Puluhan orang mengantre di sebuah sudut pusat perbelanjaan. Di hadapan mereka, benda menyerupai bola logam sebesar kepala manusia berdiri di atas dudukan. Satu per satu orang mendekat, menatap benda itu selama beberapa detik. Tak lama kemudian, mereka melangkah pergi dengan wajah puas menerima kiriman uang kripto senilai ratusan ribu rupiah. Transaksi selesai. Retina mata ditukar dengan aset digital.
Fenomena ini kini marak di berbagai kota besar di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta. Worldcoin, proyek identitas digital global yang digagas oleh Sam Altman CEO OpenAI tengah menggelar operasi masif untuk mengumpulkan data retina dari jutaan manusia di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu ladang subur.
Dengan iming-iming imbalan uang kripto yang dapat dikonversi menjadi rupiah, masyarakat berbondong-bondong rela memindai retina mereka melalui alat bernama orb. Bagi sebagian besar orang yang terdampak ekonomi atau sekadar penasaran, tawaran ini terasa menggiurkan: tanpa syarat, tanpa risiko yang terlihat, dan langsung dapat uang.
Namun di balik kesederhanaan transaksi ini, ada pertaruhan besar yang masih samar: hak atas data pribadi yang tidak tergantikan.
Identitas Biometrik Bukan Data Biasa
Retina mata adalah bagian dari data biometrik
data yang bersifat unik dan permanen. Tidak seperti nomor telepon atau password,
data biometrik tidak bisa diubah. Sekali terekam dan tersimpan, Ia menjadi
penanda identitas yang tak tergantikan.
Di sinilah letak bahayanya. Ketika
seseorang menyerahkan data retina, Ia melepaskan kontrol atas bagian paling
mendasar dari identitas biologisnya. Data ini bisa jadi digunakan untuk
keperluan yang belum terbayangkan hari ini baik oleh perusahaan, pemerintah,
bahkan pihak yang tak bertanggung jawab jika sistem bocor.
Worldcoin
memang mengklaim data pengguna disimpan secara terenkripsi dan aman. Mereka
juga menyatakan bahwa pemindaian retina hanya digunakan untuk menghasilkan hash
identitas unik, tanpa menyimpan gambar mentah retina. Namun, di balik
jargon teknis ini, masyarakat yang menjadi sasaran justru tidak punya cukup
pemahaman atau kuasa untuk mengaudit janji-janji tersebut.
Ketika literasi digital rendah dan
kebutuhan ekonomi tinggi, warga menjadi subjek yang mudah dieksploitasi oleh
proyek-proyek besar bermodal teknologi canggih.
Daya Tarik Uang Cepat, Ancaman Jangka Panjang
Di Indonesia, sebagian besar peserta
pemindaian retina adalah anak muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Banyak dari mereka tidak membaca syarat dan ketentuan secara utuh. Mereka tidak
memahami potensi risiko dari penggunaan data biometrik di masa depan.
Dalam banyak video viral, orang bahkan
rela mengantre panjang atau membujuk teman dan keluarga untuk ikut, karena “Sayang
kalau tidak ambil kesempatan.” Fenomena ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah
pertukaran antara data biometrik dan uang ini benar-benar dilakukan secara
sadar dan setara?
Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini
adalah gejala dari ketimpangan informasi dan ekonomi. Di satu sisi, ada
perusahaan teknologi global dengan dana besar dan misi ambisius. Di sisi lain,
ada masyarakat dengan kebutuhan harian yang mendesak, minim informasi, dan
belum sepenuhnya memahami arti privasi digital.
Inilah wajah baru dari eksploitatif
digital: tanpa paksaan fisik, tanpa kekerasan, tapi tetap menyisakan
ketimpangan relasi kuasa yang dalam.
Di Mana Negara Saat Warganya Dipindai?
Yang lebih mengkhawatirkan, sampai saat
ini belum ada sikap tegas dari pemerintah Indonesia terhadap operasi Worldcoin.
Tidak ada pengumuman resmi, tidak ada pengawasan terbuka, bahkan tidak ada
kejelasan hukum apakah pengumpulan data biometrik oleh aktor asing ini
diizinkan atau tidak.
Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Di dalamnya
diatur bahwa pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan data pribadi harus
dilakukan dengan dasar yang sah, transparan, dan adil.
Data biometrik termasuk dalam kategori
data pribadi sensitif, yang seharusnya mendapatkan perlindungan lebih ketat.
Apakah Worldcoin telah memenuhi semua syarat ini? Apakah masyarakat
benar-benar diberi pilihan untuk menolak atau menarik kembali data mereka?
Minimnya keterlibatan negara menciptakan kekosongan pengawasan yang berbahaya. Jika tidak segera ditindak, ini bisa menjadi preseden buruk: hari ini retina, esok hari mungkin DNA, suara, atau perilaku kita direkam tanpa batas.
Kolonialisme Data dalam Wajah Baru
Proyek seperti Worldcoin sering
dibungkus dengan narasi futuristik dan inklusif: membuka akses ekonomi global,
memberi identitas digital untuk semua, dan menciptakan keadilan finansial. Tapi
kita harus bertanya: keadilan untuk siapa, dan dikontrol oleh siapa?
Dalam praktiknya, warga negara berkembang
justru menjadi sasaran utama. Mereka diminta menyerahkan bagian terdalam dari
diri mereka bukan karena percaya, tapi karena butuh.
Inilah bentuk baru kolonialisme: kolonialisme data. Di mana yang dijual bukan lagi rempah atau tenaga, tapi identitas dan privasi manusia itu sendiri. Dan seperti sejarah masa lalu, yang paling dirugikan adalah mereka yang paling tidak punya daya tawar.
Jalan Tengah: Regulasi dan Kesadaran
Bukan berarti teknologi seperti Worldcoin
harus ditolak mentah-mentah. Identitas digital mungkin memang akan menjadi
kebutuhan masa depan. Namun, tanpa pengawasan, akuntabilitas, dan edukasi yang
memadai, proyek seperti ini hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.
Pemerintah harus segera bertindak.
Evaluasi menyeluruh terhadap operasi Worldcoin perlu dilakukan.
Perizinan, audit keamanan, hingga pengawasan hak pengguna harus diatur secara
ketat.
Di sisi lain, masyarakat juga harus diberi ruang untuk memahami apa itu data pribadi dan mengapa ia berharga. Sekolah, media, dan institusi sipil harus berperan aktif membangun literasi digital yang tidak hanya fokus pada penggunaan, tapi juga kesadaran akan hak.
Retina bukan sekadar titik di mata. Ia adalah gerbang menuju jati diri. Jika hari ini ia ditukar dengan ratusan ribu rupiah, siapa yang bisa menghitung berapa mahal harga yang harus dibayar di masa depan?
0 komentar:
Posting Komentar