Tulis-Tulis
Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Tulis-Tulis
Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Tulis-Tulis
Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Tulis-Tulis
Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Tulis-Tulis
Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.
Selasa, 24 Juni 2025
Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan
Senin, 23 Juni 2025
Ngomong Sama Diri Sendiri: Wajar atau Gila?
Pernah nggak,
kamu lagi jalan sendiri terus ngomel sendiri? Atau sedang stres, lalu berbisik
pelan, “Ayo bisa, semangat, ini belum selesai!” Nah, kebiasaan ini sering bikin
orang bertanya-tanya: “ini gue waras
nggak sih? Atau... gue udah
gila”
Padahal
faktanya, berbicara pada diri sendiri itu bukan hal aneh, bahkan bisa jadi tanda sehat
mental—selama tahu batasnya.
Self-talk: Antara Gila dan Strategi Mental
Secara ilmiah,
fenomena ini disebut self-talk, yaitu dialog internal atau ucapan yang
seseorang tujukan kepada dirinya sendiri. Menurut studi yang dimuat dalam Journal
of Personality and Social Psychology oleh Ethan Kross dan Jason Moser
(2014), self-talk—terutama yang menggunakan penyebutan diri dalam kata
ganti orang ketiga seperti “Kamu bisa, Meyren!”—dapat membantu individu
mengelola stres dan kecemasan dengan lebih baik. Jadi, ini bukan kegilaan, tapi
strategi pengaturan emosi!
Self-talk terbagi menjadi dua: positif dan negatif. Self-talk positif bisa memperkuat motivasi, membantu
pengambilan keputusan, dan mengurangi kecemasan. Sementara itu, self-talk negatif bisa memperburuk kondisi psikologis,
apalagi jika diulang terus-menerus.
Mengapa
Kita Suka Ngomong Sendiri?
Menurut American
Psychological Association (APA), kebiasaan berbicara kepada diri sendiri
terjadi karena otak sedang memproses informasi, memperkuat ingatan, hingga
menyusun rencana tindakan. Aktivitas ini merupakan bagian dari mekanisme
internal untuk membantu seseorang memahami situasi dan meresponsnya secara
lebih terarah.
Argumennya,
manusia cenderung merasa lebih tenang ketika bisa “mendengarkan” pikirannya
sendiri dalam bentuk suara. Saat kita berbicara dengan diri sendiri,
seolah-olah kita sedang menciptakan ruang dialog dalam pikiran untuk
memperjelas apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan. Ini membuat emosi
terasa lebih ringan, dan keputusan lebih mudah diambil. Bahkan tanpa sadar,
banyak orang melakukan ini saat sedang bingung, marah, atau gelisah sebagai
bentuk penyaluran emosi secara aman.
Sementara itu,
dalam jurnal Early Childhood Research Quarterly oleh Winsler et al.
(2003), disebutkan bahwa anak-anak usia 3 hingga 7 tahun secara alami sering
berbicara sendiri saat bermain atau menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan
bagian dari eksplorasi, pengendalian diri, dan pembentukan pola pikir yang
sehat.
Argumen
lanjutannya adalah, kebiasaan tersebut sebenarnya tidak hilang saat seseorang
tumbuh dewasa hanya berubah bentuk. Jika dulu anak-anak berbicara sambil
bermain boneka atau menyusun balok, orang dewasa kini melakukannya dalam bentuk
bisikan, gumaman, atau monolog dalam hati. Tetapi tujuannya tetap sama:
membantu diri memahami situasi, memberi arahan, dan meredakan tekanan. Maka
dari itu, kebiasaan ngomong sendiri
sebenarnya adalah bagian dari cara alami manusia untuk berpikir dan mengelola
dirinya sendiri dalam diam.
Apa
Kata Ilmu Tentang Manfaatnya?
Beberapa manfaat self-talk yang telah diteliti antara lain adalah meningkatkan performa, di mana studi dari Journal of Sport & Exercise Psychology (Theodorakis, 2000) menunjukkan bahwa atlet yang rutin menggunakan self-talk positif mampu meningkatkan fokus dan kinerja fisiknya. Selain itu, self-talk juga terbukti mampu menurunkan stres. Menurut Kross dan Ayduk (2011) dalam jurnal Science, penggunaan distanced self-talk, yaitu berbicara pada diri sendiri dalam orang ketiga, efektif dalam meredam reaksi emosional dalam situasi menekan. Tak hanya itu, self-talk juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena dengan berbicara sendiri, kita sering kali dapat “menyuarakan” pikiran-pikiran yang rumit menjadi lebih jelas, sehingga solusi bisa ditemukan dengan lebih cepat dan terarah.
Kapan
Jadi Tidak Normal?
Meski berbicara
pada diri sendiri umumnya merupakan hal yang wajar, ada kondisi tertentu di
mana kebiasaan ini bisa menjadi tanda peringatan adanya gangguan psikologis
yang lebih serius. Hal ini terutama jika self-talk dilakukan secara intens, tidak terkendali, atau disertai
dengan gejala-gejala yang mengganggu fungsi sehari-hari.
Misalnya, jika
seseorang terus-menerus berbicara
dengan suara keras, bahkan ketika sedang tidak ada situasi yang menuntut
refleksi diri, dan ucapannya disertai dengan emosi ekstrem seperti kemarahan, ketakutan, atau kesedihan yang
berlebihan, maka ini patut diwaspadai. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya
disorganisasi pikiran.
Lebih jauh
lagi, jika seseorang mulai mendengar
suara-suara yang tidak berasal dari pikirannya sendiri (auditory
hallucination), seperti merasa ada yang menyuruh, mengancam, atau
mengomentari tindakannya, ini sudah masuk dalam kategori gejala psikosis.
Begitu juga ketika seseorang merasa ada sosok
lain dalam dirinya, yang seolah-olah nyata dan merasa harus berbicara
atau berdiskusi dengannya secara teratur, maka hal ini bisa mengarah pada
gangguan seperti skizofrenia atau gangguan
kepribadian disosiatif.
Dalam dunia
psikiatri, gejala-gejala seperti itu bukan lagi dianggap sebagai self-talk sehat, melainkan sebagai gangguan
persepsi dan identitas. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu relasi sosial,
pekerjaan, dan bahkan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena
itu, pertolongan profesional sangat
diperlukan, seperti berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater
agar bisa mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.
Bicara
Sendiri Itu... Normal Kok!
Jadi, lain kali kalau kamu kepergok ngomong sendiri, jangan buru-buru minder atau merasa aneh.
