Rabu, 21 Mei 2025

Worldcoin dan Bahaya di Balik Imbalan Instan


Puluhan orang mengantre di sebuah sudut pusat perbelanjaan. Di hadapan mereka, benda menyerupai bola logam sebesar kepala manusia berdiri di atas dudukan. Satu per satu orang mendekat, menatap benda itu selama beberapa detik. Tak lama kemudian, mereka melangkah pergi dengan wajah puas menerima kiriman uang kripto senilai ratusan ribu rupiah. Transaksi selesai. Retina mata ditukar dengan aset digital.

Fenomena ini kini marak di berbagai kota besar di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta. Worldcoin, proyek identitas digital global yang digagas oleh Sam Altman CEO OpenAI tengah menggelar operasi masif untuk mengumpulkan data retina dari jutaan manusia di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu ladang subur.

Dengan iming-iming imbalan uang kripto yang dapat dikonversi menjadi rupiah, masyarakat berbondong-bondong rela memindai retina mereka melalui alat bernama orb. Bagi sebagian besar orang yang terdampak ekonomi atau sekadar penasaran, tawaran ini terasa menggiurkan: tanpa syarat, tanpa risiko yang terlihat, dan langsung dapat uang.

Namun di balik kesederhanaan transaksi ini, ada pertaruhan besar yang masih samar: hak atas data pribadi yang tidak tergantikan.

 

Identitas Biometrik Bukan Data Biasa

Retina mata adalah bagian dari data biometrik data yang bersifat unik dan permanen. Tidak seperti nomor telepon atau password, data biometrik tidak bisa diubah. Sekali terekam dan tersimpan, Ia menjadi penanda identitas yang tak tergantikan.

Di sinilah letak bahayanya. Ketika seseorang menyerahkan data retina, Ia melepaskan kontrol atas bagian paling mendasar dari identitas biologisnya. Data ini bisa jadi digunakan untuk keperluan yang belum terbayangkan hari ini baik oleh perusahaan, pemerintah, bahkan pihak yang tak bertanggung jawab jika sistem bocor.

Worldcoin memang mengklaim data pengguna disimpan secara terenkripsi dan aman. Mereka juga menyatakan bahwa pemindaian retina hanya digunakan untuk menghasilkan hash identitas unik, tanpa menyimpan gambar mentah retina. Namun, di balik jargon teknis ini, masyarakat yang menjadi sasaran justru tidak punya cukup pemahaman atau kuasa untuk mengaudit janji-janji tersebut.

Ketika literasi digital rendah dan kebutuhan ekonomi tinggi, warga menjadi subjek yang mudah dieksploitasi oleh proyek-proyek besar bermodal teknologi canggih.

 

Daya Tarik Uang Cepat, Ancaman Jangka Panjang

Di Indonesia, sebagian besar peserta pemindaian retina adalah anak muda dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Banyak dari mereka tidak membaca syarat dan ketentuan secara utuh. Mereka tidak memahami potensi risiko dari penggunaan data biometrik di masa depan.

Dalam banyak video viral, orang bahkan rela mengantre panjang atau membujuk teman dan keluarga untuk ikut, karena “Sayang kalau tidak ambil kesempatan.” Fenomena ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah pertukaran antara data biometrik dan uang ini benar-benar dilakukan secara sadar dan setara?

Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini adalah gejala dari ketimpangan informasi dan ekonomi. Di satu sisi, ada perusahaan teknologi global dengan dana besar dan misi ambisius. Di sisi lain, ada masyarakat dengan kebutuhan harian yang mendesak, minim informasi, dan belum sepenuhnya memahami arti privasi digital.

Inilah wajah baru dari eksploitatif digital: tanpa paksaan fisik, tanpa kekerasan, tapi tetap menyisakan ketimpangan relasi kuasa yang dalam.

 

Di Mana Negara Saat Warganya Dipindai?

Yang lebih mengkhawatirkan, sampai saat ini belum ada sikap tegas dari pemerintah Indonesia terhadap operasi Worldcoin. Tidak ada pengumuman resmi, tidak ada pengawasan terbuka, bahkan tidak ada kejelasan hukum apakah pengumpulan data biometrik oleh aktor asing ini diizinkan atau tidak.

Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Di dalamnya diatur bahwa pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan data pribadi harus dilakukan dengan dasar yang sah, transparan, dan adil.

Data biometrik termasuk dalam kategori data pribadi sensitif, yang seharusnya mendapatkan perlindungan lebih ketat. Apakah Worldcoin telah memenuhi semua syarat ini? Apakah masyarakat benar-benar diberi pilihan untuk menolak atau menarik kembali data mereka?

Minimnya keterlibatan negara menciptakan kekosongan pengawasan yang berbahaya. Jika tidak segera ditindak, ini bisa menjadi preseden buruk: hari ini retina, esok hari mungkin DNA, suara, atau perilaku kita direkam tanpa batas.

 

Kolonialisme Data dalam Wajah Baru

Proyek seperti Worldcoin sering dibungkus dengan narasi futuristik dan inklusif: membuka akses ekonomi global, memberi identitas digital untuk semua, dan menciptakan keadilan finansial. Tapi kita harus bertanya: keadilan untuk siapa, dan dikontrol oleh siapa?

Dalam praktiknya, warga negara berkembang justru menjadi sasaran utama. Mereka diminta menyerahkan bagian terdalam dari diri mereka bukan karena percaya, tapi karena butuh.

Inilah bentuk baru kolonialisme: kolonialisme data. Di mana yang dijual bukan lagi rempah atau tenaga, tapi identitas dan privasi manusia itu sendiri. Dan seperti sejarah masa lalu, yang paling dirugikan adalah mereka yang paling tidak punya daya tawar.


Jalan Tengah: Regulasi dan Kesadaran

Bukan berarti teknologi seperti Worldcoin harus ditolak mentah-mentah. Identitas digital mungkin memang akan menjadi kebutuhan masa depan. Namun, tanpa pengawasan, akuntabilitas, dan edukasi yang memadai, proyek seperti ini hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.

Pemerintah harus segera bertindak. Evaluasi menyeluruh terhadap operasi Worldcoin perlu dilakukan. Perizinan, audit keamanan, hingga pengawasan hak pengguna harus diatur secara ketat.

Di sisi lain, masyarakat juga harus diberi ruang untuk memahami apa itu data pribadi dan mengapa ia berharga. Sekolah, media, dan institusi sipil harus berperan aktif membangun literasi digital yang tidak hanya fokus pada penggunaan, tapi juga kesadaran akan hak.


Retina bukan sekadar titik di mata. Ia adalah gerbang menuju jati diri. Jika hari ini ia ditukar dengan ratusan ribu rupiah, siapa yang bisa menghitung berapa mahal harga yang harus dibayar di masa depan? 

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...