Jumat, 30 Mei 2025

Curhat Bukan Lemah: Mengapa Gen Z Butuh Didengar?

Pernah merasa tekanan penuh di kepala, tapi nggak tahu harus cerita ke siapa?

Kamu bukan satu-satunya. Di era digital yang serba canggih ini, banyak gen z merasa sendiri dan kesepian meski memiliki ribuan teman di mesia sosial. Jika dilihat dari kelompok usianya, gen z menjadi kelompok yang paling rentan terhadap masalah mental. Faktanya, 59,1% gen z di Indonesia mengaku mengalami gangguan kesehatan mental, mulai dari stres, cemas, hingga depresi (Jajak Pendapat, 2024). Namun, yang lebih mengejutkan, hanya 10% dari mereka yang berani berkonsultasi dan mencari bantuan untuk mengatasi gangguan yang dialaminya. Sisanya memilih memendam.

Kenapa Gen Z Lebih Rentan?

Gen z tumbuh di era digital yang sangat cepat, dan komunikasi instan. Hidup semakin mudah, tapi juga semakin penuh pikiran dan tekanan. Menurut jurnal Sabana (2025), gen z hidup di tengah banjir informasi, perbandingan sosial, dan ekspektasi yang sering tidak realistis dari media sosial. Akibatnya, banyak dari mereka merasa terasingi secara emosional walau tampak aktif secara sosial.

Kita seringkali terlihat bahagia, tapi sebenarnya capek secara mental. Di sinilah pentingnya memiliki teman curhat; seseorang yang bisa dipercaya untuk dijadikan tempat cerita, tanpa menghakimi kita.

Ngobrol Salah Satu Solusi untuk Bertahan

Tidak salah lagi kalau ngobrol bisa menyelamatkan mental. Studi dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey tahun 2024 menunjukkan bahwa 34,9% atau 15,5 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan dukungan sosial dari orang-orang terdekat.

Coba bayangkan kamu sedang dalam masalah yang cukup berat, lalu orang terdekatmu bilang ”Ceritain aja semuanya, aku ada di sini buat dengerin.” Salah satu kalimat sederhana itu bisa jadi jalan keluarnya pikiran negatif yang menguras energi. Yang tadinya tekanan di kepala penuh, bisa sedikit berkurang kalau sudah dikeluarkan dengan bercerita. Seperti disampaikan dalam jurnal Sabana yang saya baca, interaksi sosial yang sehat bisa menurunkan tingkat stres, kecemasan, bahkan risiko depresi.

Teman curhat bisa siapa saja, baik itu pasangan, teman, keluarga, guru, bahkan konselor. Yang terpenting, dia adalah orang yang bisa membuatmu merasa didengar dan dihargai. Dan perlu kamu ketahui, cerita atau curhat bukan tanda lemah. Justru itu bukti bahwa kamu peduli terhadap kesehatan mentalmu.

Kita tidak diciptakan untuk memikul dan menghadapi semuanya sendirian. Di balik semua postingan Instagram dan status WhatsApp yang terlihat baik-baik saja, pasti banyak hati yang ingin dimengerti.

Jadi, kalau kamu merasa tidak sanggup dengan apa yang kamu rasakan, cari seseorang yang kamu percaya dan bisa menjadi pendengar yang baik. Begitu juga sebaliknya. Kalau kamu melihat temanmu murung, cukup tanya “Kamu mau cerita?” Mungkin itu hal kecil, tapi bisa jadi penyelamat bagi orang lain.

Karena di zaman sekarang, peduli itu keren. Dan memiliki teman curhat itu bukan kelemahan, tapi kebutuhan. Jadi, yuk mulai bicara.

Oleh Intan Chaerul Bariyyah

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...