Belakangan ini media sosial diramaikan dengan tagar #kaburajadulu. Mulai dari TikTok, X (sebelumnya Twitter), hingga Instagram, muncul berbagai unggahan yang mengekspresikan keresahan anak-anak muda terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Meskipun dalam bentuk meme, guyonan, dan video kreatif, tren ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap masa depan di tanah air.
Tren ini menjadi semacam kenal alternatif bagi generasi muda untuk menyuarakan apa yang selama ini mungkin sulit mereka sampaikan secara langsung. Di balik sindiran dan sarkasme, tersimpan kritik yang tajam terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa mulai dari sistem pendidikan, kebijakan pemerintah, hingga realitas ekonomi dan hukum yang dianggap tidak adil.
Dari Lelucon Menjadi Peringatan Sosial
Awalnya, tagar
ini muncul sebagai bentuk sindiran ringan yang ramai di lini masa. Kalimat
seperti “Negara kok isinya drama” atau “Capek mikirin negara, mending kabur aja
dulu” tampak seperti guyonan iseng warganet yang lelah dengan situasi politik
dan sosial yang tak kunjung membaik. Namun seiring waktu, nada candaan ini
semakin sering muncul dan mulai membentuk sebuah narasi kolektif yang
menggambarkan keresahan publik terhadap kondisi negara.
Dikutip dari Metrotvnews,
fenomena ini bukan sekadar tren anak muda yang ikut-ikutan. Banyak dari mereka
menjadikan media sosial sebagai ruang untuk menyuarakan kekecewaan dan
frustrasi. Isu-isu serius seperti korupsi yang seolah tak tersentuh hukum,
praktik nepotisme di tubuh pemerintahan, penegakan hukum yang tajam ke bawah
tapi tumpul ke atas, hingga jurang kesenjangan sosial yang kian menganga,
menjadi topik yang dibungkus dalam bentuk humor sarkastik.
Candaan
seperti “Kabur ke New Zealand” atau “Cari suaka politik” memang terdengar
menggelitik, namun ada keresahan mendalam yang coba disampaikan.
Lelucon-lelucon ini menjadi bentuk pelarian psikologis sekaligus kritik sosial
yang kreatif dari generasi muda. Mereka menyadari bahwa tak semua bisa disuarakan
secara gamblang, apalagi dalam situasi politik yang sensitif. Maka, humor
menjadi alat ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan tajam tanpa harus secara
langsung menantang kekuasaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak apatis. Justru sebaliknya, mereka melek terhadap isu-isu nasional, hanya saja cara mereka berekspresi telah berubah. Mereka tidak lagi hanya turun ke jalan, melainkan juga turun ke linimasa menciptakan meme, membuat parodi, dan menyebarkan tagar-tagar sindiran. Ini adalah bentuk aktivisme digital yang mencerminkan kecerdasan emosional dan sosial mereka dalam menghadapi realitas yang pahit.
Bukan Fenomena Baru, Tapi Kini Lebih Terang - Terangan
Fenomena anak
muda yang ingin “Kabur” atau pindah ke luar negeri bukan hal baru. Namun, yang
membuat tren #kaburajadulu berbeda adalah terbukanya ekspresi tersebut secara
kolektif dan terang-terangan. Generasi muda sekarang tidak lagi sungkan
menyatakan rasa frustasi mereka terhadap sistem politik dan pemerintahan yang
dinilai tidak transparan dan tak responsif terhadap aspirasi publik.
Menurut
laporan Kompas, kemunculan tagar ini merupakan akumulasi dari berbagai
kekecewaan publik yang menumpuk. Peristiwa-peristiwa seperti dugaan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, kebijakan pendidikan yang makin
mahal dan tidak inklusif, serta ketimpangan ekonomi yang makin terasa setelah
pandemi, menjadi bahan bakar utama di balik viralnya gerakan ini.
Keputusan-keputusan politik yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan
rakyat menambah bara dalam rasa tidak percaya pada institusi negara.
Yang menarik,
ekspresi ini tidak hanya datang dari kelompok tertentu. Baik mahasiswa, pekerja
muda, seniman, hingga profesional muda terlibat aktif dalam diskursus ini.
Mereka menyampaikan keresahan dalam bentuk konten kreatif mulai dari meme, video satir, hingga thread
panjang yang membedah isu dengan bahasa ringan tapi tajam. Ini bukan lagi
bentuk pelarian semata, tapi sinyal peringatan bahwa ada yang salah, dan jika
dibiarkan, akan membuat generasi produktif kehilangan rasa memiliki terhadap
negerinya sendiri.
Fenomena #kaburajadulu menjadi bukti bahwa keterbukaan informasi telah mengubah cara generasi muda berekspresi. Mereka tidak pasrah, hanya memilih cara yang sesuai dengan zamannya lantang tapi tidak frontal, sinis tapi bermakna.
Kritik Terselubung dan Pekerjaan Rumah Bagi Pemerintah
Menurut
analisis sejumlah pakar yang dikutip oleh Detik, tren #kaburajadulu
mencerminkan bentuk kekecewaan yang belum menemukan saluran ekspresi yang sehat
dan efektif. Ketika generasi muda merasa suara mereka tidak didengar dalam
ruang-ruang formal seperti parlemen, diskusi publik, atau forum kebijakan, mereka
beralih ke media sosial sebagai panggung alternatif. Di sana, mereka bebas
mengekspresikan keresahan, kekesalan, bahkan harapan, meski sering dibungkus
dalam bentuk candaan atau sindiran.