Bisa jadi kamu sedang mengatur pikiran, menenangkan diri, atau memberi semangat
yang justru tidak bisa diberikan orang lain.
Psikolog Susan David dalam bukunya Emotional Agility
menjelaskan bahwa apa yang kita katakan pada diri sendiri setiap hari bisa
sangat memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. Dengan kata
lain, dialog internal justru menjadi fondasi penting dalam membentuk kesehatan
mental dan ketangguhan emosi.
Maka dari itu, ngomong sama diri sendiri bukanlah tanda gila, tapi bisa jadi cermin dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikirannya sendiri. Asal tahu kapan harus berhenti dan bisa membedakan realita dengan halusinasi, maka kebiasaan ini sangat wajar, bahkan menyehatkan.
Oleh: Nurhana Alda Fadilah
Senin, 16 Juni 2025
#KaburAjaDulu: Ketika Anak Muda Merasa Pergi adalah Solusi
Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu
ramai diperbincangkan di media sosial. Lebih dari sekadar tren viral, tagar ini
mencerminkan keresahan mendalam generasi muda Indonesia terhadap kondisi sosial
dan ekonomi yang mereka hadapi saat ini. Banyak anak muda merasa terjebak dalam
situasi yang stagnan, dan keinginan untuk “kabur” atau mencari peluang di luar
negeri pun semakin kuat.
Salah
satu penyebab utamanya adalah terbatasnya lapangan kerja. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka
(TPT) untuk kelompok usia 15–24 tahun mencapai 17,32%, menjadikannya kelompok
usia dengan tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.
Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya tingkat gaji yang diterima oleh pekerja
muda. Laporan BPS pada Februari 2025 mencatat bahwa rata-rata upah/gaji buruh
atau karyawan di Indonesia hanya sekitar Rp3,09 juta per bulan, jumlah yang
dianggap tidak memadai jika dibandingkan dengan biaya hidup yang terus
meningkat. Selain itu, sistem pendidikan dan dunia kerja dinilai belum cukup
menghargai kreativitas dan inovasi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem
Makarim, bahkan menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini kurang
mengapresiasi kreativitas, yang berdampak pada rendahnya penghargaan terhadap
lulusan perguruan tinggi maupun inovator muda.
Fenomena
#KaburAjaDulu ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya brain drain, yaitu
migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri. Dalam jangka panjang, hal ini
dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Kita bisa kehilangan
banyak talenta unggul karena mereka lebih memilih berkarier di luar negeri, di
mana prospek masa depan dinilai lebih menjanjikan. Kurangnya tenaga ahli dalam
negeri bisa menghambat inovasi dan memperlambat pertumbuhan industri lokal,
sehingga membuat Indonesia semakin sulit bersaing secara global. Selain itu,
kesenjangan kesejahteraan pun bisa semakin melebar karena kualitas sumber daya
manusia yang tertinggal di dalam negeri menjadi timpang.
Untuk
mengatasi tantangan ini, perlu adanya langkah konkret dari berbagai pihak.
Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dengan menyesuaikan
upah terhadap inflasi dan biaya hidup. Lingkungan kerja yang kompetitif dan
adil harus diciptakan untuk mendorong inovasi serta memberikan kesempatan
setara bagi semua kalangan. Pendidikan juga harus diperkuat, dengan memberikan
akses yang lebih luas terhadap beasiswa dan fasilitas belajar yang memadai,
terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. Tak kalah penting, penyederhanaan
birokrasi menjadi langkah strategis untuk mengurangi hambatan administratif
yang selama ini menghambat pengembangan karier dan usaha.
Pada
akhirnya, fenomena #KaburAjaDulu adalah refleksi nyata dari aspirasi generasi
muda yang mendambakan masa depan yang lebih baik. Ini menjadi sinyal penting
bahwa Indonesia perlu segera berbenah, agar anak mudanya tidak perlu merasa
bahwa satu-satunya cara untuk berkembang adalah dengan meninggalkan tanah air.
Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersinergi menciptakan ekosistem yang
mendukung pertumbuhan, inovasi, dan kesejahteraan generasi muda.
Oleh: Muhamad Rafid Thufail
Self-Reward Itu Perlu Banget, atau Cuma Alasan?
“Baru ngerjain tugas dua jam, langsung checkout skincare.”
“Baru pulang ngampus, rasanya pantas banget beli kopi
mahal.”
Kalau kamu Gen Z dan sering ngomong kayak gitu, kamu nggak
sendirian. Fenomena self-reward,
alias memberi hadiah ke diri sendiri, memang lagi naik daun dikalangan anak
muda sekarang. Tapi, benarkah ini bentuk self-care
yang sehat? atau justru cuma alibi manis untuk memanjakan diri setiap kali
sedikit lelah?
Kenapa
Self-Reward Jadi Tren di Kalangan Gen Z?
Generasi Z tumbuh di era yang serba cepat, kompetitif, dan
penuh tekanan. Dari tugas kuliah, magang, freelance, sampai harus tetap exist di sosial media, semuanya terjadi
bersamaan. Tidak heran jika self-reward
jadi bentuk pelarian yang rasanya sah dan menyenangkan.
Banyak dari kita merasa perlu merayakan setiap usaha,
sekecil apa pun. Entah itu lewat kopi kekinian, nonton Netflix semalaman, atau impulsive shopping di e-commerce tengah malam. Seolah ada
bisikan halus di kepala: “Kamu sudah kerja keras, kamu pantas dapat ini.”
Dan sebenarnya itu tidak salah. Tapi juga tidak selalu
benar.
Apa Kata
Psikologi tentang Self-Reward?
Secara psikologis, memberi penghargaan pada diri sendiri
itu sehat. Dalam teori operant
conditioning, reward bisa
memperkuat perilaku positif. Otak kita belajar untuk mengaitkan usaha dengan
kesenangan. Itu sebabnya, self-reward
yang terencana bisa jadi motivasi yang efektif.
Menurut Psychology Today, self-reward mampu:
·
Menurunkan tingkat stres
·
Meningkatkan semangat untuk menyelesaikan
tugas berikutnya
·
Dan memperkuat kebiasaan baik.
Tapi, semua itu hanya berlaku jika dilakukan dengan sadar
dan proporsional.
Masalahnya muncul ketika self-reward berubah jadi coping
mechanism yang impulsif. Saat
segala bentuk lelah direspon dengan “Healing
mahal,” kamu bisa terjebak dalam siklus:
Lelah → Boros → Menyesal → Lelah Lagi.
