Rabu, 28 Mei 2025




 BUDAYA CANCEL CULTURE : KEKUATAN NETIZEN ATAU ANCAMAN ? 

 oleh : Neneng Nurul Aini  (20230110045)

Di era digital seperti sekarang, media sosial bukan hanya tempat berbagi cerita dan hiburan, tetapi juga arena kekuasaan baru: tempat di mana suara netizen bisa mengangkat seseorang menjadi idola atau menjatuhkannya dalam hitungan jam. Salah satu fenomena yang mencerminkan kekuatan ini adalah cancel culture, atau budaya membatalkan Seseorang karena dianggap telah melakukan kesalahan.

 Apa itu cancel culture ?  

 Cancel culture adalah praktik sosial di mana individu, biasanya tokoh publik seperti artis, influencer, politisi, atau bahkan brand, dikritik secara masif dan dijauhi oleh publik akibat perilaku, ucapan, atau masalalu yang dianggap ofensif atau bermasalah. Ini bisa berupa komentar rasis, seksis, dukungan terhadap tokoh kontroversial, hingga isu-isu moral lainnya.

 Bentuk “pembatalan” ini bisa bermacam-macam: netizen berhenti mengikuti akun media sosial, menyerukan boikot produk, menyerang lewat komentar, atau bahkan menyebarkan informasi pribadi (doxxing). Dalam beberapa kasus, tekanan ini berujung pada kehilangan pekerjaan, reputasi, hingga kesehatan mental yang terganggu. Cambridge Dictionary mendefinisikan cancel culture sebagai cara berperilaku yang terjadi di masyarakat atau kelompok, terutama di ranah media sosial. Tindakan ini melibatkan orang-orang yang menolak atau berhenti mendukung seseorang dikarenakan sebuah alasan.  

Cancel culture juga dapat disebut sebagai budaya pembatalan yang mana menjadi sebuah budaya saat tidak adanya kesempatan bagi orang-orang yang telah berbuat sesuatu kepada masyarakat umum. Inilah yang membuat siapa saja yang mendapatkan cancel culture akan meminta maaf dan belajar dari kesalahan yang telah dilakukan.

 Kekuatan Netizen: Kritik sebagai Kontrol Sosial

 Secara prinsip, cancel culture lahir dari semangat akuntabilitas sosial keinginan masyarakat untuk menegur dan menuntut pertanggungjawaban dari tokoh yang menyalahgunakan kekuasaan, menyebarkan kebencian, atau bertindak tak etis. Di sinilah cancel culture bisa menjadi alat perubahan sosial. Tanpa harus menunggu institusi hukum atau otoritas, publik bisa menyuarakan ketidak adilan secara langsung. 

Beberapa kasus terkenal seperti tokoh publik yang tertangkap melakukan pelecehan atau tokoh bisnis yang menyebarkan ujaran kebencian akhirnya mendapatkan sanksi sosial berkat desakan publik lewat cancel culture.  

Namun, Di Mana Batasannya? 

 Masalah muncul ketika cancel culture dilakukan tanpa proses verifikasi, tanpa melihat konteks, atau hanya berdasarkan potongan video dan narasi sepihak. Banyak orang langsung dihakimi sebelum sempat memberikan klarifikasi atau permintaan maaf. Hal ini menjadikan cancel culture seperti pengadilan massa di dunia maya tanpa hakim, tanpa pembelaan, dan tanpa keadilan.

 Tak sedikit kasus di mana seseorang “di-cancel” hanya karena kesalahan masa lalu yang sudah mereka akui dan perbaiki, atau karena perbedaan pendapat dalam isu-isu sensitif. Ini berbahaya, karena dapat membunuh ruang dialog, toleransi, dan pemulihan. Ancaman terhadap Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat Sebuah laporan dari The Conversation Indonesia menyoroti bahwa cancel culture di Indonesia tidak jarang dimanfaatkan sebagai alat politik untuk membungkam kritik, menjatuhkan lawan, atau mengontrol opini publik. Dalam kondisi seperti ini, cancel culture bukan lagi kontrol sosial, melainkan senjata kekuasaan yang disalah gunakan. 

 Ada banyak contoh ketika dua tokoh melakukan kesalahan serupa, namun hanya satu yang dihukum karena tidak memiliki perlindungan sosial atau politik. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa cancel culture kadang bekerja tidak adil siapa yang di-cancel bukan berdasarkan kesalahan, tapi berdasarkan kekuatan pendukungnya. Di Indonesia, meskipun penggunaan media sosial sangat tinggi, tingkat literasi digital masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (2020) menunjukkan bahwa hanya 25% masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman mendalam tentang informasi digital. Akibatnya, banyak masyarakat yang mudah terpengaruh oleh hoaks atau tidak memiliki kesadaran kritis untuk menanggapi isu-isu secara mendalam. Hal ini membuat cancel culture sulit diterapkan secara efektif.  

Bijak Bermedia Sosial: Kritik Tanpa Menghakimi  

Sebagai pengguna media sosial, kita punya peran penting dalam menciptakan budaya digital yang sehat. Cancel culture seharusnya tidak hanya fokus pada menghukum, tetapi juga mendorong transformasi dan edukasi. Karena pada dasarnya, semua orang bisa berbuat salah dan semua orang berhak diberi ruang untuk berubah. 

 Berikut beberapa prinsip yang bisa kita terapkan: 

1. Verifikasi informasi sebelum ikut menyebarkan. 

2. Kritik dengan etika. Jangan campur aduk antara kritik dan hujatan. 

3. Berikan ruang klarifikasi dan pemulihan. 

4. Jangan mudah ikut-ikutan tren.

5. Jaga ruang dialog dan perbedaan pendapat 



0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...