Kamis, 29 Mei 2025

Bahaya Anomali Brainrot yang Merusak Imajinasi Anak di Era Digital

Oleh Fina Isnaini Syafiqa — 29 April 2025

 


    Apakah kalian sering merasa sulit berkonsentrasi saat membaca buku, sementara menonton video berdurasi 15 detik di sosial media terasa begitu mudah dan menyenangkan? Atau mungkin, kamu terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, lalu merasa gelisah saat jauh dari ponsel. Jika iya, bisa jadi kamu sedang mengalami gejala brainrot.

    Di era digital seperti sekarang, perangkat digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari belajar, bekerja, hingga mencari hiburan, semuanya dapat diakses dengan mudah. Namun, di balik tampilan yang tampak fungsional dan menghibur, terselip ancaman yang kerap luput dari perhatian. Seperti gejala brainrot, yang sebelumnya telah dibahas, yakni kondisi yang disebabkan oleh paparan konten yang dangkal, singkat, dan berkualitas rendah. Contohnya adalah konten yang belakangan ini marak diperbincangkan di media sosial, yaitu konten bernama anomali brainrot.

Apa itu Brainrot?

    Istilah brainroot secara harfiah berasal dari gabungan kata brain (otak) dan rot (busuk), yang jika disatukan dapat diartikan sebagai "Pembusukan otak". Meski bukan istilah medis, brainrot cukup populer di kalangan pengguna media sosial dan sering digunakan sebagai istilah slang.  Bahkan, kata ini terpilih sebagai Oxford Word of the Year pada tahun 2024. Istilah ini merujuk pada kondisi mental dan kognitif seseorang yang mengalami penurunan akibat konsumsi berlebihan konten digital. Berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam Brain Sciences sebuah jurnal internasional yang fokus pada ilmu otak, dalam artikel berjudul "Mengungkap Dilema Baru tentang Pembusukan Otak di Era Digital: Sebuah Tinjauan", Yousef et al. (2025) membahas bahwa brainrot muncul akibat terlalu sering terpapar konten digital yang sifatnya pasif, berulang-ulang, dan tidak berkualitas, seperti menonton video pendek atau scrolling tanpa tujuan. Bahkan, penelitian yang sama menyebutkan bahwa rata-rata remaja dan orang dewasa sekarang menghabiskan sekitar 6,5 jam secara online. Kebiasaan ini bisa membuat otak kelelahan dan jadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar. Dan Berdasarkan artikel tersebut, kelompok yang paling rentan terhadap gejala brainrot adalah Generasi Z (lahir 1995–2009) dan Generasi Alpha (lahir setelah 2010). Karena Kedua generasi ini tumbuh di tengah dunia yang didominasi oleh teknologi digital dan telah menjadikan perangkat digital sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Apa itu Anomali?

    Sedangkan anomali dapat digunakan untuk menggambarlan  suatu keadaan atau hal yang menyimpang dari kebiasaan, norma, atau sesuatu yang dianggap normal. Dalam banyak konteks, anomali menunjukkan adanya kejanggalan, ketidakwajaran, atau perbedaan mencolok dari pola yang lazim. Dan yang sedang ramai diperbincangkan di sosial media saat ini yaitu Anomali Brainroot

    Secara umum, digunakan untuk menggambarkan konten dengan kualitas rendah yang dianggap merusak, baik secara psikologis, kognitif, maupun emosional. Konten anomali brainrot mulai menjamur di media sosial pada awal tahun 2025, ditandai dengan kemunculan tren meme visual absurd. Tren ini berisi konten-konten aneh berupa hewan hasil rekayasa AI yang dipadukan dengan objek tak lazim, atau diberi atribut manusia, seperti sepatu atau kaki manusia. Biasanya, video ini diiringi narasi suara AI berbahasa Italia yang melontarkan kalimat-kalimat tak masuk akal, membahas topik acak dengan nada yang dramatis. Fenomena ini bermula di TikTok lewat karakter unik bernama Tralalero Tralala (seekor hiu yang mengenakan sepatu olahraga) dan langsung mencuri perhatian warganet. Tak lama kemudian, karakter-karakter serupa bermunculan, seperti Bombardiro Crocodilo (gabungan pesawat tempur dan buaya) serta Lirili Larila (gajah berbadan kaktus dan mengenakan sandal). Meskipun akun kreator pertama @eZburger401 sudah diblokir, konten sejenis terus bermunculan dari akun lain seperti @elchino1246. Gelombang tren ini bahkan sampai ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan versi lokal seperti Tung Tung Tung Sahur (sejenis kentungan sahur yang menyerupai manusia)

Mengapa Hal ini Berbahaya?