Cara Bijak
Melakukan Self-Reward
Boleh kok treat
yourself. Tapi jangan sampai hadiah kecil justru jadi pelarian dari rasa
tidak nyaman yang belum dihadapi. Yuk, kenali ciri-ciri self-reward yang sehat dan realistis:
1.
Proporsional
Selesai satu to-do
list? Rayakan dengan nonton satu episode serial favorit. Tapi kalau baru
nulis satu paragraf, mungkin cukup istirahat 10 menit, bukan langsung checkout skincare
full set.
2.
Sesuai Kemampuan
Self-reward nggak harus mahal. Jalan sore, masak makanan favorit,
journaling, atau dengar playlist santai juga bisa jadi bentuk apresiasi ke diri
sendiri.
3.
Bukan Pelarian
Kalau kamu merasa perlu “Hadiah” setiap hari biar semangat,
mungkin yang kamu butuhkan bukan treat, tapi istirahat, boundaries yang lebih
jelas, atau bahkan ngobrol dengan tenaga profesional.
4.
Sadar Tujuan dan Pola
Tanya ke diri sendiri: “Aku melakukan ini karena aku sudah
berjuang, atau karena aku capek dan nggak tahu cara lain buat tenang?” Refleksi
kecil ini bisa bantu kamu keluar dari siklus auto-reward yang nggak sehat.
Self-reward bisa jadi bentuk self-care yang valid, selama kamu tahu batasnya. Ini bukan soal
“boleh atau nggak,” tapi soal sadar atau enggak. Jangan sampai hadiah yang
niatnya bikin kamu bahagia, justru bikin kamu makin lelah karena tidak
menyelesaikan masalah dari akarnya.
Kamu berhak merayakan usaha sekecil apa pun. Tapi jangan
lupa, kadang bentuk cinta paling tulus untuk diri sendiri bukan belanja
impulsif, tapi memberi ruang untuk diam, istirahat, dan mengenali apa yang
sebenarnya kamu butuhkan.
Karena self-reward
terbaik bukan yang mahal, tapi yang menyembuhkan.
Rabu, 11 Juni 2025
Manfaat berjalan kaki dan Grounding untuk kesehatan mental
Berjalan kaki merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh sebagian orang. Walaupun mudah dilakukan, berjalan kaki sangatlah berdampak besar bagi kesehatan fisik maupun mental. Dilansir dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berjalan kaki dapat melancarkan peredaran darah, mengurangi resiko penyakit jantung, menjaga berat badan tetap stabil, dan menjaga kebugaran tubuh. Juga masih banyak lagi manfaat fisik yang didapat dari berjalan kaki.
Tidak hanya memberikan dampak positif
fisik. Berjalan kaki juga berdampak pada kesehatan mental. Dilansir dari blog
radio Tulungagung Berjalan kaki sangat baik untuk kesehatan mental. Aktivitas
ringan seperti berjalan kaki dapat merangsang produksi endorphin, hormon yang
membantu mengurangi stress dan kecemasan. Menurut sebuah studi menemukan
berjalan kaki secara rutin dapat mengurangi gejala depresi dan meningkatkan
mood seseorang.
Manfaat
kesehatan mental lainnya yang bisa didapat dari berjalan kaki yakni :
1.
Mengurangi stres
Dilansir dari Madiun Today berjalan kaki
bisa meningkatkan aliran darah dan oksigen ke otak, yang dapat menenangkan
pikiran dan meningkatkan suasana hati. Aktivitas fisik ini dapat merangsang
produksi hormon endorfin, yang membantu meningkatkan mood dan mengurangi stres
serta depresi.
2.
Meningkatkan suasana hati
Berjalan kaki membantu menurunkan hormon
stres, seperti kortisol, yang dapat menyebabkan kecemasan dan ketegangan. berjalan kaki juga meningkatkan sirkulasi
darah ke otak, yang dapat meningkatkan fungsi kognitif dan mood.
3.
meningkatkan kualitas tidur
Berjalan kaki dapat membantu mengatur
ritme sirkadian tubuh, yang berperan dalam meningkatkan kualitas tidur. Orang
yang rutin berjalan kaki lebih cenderung tidur lebih nyenyak dan bangun lebih
segar.
4.
menjaga kesehatan kognitif
Dilansir dari Halodoc berjalan kaki memiliki dampak baik bagi fungsi eksekutif dan kecepatan pemrosesan otak. Hal tersebut dikatakan oleh penulis studi Joyce Gomes-Osman, PhD., dari University of Miami Miller School of Medicine. Fungsi eksekutif yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk merencanakan, mengatur, dan menyelesaikan tugas. Hasil studi tentang manfaat berjalan kaki untuk kesehatan otak ini didasarkan pada peninjauan terhadap hampir 100 uji klinis yang dilakukan pada 11.000 peserta dengan usia rata-rata 73 tahun. Uji coba ini berfungsi untuk menguji manfaat kognitif dari berbagai latihan fisik, termasuk berjalan kaki, bersepeda, menari, tai chi, dan yoga. Kegiatan fisik ini dilakukan selama rentang waktu empat minggu hingga satu tahun.
Praktik
Grounding
Dikutip dari Alodokter Grounding atau
earthing adalah teknik terapi yang melibatkan aktivitas tertentu di ruang
terbuka sehingga membuat seseorang kembali terhubung pada bumi. Grounding punya
banyak manfaat untuk kesehatan, sehingga terapi ini makin dilirik banyak
orang.
Grounding punya banyak manfaat untuk
kesehatan karena terapi ini dipercaya bisa mengalirkan energi positif dari
bumi, yang berdampak baik terhadap kesehatan fisik maupun mental.
Grounding juga mudah untuk dilakukan. Anda
hanya perlu melakukan kontak langsung dengan permukaan bumi, seperti berjalan
tanpa menggunakan alas kaki di sekitar rumah, duduk santai di kursi dengan kaki
telanjang, atau berbaring di atas rumput.
Manfaat
Grounding
1.
Mengurangi rasa lelah
Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa melakukan aktivitas grounding bisa mengurangi
kelelahan. Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa orang yang melakukan
grounding cenderung menjadi tidak mudah lelah atau sakit dan memiliki suasana
hati yang lebih baik.
Berdasarkan hal tersebut, para peneliti meyakini bahwa grounding dapat membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang.
2.
Mengurangi peradangan
Grounding
yang dilakukan secara rutin dapat membantu mengurangi peradangan, yang
dikaitkan dengan berbagai penyakit dan rasa sakit. Manfaat grounding ini
mungkin diperoleh karena grounding bisa membantu mengelola kadar kortisol dalam
darah.
