Sejak
kecil, kita sering mendengar kalimat, “Jangan lupa sarapan biar kuat dan enggak
lemas.” Enggak heran, karena sarapan memang dikenal sebagai the most
important meal of the day.
Setelah tidur selama 6 sampai 8 jam atau bahkan lebih tubuh kita sebenarnya
dalam kondisi puasa. Tidak ada asupan makanan yang masuk selama itu, sementara
organ tubuh, terutama otak, tetap bekerja. Sarapan hadir sebagai “Bahan bakar”
pertama yang dibutuhkan tubuh untuk memulai hari.
Otak kita membutuhkan glukosa sebagai sumber energi
utama agar bisa berpikir, berkonsentrasi, dan menjaga suasan hati tetap stabil.
Tanpa glukosa yang cukup dari makanan, tubuh bisa merasa lemas, kurang fokus,
atau bahkan gampang uring-uringan. Bukan cuma itu, sarapan juga membantu
menjaga ritme metabolisme tetap seimbang dan mencegah kita makan berlebihan di
siang hari karena terlalu lapar. Beberapa orang yang melewatkan sarapan bahkan
mengeluh sakit perut, pusing, atau sulit berkonsentrasi saat menghadapi
tugas-tugas berat di pagi hari.
Jadi, sarapan bukan sekedar kebiasaan turun-tekomurun,
anjuran sarapan punya alasan yang logis dari sisi kesehatan tubuh dan kinerja
otak. Tapi, apakah itu berarti semua orang harus sarapan?
Sarapan Bekal Penting untuk Produktivitas
Menurut Ahli Gizi Universitas Muhammadiyah Surabaya,
Tri Kurniawati, menegaskan bahwa edukasi tentang pentingnya sarapan bergizi
seimbang perlu terus digalakkan. Menurutnya, sarapan adalah aktivitas penting
untuk memulai pagi dengan energi yang cukup. Tidak hanya sekedar kebiasaan,
sarapan masuk dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang yang diterbitkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2014. Artinya, peran sarapan sudah
diakui secara resmi dalam paduan hidup sehat masyarakat Indonesia.
Tri Kurniawati menyampaikan bahwa sarapan bisa
memenuhi 15% - 30% dari total kebutuhan gizi harian. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi di pagi hari, maka tubuh akan memulai hari dalam kondisi kekurangan
energi dan zat gizi, yang berdampak langsung pada produktivitas dan kesehatan.
Tidak hanya itu, pada remaja dan orang dewasa, kebiasaan melewatkan sarapan
justru bisa memicu pola makan tidak teratur dan berujung pada risiko kegemukan.
Hal ini terjadi karena rasa lapar yang ditahan sejak pagi bisa menyebabkan
seseorang makan berlebihan saat siang atau sore hari.
Tri Kurniawati juga menjelaskan bahwa perbedaan paling
mencolok antara orang yang terbiasa sarapan dengan yang tidak terletak pada
kesiapan tubuh dalam menjalani aktivitas harian. Mereka yang sarapan cenderung
lebih siap secara fisik dan mental untuk berpikir, bergerak, dan bekerja secara
optimal setelah bangun tidur. Sedangkan mereka yang tidak sarapan, terutama
jika tidak terbiasa, bisa mengalami gangguan konsentrasi, kelelahan, hingga
penurunan daya tahan tubuh.
Melewatkan Sarapan sebagai Pola Sehat?
Di tengah anjuran pentingnya sarapan, tren Intermittent
Fasting (IF) justru mengusung pendekatan berbeda. IF adalah metode mengatur
waktu makan dengan cara membatasi jendela makan, misalnya hanya makan antara
pukul 12.00 hingga 20.00, dan berpuasa selama sisa waktu, termasuk pagi hari.
Artinya, dalam pola ini, sarapan justru dilewatkan.
Namun, apakah melewatkan sarapasen saat IF bisa
dianggap pilihan yang bijak? Jawabannya: Tergantung
Menurut artikel yang dimuat di laman resmi MurniCare,
sarapan saat menjalani IF bisa jadi pilihan bijak, bila tubuh memang
membutuhkannya, terutama bagi orang yang punya aktivitas padat sejak pagi.
Sarapan dalam kondisi ini membantu menjaga stabilitas energi dan mengurangi
risiko makan berlebihan di siang hari karena tubuh tidak terlalu kelaparan saat
makan terbuka.
Tapi di sisi lain, bagi mereka yang mengikuti pola
puasa 16:8 atau 18:6 secara displin, sarapan justru dianggap bisa mengganggu
proses puasa yang sedang berlangsung. Saat tubuh dibiarkan berpuasa lebih lama,
proses pembakaran lemak dan sensitivitas insulin meningkat, dua manfaat utama
dari IF. Jika seseorang memilih untuk sarapan, jendela puasa otomatis menjadi
lebih pendek, sehingga potensi manfaat tersebut bisa berkurang.
Beberapa studi
bahkan menunkonjukkan bahwa melewatkan sarapan tidak selalu berdampak negatif,
terutama jika total asupan nutrisi harian tetap terpenuhi dan pola makan dijaga
seimbang. Namun, efeknya tetap bisa berbeda-beda tergantung kondjisi kesehatan
dan kebiasaan metabolisme masing-masing orang.
Sarapan atau Tidak? Dengarkan Tubuhmu Sendiri
Pada akhirnya, memilih untuk sarapan atau tidak bukan
soal ikut-ikutan tren atau memegang teguh kebiasaan lama. Yang terpenting
adalah mengenali kebutuhan tubuh kita sendiri. Setiap orang punya ritme tubuh
yang berbeda. Ada yang butuh asupan energi di pagi hari untuk bisa fokus dan
beraktivitas, ada juga yang merasa lebih nyaman memulai hari tanpa sarapan,
terutama jika menjalani pola makan seperti Intermittent Fasting.
Tubuh manusia tidak bekerja dengan pola satu untuk
semua. Apa yang baik untuk satu orang belum tentu cocok untuk orang lain.
Karena itu, keputusan untuk sarapan sebaiknya tidak didasarkan pada tekanan
sosial, asumsi umum, atau sekadar ingin mengikuti gaya hidup tertentu.
Dengarkan sinyal tubuhmu: apakah kamu merasa lebih bertenaga setelah sarapan?
Atau justru merasa lebih ringan dan fokus tanpa makan pagi?
Jika kamu merasa lemas, sulit konsentrasi, atau punya
riwayat kesehatan yang mengharuskan asupan di pagi hari, maka sarapan bisa jadi
hal yang penting dan perlu diprioritaskan. Tapi jika tubuhmu tetap prima tanpa
sarapan dan kamu tetap bisa memenuhi kebutuhan gizi harian dengan baik, tidak
sarapan pun bukan masalah.
Intinya, baik sarapan maupun tidak, keduanya bisa
sehat asal dijalani dengan sadar, seimbang, dan sesuai kebutuhan tubuh
masing-masing. Jadi, daripada ikut arus, lebih baik pahami tubuhmu sendiri.
Karena tubuhmu tahu apa yang terbaik untukmu.
0 komentar:
Posting Komentar