    Melihat kelompok paling rentan terhadap gejala brainrot kini didominasi salah satunya oleh Generasi Alpha membuat saya semakin merasa khawatir terhadap arah perkembangan konten di sosial media. Mereka kini terpapar pada jenis konten yang semakin hari semakin aneh dan sulit dipahami. Kemunculan tren anomali brainrot menjadi contoh nyata bagaimana media sosial dipenuhi oleh konten absurd yang tak hanya dangkal, tetapi juga mengganggu secara visual dan emosional. Yang lebih memprihatinkan, konten seperti ini justru dengan mudah lolos di platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Reels. Generasi Alpha, yang lahir dan tumbuh di tengah teknologi, menjadi sasaran empuk algoritma yang tidak peduli pada isi hanya pada interaksi dan waktu tonton. Ironisnya, banyak dari kita orang dewasa, tidak sadar bahwa anak-anak kita sedang mengonsumsi konten ini. Kita anggap semua video anak itu aman, padahal algoritma platform digital tak mampu membedakan mana konten edukatif dan mana yang berbahaya secara visual maupun psikologis.

    Anak-anak yang seharusnya belajar mengenal dunia nyata justru lebih dulu dicekoki oleh gambar-gambar aneh yang tidak sesuai dengan bentuk hewan atau manusia sebenarnya. Dalam masa perkembangan, hal ini bisa mengacaukan persepsi mereka tentang dunia di sekitar.

Akibatnya anak bisa :

1. Distorsi persepsi pada dunia nyata

Anak dapat mengalami kesulitan membedakan antara bentuk nyata dan bentuk aneh dalam konten

Paparan bentuk yang tidak realistis mengganggu pemahaman awal mereka tentang dunia nyata.

2. Gangguan psikologis

Anak-anak bisa merasa cemas atau takut pada objek yang seharusnya tidak menakutkan, seperti hewan atau wajah manusia.

Konten visual menyeramkan bisa memicu mimpi buruk, gangguan tidur, atau kecemasan berkepanjangan.

Atau potensi trauma visual jangka panjang akibat gambar-gambar tersebut.

3. Gaya ilustrasi yang menipu

Gambar dikemas dengan gaya lucu, cerah, dan kekanak-kanakan, sehingga terlihat aman padahal kontennya mengganggu.

Membuat anak tidak memiliki pertahanan diri terhadap konten berbahaya karena masuk ke dalam algoritma tontonan anak anak.

4. Gangguan pada tahap perkembangan kognitif awal

Masa usia dini adalah fase krusial dalam mengenal konsep dasar: bentuk hewan, wajah manusia, ekspresi emosi, dan lingkungan sekitar.

Ketika fase ini diisi oleh visual yang menyimpang, proses tumbuh kembang anak dapat terganggu secara mendasar.

    "Saya bahkan pernah melihat sendiri gambar-gambar anomali brainrot yang begitu mengganggu, bahkan bagi saya, orang dewasa. Bayangkan bagaimana dampaknya pada anak-anak yang bahkan belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang cuma fantasi. Kalau kita saja bisa merasa bingung atau takut, apalagi mereka?”

Langkah praktis perlindungan dampak negatif konten digital

1. Pantau dan dampingi aktivitas digital anak.

      Jangan serahkan sepenuhnya kepada "konten rekomendasi".

2. Perkenalkan gambar nyata terlebih dahulu.

      Biarkan anak mengenal dunia sebagaimana adanya: warna, bentuk, suara, dan gerak yang alami.

3. Ajarkan anak membedakan imajinasi dan kenyataan.

      Bantu mereka mengerti bahwa tidak semua yang ada di layar itu benar atau nyata.

    Maka dari itu, di era digital yang semakin maju, penting bagi kita untuk waspada terhadap dampak negatif dari konsumsi konten digital yang dangkal dan tidak berkualitas. Peran orang tua sangat krusial dalam mendampingi aktivitas digital anak, memperkenalkan dunia nyata secara utuh, dan mengajarkan mereka membedakan imajinasi dengan kenyataan. Selain itu, kita semua perlu membatasi waktu melihat layar, memilih konten berkualitas, serta mengurangi kebiasaan scrolling tanpa tujuan, agar terhindar dari brainrot dan dapat menjaga kesehatan mental serta fungsi kognitif di tengah arus konten digital yang tak terbendung.


“Anak butuh bentuk nyata, bukan sekadar khayalan warna dan suara

Butuh mata kita, bukan hanya layar semata

Dampingi, pahami, jangan hanya diam

Agar mereka tumbuh dengan sehat dan selamat.”

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...