Kortisol
merupakan hormon yang muncul saat tubuh mengalami stres. Hormon ini memiliki
fungsi mengatur metabolisme tubuh, tekanan darah, gula darah, dan respon tubuh
terhadap stres.
3.
Menurunkan tekanan darah
Meski
perlu untuk diteliti lebih lanjut, sebuah penelitian menunjukkan bahwa
grounding yang dilakukan secara rutin dapat menurunkan tekanan darah penderita
hipertensi.
Dalam
penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa rata-rata tekanan darah sistolik
penderita hipertensi mengalami penurunan sekitar 14,3% setelah melakukan
grounding secara rutin.
4.
Meningkatkan imunitas tubuh
Beberapa peneliti percaya bahwa grounding dapat meningkatkan imunitas tubuh. Cara kerja grounding dalam meningkatkan imunitas tubuh diyakini sama dengan antioksidan, yaitu menghubungkan sel yang hidup (manusia) dengan matriks hidup lainnya (tanah, rumput, alam sekitar) melalui konduksi listrik satu dengan yang lainnya. Koneksi yang positif ini kemudian membuat tubuh dapat menangkal radikal bebas yang merusak sel-sel tubuh dan memicu beragam penyakit.
5.
Menurunkan risiko terkena penyakit jantung
Karena
mampu menurunkan tekanan darah, grounding yang dilakukan secara rutin juga
dapat menurunkan risiko terkena penyakit jantung. Selain itu, grounding juga
mampu meningkatkan detak jantung yang melemah.
Sebuah
penelitian menunjukkan adanya peningkatan detak pada jantung lemah setelah
melakukan grounding selama 20 menit. Manfaat grounding bagi kesehatan jantung
ini pun akan meningkat jika grounding dilakukan lebih lama.
6.
Mengurangi kecemasan
Manfaat
grounding kesehatan mental antara lain adalah menurunkan tingkat kecemasan. Ini
karena saat melakukan aktivitas membumi, fokus Anda akan teralihkan. Saat Anda
berjalan-jalan di taman tanpa menggunakan alas kaki, menikmati setiap pijakan
kaki ke tanah atau rumput bisa mengalihkan rasa cemas yang dirasakan.
Begitu
juga halnya dengan menghitung banyaknya langkah kaki yang Anda pijakkan. Fokus
Anda dapat menjadi teralihkan, sehingga rasa cemas berkurang.
Berjalan kaki dan Grounding merupakan
aktivitas yang murah dilakukan. Untuk memulai membiasakannya bisa dimulai dari
skala kecil terlebih dahulu. Dengan berjalan kaki dan Grounding, kita bisa
mendapat beragam manfaat. salah satu manfaatnya merujuk pada kesehatan mental.
Aktivitas ini dapat mengurangi stres, meningkatkan suasana hati, memperbaiki
kualitas tidur, dan menjaga kesehatan kognitif dengan meningkatkan fungsi
eksekutif dan kecepatan pemrosesan otak.
Oleh Ridho Wahyu Nugraha
Banjir Bandung: Mengungkap Penyebab dan Dampak yang Menghantui
Banjir di Bandung telah menjadi masalah yang berulang dan
semakin mengkhawatirkan. Setiap tahun, saat musim hujan tiba, warga Bandung
harus bersiap menghadapi potensi banjir yang dapat merusak rumah,
infrastruktur, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Banjir di Bandung
merupakan masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan
masyarakat. Dengan melakukan evaluasi dan perbaikan infrastruktur serta
meningkatkan kesadaran masyarakat, diharapkan kejadian banjir dapat
diminimalisir di masa mendatang. Melalui kolaborasi dan upaya berkelanjutan,
Bandung dapat membangun ketahanan terhadap bencana banjir yang lebih baik.
Penyebab Banjir di Bandung
Salah satu penyebab utama banjir di Bandung adalah alih
fungsi lahan yang masif. Banyak lahan pertanian yang beralih menjadi pemukiman,
area bisnis, dan tempat wisata. Hal ini mengurangi kemampuan tanah untuk
menyerap air hujan, sehingga meningkatkan risiko banjir. Menurut Direktur Pusat
Sumber Daya Komunitas (PSDK) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Ahmad Gunawan,
alih fungsi lahan di kawasan seperti Pangalengan dan Baleendah telah mengancam
ketersediaan air dan meningkatkan potensi krisis air bersih di masa depan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang tidak terencana
juga berkontribusi terhadap masalah ini. Banyak bangunan yang didirikan di
daerah tangkapan air, yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air. Dengan
semakin banyaknya permukiman yang dibangun di daerah tersebut, kemampuan tanah
untuk menyerap air hujan semakin berkurang. Data dari Rencana Tata Ruang
Wilayah (RT/RW) Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa luas kawasan pemukiman
meningkat signifikan, sementara lahan pertanian terus menyusut.
Perubahan iklim juga memainkan peran penting dalam
meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan. Dengan pola cuaca yang semakin
tidak menentu, hujan lebat yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan
sungai meluap dan banjir bandang. Hal ini menuntut perhatian serius dari
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan langkah-langkah mitigasi yang efektif.
Dampak Banjir bagi Masyarakat
Dampak dari banjir di Bandung sangat luas dan merugikan.
Banyak rumah yang rusak, dan aktivitas sehari-hari masyarakat terganggu. Dalam
beberapa kejadian, seperti banjir bandang di Cilengkrang, belasan rumah
mengalami kerusakan berat, dan beberapa warga harus mendapatkan perawatan medis
akibat dampak banjir. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga tidak sedikit,
dengan banyak usaha kecil yang terpaksa tutup sementara waktu.
Dampak sosial juga tidak kalah penting. Banyak keluarga yang
kehilangan tempat tinggal dan barang berharga akibat banjir. Hal ini dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi anak-anak dan orang dewasa yang terdampak.
Dengan meningkatnya jumlah pengungsi, pemerintah harus berupaya menyediakan
tempat tinggal sementara dan bantuan yang memadai untuk membantu mereka pulih
dari bencana ini.
Masyarakat Bandung memiliki pendapat yang beragam tentang
masalah banjir ini. Seorang warga bernama Rani, yang tinggal di kawasan
Cileunyi, mengungkapkan, "Setiap kali hujan deras, saya selalu khawatir.
Banjir sudah menjadi hal biasa, tetapi dampaknya sangat merugikan kami."
Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu lebih aktif dalam melakukan perbaikan
infrastruktur dan mengatur pembangunan di daerah rawan banjir.
Di sisi lain, seorang pedagang kaki lima bernama Budi
mengatakan, "Banjir membuat saya kehilangan pelanggan. Banyak orang tidak
mau datang ke area ini ketika banjir melanda." Ia berharap pemerintah
dapat membantu para pedagang kecil dengan memberikan akses ke lokasi yang lebih
aman dan mendukung usaha mereka saat terjadi bencana.
Selain itu, seorang mahasiswa, Diah, juga memberikan
pandangannya. "Saya merasa pendidikan saya terganggu ketika sekolah
diliburkan akibat banjir. Penting bagi pemerintah untuk mencarikan solusi agar
sekolah tetap bisa berjalan meski cuaca buruk." Dia menekankan perlunya
peningkatan kesadaran di kalangan generasi muda tentang pentingnya menjaga
lingkungan untuk mencegah bencana di masa depan.
Upaya Penanganan dan Solusi
Untuk mengatasi masalah banjir, pemerintah daerah telah
melakukan berbagai upaya, termasuk evaluasi terhadap infrastruktur dan pola
tanam masyarakat. Bupati Bandung menekankan pentingnya penanaman pohon dan
penggunaan teknik pertanian yang lebih baik untuk mengurangi risiko banjir di
masa depan. Program penghijauan dan pembuatan sumur resapan menjadi salah satu
strategi yang diusulkan untuk mengelola air hujan secara lebih efektif.
Masyarakat juga diharapkan lebih sadar akan pentingnya
menjaga kebersihan sungai dan tidak membuang sampah sembarangan. Edukasi
tentang pengelolaan limbah yang baik menjadi langkah preventif yang dapat
diambil untuk mengurangi risiko banjir. Dengan kesadaran yang tinggi,
diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam pencegahan banjir.
Pemerintah juga perlu meningkatkan kolaborasi dengan
berbagai pihak, termasuk organisasi non-pemerintah dan sektor swasta, untuk
merancang solusi yang berkelanjutan. Penelitian dan pengembangan teknologi
ramah lingkungan bisa menjadi salah satu alternatif dalam menghadapi
permasalahan banjir yang terus mengancam. Dengan sinergi yang baik, diharapkan
kondisi banjir di Bandung bisa ditangani secara efektif dan berkelanjutan.
Jajan atau Servis Motor? Sebuah Perspektif Sosial dan Praktis
Jajan atau Servis Motor? Sebuah Perspektif Sosial dan Praktis
Oleh: Satria Ramadhan (20230110009)
Di tengah gaya hidup urban yang terus berkembang, banyak perempuan menghadapi dilema sederhana namun menarik: apakah lebih baik menghabiskan waktu untuk servis motor atau menikmati waktu senggang dengan jajan di cafe? Ungkapan seperti "Dih, mendingan jajan deh daripada servis motor!" bukan hanya candaan, tetapi mencerminkan realitas sehari-hari bagi banyak perempuan. Artikel ini akan membahas fenomena tersebut secara lebih komparatif dengan melihat perbedaan sudut pandang antara laki-laki dan perempuan, serta faktor yang memengaruhi preferensi mereka.
Bengkel vs Cafe: Dunia yang Berbeda
Servis motor bagi sebagian besar perempuan sering terasa seperti memasuki dunia lain. Suasana bengkel dengan bau oli, suara mesin yang bising, dan percakapan teknis antara mekanik bukanlah sesuatu yang menarik bagi mereka. Banyak perempuan merasa tidak nyaman karena kurangnya pengetahuan teknis dan adanya kekhawatiran akan ditipu atau mendapatkan pelayanan yang kurang transparan.
Sebaliknya, cafe atau tempat jajan menawarkan pengalaman yang lebih menyenangkan dan mudah diakses. Tidak ada istilah teknis yang membingungkan, tidak perlu merasa terintimidasi, dan yang terpenting, ada kesan sosial yang lebih nyaman. Nongkrong sambil menikmati kopi, es krim, atau makanan ringan memberikan kepuasan emosional dan memperbaiki mood.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan
Mengapa banyak perempuan lebih memilih jajan dibandingkan servis motor? Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi keputusan ini:
1. Prioritas Waktu dan Kenyamanan
Perempuan yang sibuk bekerja atau kuliah sering kali memilih untuk mengalokasikan waktu luangnya untuk hal-hal yang menyenangkan daripada menghabiskan waktu di bengkel. Dua jam yang bisa digunakan untuk menunggu servis motor terasa lebih berharga jika digunakan untuk bersantai atau berinteraksi sosial.
2. Kurangnya Pendidikan Mekanik Sejak Dini
Sejak kecil, laki-laki lebih sering diajak untuk memahami mesin dan kendaraan, sementara perempuan cenderung diarahkan ke bidang lain seperti memasak, kecantikan, atau fashion. Akibatnya, saat dewasa, servis motor menjadi sesuatu yang asing dan kurang menarik bagi mereka.
3. Dukungan dari Lingkungan
Banyak perempuan merasa bahwa mereka tidak perlu memahami seluk-beluk perawatan motor karena ada orang lain yang bisa membantu. Baik itu teman laki-laki, anggota keluarga, atau bahkan layanan mekanik yang bisa dipanggil ke rumah. Fenomena ini memperkuat kebiasaan untuk menghindari bengkel dan lebih mengandalkan pihak lain dalam merawat kendaraan mereka.
Perspektif Laki-Laki: Mengapa Mereka Lebih Nyaman dengan Servis Motor?
Di sisi lain, laki-laki cenderung lebih nyaman dengan servis motor karena mereka sudah terbiasa dengan lingkungan bengkel sejak muda. Mereka memahami pentingnya perawatan kendaraan dalam jangka panjang dan lebih percaya diri saat berinteraksi dengan mekanik. Selain itu, bagi sebagian laki-laki, servis motor bukan hanya sekadar kebutuhan tetapi juga bentuk hobi atau aktivitas yang menarik.
Namun, pandangan ini tidak selalu berlaku secara universal ada juga laki-laki yang kurang tertarik pada dunia otomotif dan lebih memilih menghindari bengkel. Dalam kasus seperti ini, preferensi terhadap servis motor atau jajan lebih ditentukan oleh latar belakang individu dibandingkan gender semata.
Apakah Salah Memilih Jajan daripada Servis Motor?
