BUDAYA CANCEL CULTURE : KEKUATAN NETIZEN ATAU ANCAMAN?
Oleh : Neneng Nurul Aini
Di zaman media sosial seperti sekarang, suara netizen sangat kuat. Banyak hal bisa viral hanya dalam hitungan menit. Salah satu fenomena yang sering muncul adalah cancel culture atau budaya memboikot seseorang.
Cancel culture adalah ketika seseorang biasanya publik figur, artis, atau influencer dikritik habis-habisan oleh netizen karena dianggap melakukan kesalahan. Misalnya, ucapan yang menyinggung, sikap yang tidak pantas, atau masa lalu yang bermasalah. Setelah itu, orang-orang di internet kompak membatalkan dukungan mereka. Mereka bisa berhenti mengikuti, tidak membeli produk yang diiklankan, atau bahkan menyerang orang tersebut di kolom komentar.
Tujuannya baik, tapi…..
Awalnya, cancel culture muncul untuk memperjuangkan keadilan. Misalnya, menuntut pertanggungjawaban dari tokoh terkenal yang rasis, seksis, atau menyebarkan kebencian. Dalam kasus seperti ini, netizen merasa mereka punya kekuatan untuk menegur orang yang salah.
Tapi lama-kelamaan, cancel culture jadi seperti hukuman massa tanpa proses yang adil. Banyak orang yang langsung dihakimi hanya karena potongan video, tweet lama, atau isu yang belum jelas kebenarannya. Akibatnya, tidak sedikit orang yang kariernya hancur, kehilangan pekerjaan, bahkan mengalami gangguan mental karena tekanan dari netizen.
Jadi kekuatan atau ancaman ?
Cancel culture bisa menjadi kekuatan yang baik jika digunakan dengan bijak. Netizen bisa ikut mengawasi tokoh publik agar tidak semena-mena. Tapi, jika dilakukan tanpa fakta dan hanya ikut-ikutan, cancel culture bisa jadi ancaman bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Orang jadi takut bicara, takut berbeda pendapat, dan takut salah sedikit karena khawatir di-cancel.
”Cancel culture di Indonesia tidak jarang digunakan sebagai alat politik untuk membungkam lawan atau mengontrol opini publik.” Sumber: The Conversation Indonesia.
Ada kasus di mana individu dengan pandangan berbeda menjadi sasaran cancel culture, sementara pelaku lain dengan kesalahan serupa tetap aman karena memiliki perlindungan politik atau sosial. Politisasi cancel culture ini memperbesar risiko penyalah gunaan kekuatan netizen dan melemahkan prinsip keadilan dalam demokrasi.
Sebagai pengguna media sosial, kita perlu lebih hati-hati dan bijak. Jangan cepat percaya tanpa mencari fakta. Jangan asal sebar atau ikut mencaci. Kita bisa memberi kritik dengan cara yang baik dan tetap menghormati sesama manusia.
0 komentar:
Posting Komentar