiap suapan tanpa gangguan, dan hanya hadir di momen itu. Karena terkadang, kenangan yang paling indah tidak ada dalam foto, tetapi dalam rasa dan kebersamaan yang kita alami. 

Ini Budaya atau Kebiasaan?

Kebiasaan foto makanan sebelum makan telah berevolusi menjadi bagian dari budaya digital Indonesia. Ia tidak lagi sekadar hobi sesaat, tapi menjadi bagian dari narasi diri seseorang di dunia maya. Namun, penting untuk diingat: makan adalah pengalaman multisensori, bukan sekadar visual.


Rabu, 04 Juni 2025

“Mie Gacoan dan Budaya Konsumsi Gen Z: Antara Rasa, Eksistensi, dan Algoritma”

 

Di Tengah derasnya tren kuliner di Indonesia, Mie Gacoan telah menjadi lebih dari sekadar restoran mie pedas. Sejak didirikan pada 2016 di Malang, Jawa Timur, Gacoan telah menjelma menjadi ikon budaya populer yang mencerminkan gaya hidup hedonis dan rasa takut ketinggalan zaman (FOMO) di kalangan remaja dan Gen Z. Dengan harga mulai dari Rp9.500 per porsi dan antrean yang bisa mencapai satu jam, apa yang membuat Gacoan begitu digandrungi? Mari kita telusuri bagaimana popularitas Gacoan menjadi cerminan zaman digital.

Ledakan Popularitas Gacoan: Angka dan Fakta

Mie Gacoan, yang dikelola oleh PT Pesta Pora Abadi, telah berkembang pesat dari satu gerai kecil di Malang menjadi lebih dari 115 cabang di seluruh Indonesia hingga awal 2025, termasuk di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Bali. Menurut laporan, Gacoan melayani puluhan ribu pelanggan setiap bulan di setiap wilayah, dengan omzet harian diperkirakan mencapai Rp103,5 juta dari seluruh gerai, menunjukkan kekuatan bisnisnya di sektor kuliner.

Keberhasilan Gacoan juga terlihat dari kehadirannya di media sosial. Pada 2023, Gacoan menjadi salah satu topik yang viral di TikTok dan Instagram, dengan jutaan views untuk konten seperti tantangan makan mie pedas atau ulasan antrean panjang. Bahkan, unggahan di X pada Mei 2025 menunjukkan antusiasme pelanggan terhadap promo diskon Gacoan, dengan postingan seperti “CEK & KLEMMM GACOAN DISKON BANYAK” yang menyebar luas. Media sosial memainkan peran besar: laporan We Are Social mencatat bahwa 143 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2025, dengan 50,8% menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk mencari tren, termasuk kuliner seperti Gacoan.

Hedonisme Gen Z: Gacoan sebagai Gaya Hidup

Bagi Gen Z, makan di Gacoan bukan sekadar soal rasa pedas yang menggigit, tetapi tentang mengejar kesenangan instan dan pengakuan sosial—ciri khas hedonisme modern. Dengan harga terjangkau (mie mulai Rp9.500 hingga Rp11.000 dan dimsum Rp8.000-an), Gacoan menawarkan pengalaman kuliner yang terasa mewah tanpa menguras dompet. Interior yang Instagrammable, seperti dekorasi modern dan pencahayaan estetik, membuat setiap kunjungan jadi momen untuk konten media sosial. Foto mie dengan taburan ayam cincang atau es genderuwo yang unik sering menghiasi Instagram Stories dan TikTok, memperkuat status Gacoan sebagai tempat “wajib dikunjungi.”

Strategi pemasaran Gacoan juga memperkuat sifat hedonis ini. Nama menu yang awalnya bertema horor seperti “Mie Setan” dan “Es Tuyul” (kini diubah menjadi “Mie Hompimpa” dan lainnya untuk sertifikasi halal MUI pada 2022) menciptakan kesan edgy yang cocok dengan jiwa muda. Kolaborasi dengan influencer dan promo seperti flash sale Rp5.000 di aplikasi tertentu membuat Gacoan terasa eksklusif, meski harganya murah. Hal ini mendorong Gen Z untuk berulang kali mengunjungi Gacoan, bukan hanya untuk makan, tetapi untuk merasakan “kepuasan” menjadi bagian dari tren.

FOMO: Antrean Panjang dan Hype Media Sosial

FOMO (Fear of Missing Out) adalah bahan bakar utama di balik antrean panjang Gacoan. Ketika video tantangan makan mie pedas level 8 atau ulasan tentang dimsum udang rambutan viral di TikTok, Gen Z merasa harus ikut mencoba agar tidak ketinggalan momen. Sebuah postingan di X pada 2023 menyebut strategi “queue marketing” Gacoan sebagai kunci kesuksesan: antrean panjang justru jadi bukti bahwa Gacoan adalah tempat yang “harus” dikunjungi. Fenomena ini diperkuat oleh data We Are Social 2025, yang menyebutkan bahwa 50% pengguna media sosial di Indonesia menggunakan platform untuk melihat “hal yang sedang ramai dibicarakan.”

Media sosial seperti TikTok, yang memiliki 1,526 miliar pengguna global dan lebih dari 106,5 juta pengguna di Indonesia pada 2024, menjadi panggung utama untuk hype Gacoan. Konten seperti “first time dine in Gacoan” atau ulasan antrean yang dibagikan di X menunjukkan betapa pengalaman makan di Gacoan jadi bagian dari identitas digital Gen Z. Namun, FOMO ini juga punya sisi negatif: tekanan untuk terus mengikuti tren bisa membuat remaja menghabiskan waktu dan uang berlebihan hanya untuk tetap relevan di lingkaran sosial mereka.

Kontroversi yang Menambah Popularitas

Popularitas Gacoan tidak lepas dari kontroversi yang justru menambah perhatian publik. Pada Januari 2024, sebuah video viral di media sosial menunjukkan adanya belatung di topping mie di cabang Cirebon, memicu kegaduhan di kalangan netizen. Pihak Gacoan merespons dengan investigasi dan permintaan maaf, yang menunjukkan krisis manajemen yang cepat. Ironisnya, kontroversi ini malah meningkatkan eksposur Gacoan di media sosial. Selain itu, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Gacoan Mataram pada 2024, yang diabadikan dalam vlog Instagram, makin memantapkan status Gacoan sebagai kuliner nasional yang “wajib dicoba.”

Dampak dan Refleksi

Gacoan telah mengubah lanskap kuliner Indonesia dengan menyatukan rasa lokal, harga terjangkau, dan estetika modern yang disukai Gen Z. Dengan lebih dari 3.000 karyawan dan ekspansi agresif, Gacoan juga membuka peluang ekonomi baru. Namun, hedonisme dan FOMO yang dipicu oleh popularitas Gacoan bisa mendorong pengeluaran impulsif dan tekanan sosial di kalangan remaja. Gen Z perlu belajar menyeimbangkan antara menikmati tren dan mengelola keuangan serta waktu mereka.

Mie Gacoan adalah cerminan bagaimana kuliner bisa menjadi lebih dari sekadar makanan—ia adalah pengalaman, identitas, dan bagian dari budaya digital. Lain kali kamu melihat antrean panjang di Gacoan atau video viral di TikTok, ingatlah: ini bukan hanya tentang mie pedas, tetapi tentang bagaimana Gen Z menjalani hidup di era media sosial. Jadi, apakah kamu akan ikut antre untuk merasakan hype-nya, atau cukup menikmati dari layar ponselmu?

 

Oleh: Dewi Azzahra 

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...