Jawabannya adalah tidak. Ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal preferensi dan kenyamanan. Bagaimanapun juga, merawat motor tetap penting karena kendaraan adalah alat transportasi utama bagi banyak orang. Menghindari servis motor sepenuhnya bisa berakibat buruk jika kendaraan mengalami kerusakan di saat yang tidak diinginkan.
Solusi terbaik adalah menemukan keseimbangan antara kenyamanan dan tanggung jawab. Perempuan bisa mencari bengkel yang memberikan pengalaman lebih nyaman dan ramah, sementara laki-laki bisa lebih proaktif dalam membantu memberikan edukasi mengenai perawatan kendaraan kepada teman-teman mereka.
Pada akhirnya, baik jajan maupun servis motor memiliki nilai dan kelebihannya masing-masing. Yang terpenting adalah membuat pilihan yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup kita.
"Daripada ke bengkel, mending ke cafe. Motor bisa nunggu, kopi nggak."
Namun jangan lupa, motor juga butuh perawatan agar tetap sehat dan bisa menemani aktivitas sehari-hari!
Minggu, 08 Juni 2025
BANK EMOK, SOLUSI ATAU MASALAH?
Bank Emok adalah istilah yang digunakan untuk menyebut praktik pemberian pinjaman uang secara kelompok yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu di pedesaan. Istilah "emok" sendiri diambil dari bahasa Sunda yang berarti duduk berkelompok, sesuai dengan cara para anggotanya berkumpul saat proses pinjaman berlangsung. Fenomena Bank Emok menarik perhatian khalayak. Keberadaannya dinilai membantu masyarakat, terutama ibu-ibu karena akses pinjaman yang cukup mudah.
Meskipun tidak terdaftar sebagai lembaga perbankan resmi, Bank Emok menjadi salah satu bentuk pinjaman yang cukup populer di tengah masyarakat karena prosesnya yang sangat mudah.
Namun, di balik kemudahan mendapatkan pinjaman tersebut, ada risiko yang perlu diwaspadai, seperti bunga yang tinggi dan sistem penagihan yang bisa memberatkan peminjam. Untuk memahami lebih lanjut tentang apa itu Bank Emok dan bagaimana sistem kerjanya, simak ulasan berikut ini.
Dikutip dari buku Antologi Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Kearifan Lokal karya Dewi Susilowati, dan kawan-kawan, Bank Emok adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sistem pinjaman berbasis kelompok yang banyak dijumpai di lingkungan masyarakat, terutama di daerah pedesaan.
Sistem ini menawarkan kemudahan akses bagi mereka yang membutuhkan dana cepat tanpa harus melalui proses yang rumit seperti di bank konvensional. Pinjaman biasanya diberikan melalui kelompok-kelompok kecil, dengan tujuan memudahkan pengelolaan dan penagihan.
Salah satu keunggulan Bank Emok terletak pada proses pengajuan yang sederhana. Seseorang cukup bergabung dalam kelompok, pinjaman bisa dicairkan tanpa perlu jaminan atau persyaratan administrasi yang berbelit-belit. Hal inilah yang membuat Bank Emok populer, terutama di kalangan ibu rumah tangga yang membutuhkan modal usaha kecil atau dana untuk kebutuhan mendesak.
Namun, dibalik kemudahan tersebut, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Bunga pinjaman sering kali cukup tinggi, bahkan ada yang menilai tidak jauh berbeda dengan praktik rentenir. Selain itu, sistem cicilan yang kaku dan metode penagihan yang ketat bisa menjadi beban tambahan bagi peminjam.
Dalam jurnal NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial oleh Irenza Sabatini Mulyadi, dan kawan-kawan, dijelaskan bahwa Bank Emok bekerja dengan cara menyalurkan dana pinjaman secara berkelompok, di mana satu kelompok biasanya terdiri dari 5-10 orang atau lebih.
Jumlah anggota dalam kelompok ini sudah ditentukan oleh pihak pemberi pinjaman, sementara calon peminjam bertugas mengumpulkan anggota sesuai kebutuhan. Setelah kelompok terbentuk, akan ditunjuk seorang ketua yang berperan sebagai penghubung antara anggota dan pihak pemberi pinjaman.
Dana pinjaman yang diberikan bervariasi, mulai dari belasan hingga puluhan juta rupiah, tergantung kebutuhan masing-masing anggota. Pencairan dilakukan secara kolektif berdasarkan total akumulasi pinjaman kelompok. Sistem pembayaran dilakukan secara kredit mingguan dengan bunga cukup tinggi, yaitu lebih dari 25% dari total pinjaman.
Hal yang menjadi ciri khas Bank Emok adalah sistem “Tanggung Renteng”, artinya semua anggota bertanggung jawab bersama atas pinjaman tersebut. Jika ada anggota yang gagal membayar cicilan, maka sisa tanggungan tersebut harus dibayar oleh anggota lainnya.
Skema ini mengandalkan solidaritas kelompok, namun juga bisa menimbulkan masalah jika ada anggota yang tidak bertanggung jawab. Model ini terinspirasi dari sistem pinjaman kelompok di Grameen Bank, yang bertujuan memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan kekuatan kelompok sebagai jaminan sosial. Meskipun efektif untuk mempermudah akses pinjaman, sistem ini tetap memiliki risiko yang harus dipertimbangkan dengan matang sebelum terlibat di dalamnya.
Dari sisi positif, Bank Emok dapat dianggap sebagai bentuk inovasi keuangan mikro yang mampu menjangkau masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan formal. Kemudahan dalam mengakses pinjaman tanpa jaminan, proses yang cepat, serta pemberdayaan ekonomi ibu-ibu rumah tangga menjadi poin penting dalam mendukung ekonomi skala kecil. Bagi sebagian orang, Bank Emok menjadi satu-satunya jalan keluar dari kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda.
Sementara dari sisi negatif, sistem bunga yang tinggi dan kewajiban tanggung renteng menjadi beban psikologis dan sosial yang tidak ringan. Ketika satu orang tidak mampu membayar, maka anggota lain pun terkena dampaknya. Hal ini seringkali memicu konflik dalam kelompok dan menimbulkan rasa tidak nyaman antaranggota. Selain itu, karena tidak berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sistem ini rawan penyelewengan. Tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi peminjam jika terjadi pelanggaran atau intimidasi dalam proses penagihan. Lebih jauh lagi, praktik Bank Emok yang tidak terstandarisasi membuka celah bagi oknum tertentu untuk memanipulasi data, menetapkan bunga semena-mena, dan melakukan penagihan secara kasar.