Pemerintah
seharusnya tidak menganggap tren ini sebagai sekadar lelucon atau bentuk
kenakalan generasi muda. Justru, ini bisa menjadi sinyal peringatan dini bahwa
ada masalah dalam pola komunikasi dan relasi antara negara dan warga mudanya.
Ketika kritik tidak tersalurkan dalam jalur yang resmi dan diterima, ia akan
mencari jalan lain, bahkan dalam bentuk yang tak terduga. Humor yang viral bisa
lebih memengaruhi opini publik dibanding pidato politik yang kaku dan jauh dari
realita anak muda.
Alih-alih menyalahkan atau menyepelekan, pemerintah perlu menjadikan fenomena ini sebagai refleksi dan titik tolak perubahan. Ada pekerjaan rumah besar untuk membuka ruang partisipasi yang lebih inklusif dan bermakna bagi generasi muda. Dialog dua arah, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan, serta pengakuan atas suara mereka dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki hubungan yang renggang ini. Jika tidak, bukan tak mungkin, lelucon tentang “Kabur” akan berubah menjadi pilihan nyata bagi mereka yang kehilangan harapan.
Ancaman Kehilangan Generasi Berkualitas
Yang lebih
memprihatinkan, menurut The Conversation, tren #kaburajadulu bukan
sekadar ekspresi emosional sesaat, melainkan peringatan serius bagi masa depan
bangsa. Ketika semakin banyak anak muda yang cerdas, berpendidikan, dan
produktif merasa tidak lagi memiliki harapan di negeri sendiri, maka Indonesia
terancam kehilangan generasi emas yang seharusnya menjadi penggerak utama
pembangunan.
Fenomena ini
tidak hanya terjadi di ruang maya. Tak sedikit anak muda yang benar-benar
merencanakan pindah ke luar negeri untuk studi, bekerja, bahkan menetap. Mereka
mencari tempat yang menawarkan sistem yang lebih adil, peluang yang lebih
jelas, dan kehidupan yang lebih stabil. Keputusan ini bukan karena mereka tidak
cinta tanah air, melainkan karena mereka merasa tidak diberi tempat untuk
tumbuh dan berkontribusi secara optimal.
Jika negara gagal menciptakan iklim yang mendukung aspirasi dan kesejahteraan anak muda, maka eksodus diam-diam ini akan terus berlangsung. Pada akhirnya, bukan hanya tenaga dan pikiran mereka yang hilang, tetapi juga potensi masa depan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dan berdaya saing.
Respons Pejabat Ada yang Mendengar, Ada yang Meremehkan
Respons
pejabat negara terhadap fenomena #kaburajadulu menunjukkan reaksi yang beragam.
Ada sebagian yang menanggapinya secara serius dan melihatnya sebagai kritik
membangun yang mencerminkan keresahan nyata di kalangan generasi muda. Mereka
menyadari bahwa tagar ini bukan sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari rasa
jenuh dan kecewa terhadap arah kebijakan negara.
Namun, tidak
sedikit pula yang meremehkan. Seperti dilansir Tempo, beberapa pejabat
justru memberikan komentar yang menyiratkan ketidakpekaan terhadap kondisi
sosial anak muda. Ada yang menyarankan agar generasi muda lebih banyak
bersyukur, bahkan ada yang menyebut mereka terlalu “Baper” terhadap masalah
negara. Sikap seperti ini justru memperlebar jarak antara elite politik dan
realitas yang dihadapi warganya.
Padahal, keresahan anak muda seharusnya tidak dianggap remeh. Di balik keluhan dan candaan mereka tersimpan potensi perbaikan, jika saja didengar dengan sungguh-sungguh. Pemerintah perlu membangun komunikasi yang lebih empatik dan terbuka, karena justru dari suara-suara inilah awal dari perubahan dapat dimulai.
Saatnya Mendengar, Bukan Menggurui
Fenomena
#kaburajadulu seharusnya tidak dibaca sebagai bentuk apatisme. Justru
sebaliknya, ini menunjukkan bahwa anak muda masih peduli mereka hanya tidak
menemukan ruang yang aman dan nyata untuk menyampaikan aspirasi. Ketika suara
mereka terus diabaikan atau diremehkan, maka yang hilang bukan hanya semangat
partisipasi, tetapi juga kepercayaan terhadap negara dan masa depannya.
Sudah saatnya
pemerintah, pendidik, dan para pengambil keputusan berhenti bersikap menggurui.
Anak muda tidak butuh nasihat klise seperti, “Zaman kami dulu lebih susah,”
atau ajakan untuk “Bersyukur saja.” Mereka butuh ruang untuk didengar dan
dilibatkan. Seperti cuitan lucu yang sempat viral, “Kita disuruh cinta negara,
tapi negara cinta siapa?” ini mungkin
terdengar menggelikan, tapi jelas menyimpan ironi yang dalam. Mereka bukan
beban, apalagi ancaman. Mereka adalah mitra strategis yang dapat membawa bangsa
ini ke arah yang lebih baik jika diberi kepercayaan.
Kalau suara mereka terus disepelekan, jangan kaget kalau suatu hari benar-benar ada yang pamit lewat status “Aku pergi dulu ya, bukan karena tak cinta, tapi karena sudah terlalu sering kecewa.” Dan saat itu terjadi, mungkin mereka benar kabur aja dulu.
0 komentar:
Posting Komentar