Pada akhirnya, Bank Emok memang hadir sebagai alternatif solusi keuangan bagi masyarakat kecil, tetapi potensi permasalahan yang ditimbulkannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dibutuhkan literasi keuangan yang kuat serta pengawasan yang lebih jelas agar praktik ini benar-benar bisa menjadi jalan keluar, bukan jebakan baru. Sebelum meminjam, pahami risikonya karena tidak semua yang mudah itu menguntungkan. Bijaklah dalam mengambil keputusan finansial, agar langkah kecil tak berubah menjadi beban besar.
Sabtu, 07 Juni 2025
Kebiasaan Foto Makanan Sebelum Makan: Budaya atau Kebiasaan?
Makanan Jadi Model, Kita Jadi Fotografer
Tak bisa dipungkiri, di era digital ini, hampir setiap kali kita duduk di meja makan, ada satu hal yang pasti dilakukan yaitu memotret makanan. Tak peduli apakah itu sepiring nasi goreng sederhana, atau sekedar cemilan kopi dengan kue. Insting pertama yang datang bukan langsung mencicipi, melainkan menekan tombol kamera.
Begitu makanan terhidang, tak jarang kita sudah sibuk dengan ponsel, menata sudut foto terbaik, mencari cahaya yang pas, dan mengatur tampilan makanannya agar instagramable. Tapi, pertanyaannya: Apakah ini budaya baru, atau sekadar kebiasaan yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi?
Generasi Digital dan Identitas Diri
Generasi digital, terutama Generasi Z dan Millennials, tumbuh di dunia yang terhubung dengan internet. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tidak hanya menjadi platform berbagi foto, tetapi juga ajang untuk menunjukkan identitas diri. Makanan, dengan segala variasinya, menjadi cara mudah untuk berbagi rasa, momen, dan bahkan gaya hidup.
Menurut artikel di IDN Times, banyak orang yang suka memotret makanan sebelum makan karena tampilan makanan yang menarik, serta dorongan untuk membagikan momen di media sosial sebagai bentuk ekspresi diri (IDN Times, 2021)¹. Di sinilah makanan tidak hanya dilihat sebagai kebutuhan biologis, tapi juga sebagai bentuk “konten” yang merepresentasikan gaya hidup.
Kenapa Foto Makanan Jadi Tren
1. Eksistensi di Media Sosial
Foto makanan bukan lagi soal rasa. Seperti yang dijelaskan dalam artikel di Kompasiana, membagikan foto makanan menjadi simbol status dan gaya hidup tertentu, seperti makan di tempat mahal atau menyantap makanan unik (Kompasiana, 2022)². Unggahan makanan bisa menjadi “etalase diri digital”.
2. Sebagai Draft dan Kenangan
Dalam artikel dari JawaPos, dijelaskan bahwa orang yang memotret makanan seringkali ingin mengabadikan momen, bukan sekadar makanannya. Ini membantu mereka mengenang momen tersebut di kemudian hari³. Ketika kita melihat foto makanan di feed, kita seperti “terbawa” ke dalam momen itu lagi.
3. Makanan yang Memanjakan Mata
Banyak tempat makan kini menyajikan makanan dengan estetika tinggi karena sadar akan potensi viral di media sosial. Tren ini bahkan dibahas oleh pakar kuliner Indonesia Fadly Rahman, yang menyebut bahwa dokumentasi makanan bisa menjadi bagian dari ekspresi sosial modern.
Dampak Positif dan Negatif dari Kebiasaan Ini
Positif:
- Meningkatkan Kreativitas:
Menata makanan agar menarik untuk difoto melatih kreativitas visual seseorang. Bahkan, hal ini bisa menjadi profesi, seperti food stylist dan food content creator.
- Sarana Eksplorasi Kuliner:
Berkat unggahan makanan, orang tertarik mencoba tempat makan atau resep baru, membuka peluang bagi UMKM kuliner untuk dikenal lebih luas (Harian Disway, 2023)⁵.
- Mempererat Hubungan Sosial:
Berbagi foto makanan jadi pemicu obrolan ringan, cara menyapa teman, atau mempererat hubungan lewat komentar dan pesan.
Negatif:
- Mengurangi Fokus pada Momen:
Ketika terlalu sibuk mengatur cahaya atau filter, kita bisa kehilangan esensi dari momen makan bersama. Seperti disinggung dalam artikel JawaPos, ini mengurangi mindfulness saat makan³.
- Tekanan Sosial:
Makanan yang tidak fotogenik atau kurang populer kadang dianggap “kurang menarik” di media sosial. Hal ini bisa memberi tekanan pada orang untuk hanya memilih makanan yang “populer” atau Instagrammable, daripada menikmati apa yang mereka sukai.
- Kecanduan Konten:
Ada kalanya foto makanan hanya untuk mengejar likes, bukan untuk mengabadikan kenangan yang benar-benar berarti. Kebiasaan ini dapat mengarah pada kecanduan untuk selalu mendapatkan validasi dari dunia maya.
Pada akhirnya, kebiasaan foto makanan lebih dari sekadar sebuah tren atau kebiasaan. Ini adalah wujud bagaimana kita berinteraksi dengan dunia digital dan membagikan bagian dari hidup kita. Tetapi, kita juga harus mengingat bahwa makanan adalah pengalaman multisensori yang melibatkan lebih dari sekadar visual. Jangan biarkan foto makanan mengalihkan kita dari kenikmatan sejati dari makan itu sendiri.
Cobalah sesekali untuk menjauh dari ponsel, menikmati setiap suapan tanpa gangguan, dan hanya hadir di momen itu. Karena terkadang, kenangan yang paling indah tidak ada dalam foto, tetapi dalam rasa dan kebersamaan yang kita alami.
Ini Budaya atau Kebiasaan?
Kebiasaan foto makanan sebelum makan telah berevolusi menjadi bagian dari budaya digital Indonesia. Ia tidak lagi sekadar hobi sesaat, tapi menjadi bagian dari narasi diri seseorang di dunia maya. Namun, penting untuk diingat: makan adalah pengalaman multisensori, bukan sekadar visual.
Rabu, 04 Juni 2025
“Mie Gacoan dan Budaya Konsumsi Gen Z: Antara Rasa, Eksistensi, dan Algoritma”
Di Tengah derasnya tren kuliner di Indonesia, Mie Gacoan telah menjadi lebih dari sekadar restoran mie pedas. Sejak didirikan pada 2016 di Malang, Jawa Timur, Gacoan telah menjelma menjadi ikon budaya populer yang mencerminkan gaya hidup hedonis dan rasa takut ketinggalan zaman (FOMO) di kalangan remaja dan Gen Z. Dengan harga mulai dari Rp9.500 per porsi dan antrean yang bisa mencapai satu jam, apa yang membuat Gacoan begitu digandrungi? Mari kita telusuri bagaimana popularitas Gacoan menjadi cerminan zaman digital.
Ledakan Popularitas Gacoan: Angka dan Fakta
Mie Gacoan, yang dikelola oleh PT Pesta Pora Abadi, telah berkembang pesat dari satu gerai kecil di Malang menjadi lebih dari 115 cabang di seluruh Indonesia hingga awal 2025, termasuk di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Bali. Menurut laporan, Gacoan melayani puluhan ribu pelanggan setiap bulan di setiap wilayah, dengan omzet harian diperkirakan mencapai Rp103,5 juta dari seluruh gerai, menunjukkan kekuatan bisnisnya di sektor kuliner.
Keberhasilan Gacoan juga terlihat dari kehadirannya di media sosial. Pada 2023, Gacoan menjadi salah satu topik yang viral di TikTok dan Instagram, dengan jutaan views untuk konten seperti tantangan makan mie pedas atau ulasan antrean panjang. Bahkan, unggahan di X pada Mei 2025 menunjukkan antusiasme pelanggan terhadap promo diskon Gacoan, dengan postingan seperti “CEK & KLEMMM GACOAN DISKON BANYAK” yang menyebar luas. Media sosial memainkan peran besar: laporan We Are Social mencatat bahwa 143 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2025, dengan 50,8% menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk mencari tren, termasuk kuliner seperti Gacoan.
Hedonisme Gen Z: Gacoan sebagai Gaya Hidup
Bagi Gen Z, makan di Gacoan bukan sekadar soal rasa pedas yang menggigit, tetapi tentang mengejar kesenangan instan dan pengakuan sosial—ciri khas hedonisme modern. Dengan harga terjangkau (mie mulai Rp9.500 hingga Rp11.000 dan dimsum Rp8.000-an), Gacoan menawarkan pengalaman kuliner yang terasa mewah tanpa menguras dompet. Interior yang Instagrammable, seperti dekorasi modern dan pencahayaan estetik, membuat setiap kunjungan jadi momen untuk konten media sosial. Foto mie dengan taburan ayam cincang atau es genderuwo yang unik sering menghiasi Instagram Stories dan TikTok, memperkuat status Gacoan sebagai tempat “wajib dikunjungi.”
Strategi pemasaran Gacoan juga memperkuat sifat hedonis ini. Nama menu yang awalnya bertema horor seperti “Mie Setan” dan “Es Tuyul” (kini diubah menjadi “Mie Hompimpa” dan lainnya untuk sertifikasi halal MUI pada 2022) menciptakan kesan edgy yang cocok dengan jiwa muda. Kolaborasi dengan influencer dan promo seperti flash sale Rp5.000 di aplikasi tertentu membuat Gacoan terasa eksklusif, meski harganya murah. Hal ini mendorong Gen Z untuk berulang kali mengunjungi Gacoan, bukan hanya untuk makan, tetapi untuk merasakan “kepuasan” menjadi bagian dari tren.
FOMO: Antrean Panjang dan Hype Media Sosial
FOMO (Fear of Missing Out) adalah bahan bakar utama di balik antrean panjang Gacoan. Ketika video tantangan makan mie pedas level 8 atau ulasan tentang dimsum udang rambutan viral di TikTok, Gen Z merasa harus ikut mencoba agar tidak ketinggalan momen. Sebuah postingan di X pada 2023 menyebut strategi “queue marketing” Gacoan sebagai kunci kesuksesan: antrean panjang justru jadi bukti bahwa Gacoan adalah tempat yang “harus” dikunjungi. Fenomena ini diperkuat oleh data We Are Social 2025, yang menyebutkan bahwa 50% pengguna media sosial di Indonesia menggunakan platform untuk melihat “hal yang sedang ramai dibicarakan.”
Media sosial seperti TikTok, yang memiliki 1,526 miliar pengguna global dan lebih dari 106,5 juta pengguna di Indonesia pada 2024, menjadi panggung utama untuk hype Gacoan. Konten seperti “first time dine in Gacoan” atau ulasan antrean yang dibagikan di X menunjukkan betapa pengalaman makan di Gacoan jadi bagian dari identitas digital Gen Z. Namun, FOMO ini juga punya sisi negatif: tekanan untuk terus mengikuti tren bisa membuat remaja menghabiskan waktu dan uang berlebihan hanya untuk tetap relevan di lingkaran sosial mereka.
Kontroversi yang Menambah Popularitas
Popularitas Gacoan tidak lepas dari kontroversi yang justru menambah perhatian publik. Pada Januari 2024, sebuah video viral di media sosial menunjukkan adanya belatung di topping mie di cabang Cirebon, memicu kegaduhan di kalangan netizen. Pihak Gacoan merespons dengan investigasi dan permintaan maaf, yang menunjukkan krisis manajemen yang cepat. Ironisnya, kontroversi ini malah meningkatkan eksposur Gacoan di media sosial. Selain itu, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Gacoan Mataram pada 2024, yang diabadikan dalam vlog Instagram, makin memantapkan status Gacoan sebagai kuliner nasional yang “wajib dicoba.”
Dampak dan Refleksi
Gacoan telah mengubah lanskap kuliner Indonesia dengan menyatukan rasa lokal, harga terjangkau, dan estetika modern yang disukai Gen Z. Dengan lebih dari 3.000 karyawan dan ekspansi agresif, Gacoan juga membuka peluang ekonomi baru. Namun, hedonisme dan FOMO yang dipicu oleh popularitas Gacoan bisa mendorong pengeluaran impulsif dan tekanan sosial di kalangan remaja. Gen Z perlu belajar menyeimbangkan antara menikmati tren dan mengelola keuangan serta waktu mereka.
Mie Gacoan adalah cerminan bagaimana kuliner bisa menjadi lebih dari sekadar makanan—ia adalah pengalaman, identitas, dan bagian dari budaya digital. Lain kali kamu melihat antrean panjang di Gacoan atau video viral di TikTok, ingatlah: ini bukan hanya tentang mie pedas, tetapi tentang bagaimana Gen Z menjalani hidup di era media sosial. Jadi, apakah kamu akan ikut antre untuk merasakan hype-nya, atau cukup menikmati dari layar ponselmu?
Oleh: Dewi Azzahra
Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan
Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...
