“Gue
belum mau mati, masih ada dimsum mentai di bumi,”
“Dimsum
itu makanan dari surga kayaknya…”
Pernah
enggak sih, kamu ngerasa kalau dunia ini rasanya lebih ringan setiap kali
dimsum mentai di depan mata? Kalau enggak, berarti kamu belum pernah merasakan
sensasi saus mentai yang lumer di lidah, dipadukan dengan dimsum yang kenyal.
Begitu kamu mencicipinya, seakan ada dunia baru yang terbuka. Rasa gurih,
pedas, dan creamy berpadu sempurna, bikin kamu lupa waktu. Ini bukan
sekadar makanan, ini sensasi.
Tapi
tahu gak sih, kalau sensasi itu nggak datang gitu aja? Dimsum yang kini jadi
favorit anak muda Indonesia, punya perjalanan panjang, dari tradisi kuliner
Cina hingga akhirnya menyapa lidah Indonesia. Lalu, bagaimana dimsum bisa
bertahan dan berkembang di Indonesia? Mari kita menelusuri jejaknya.
Asal-Usul Dimsum
Dalam
berbagai catatan sejarah kuliner, termasuk artikel The Historical Journey of
Dim Sum dari Thalias Group, dimsum adalah makanan ringan khas Tiongkok yang
memiliki hubungan erat dengan tradisi Yum Cha. Tradisi Yum Cha
ini melibatkan aktivitas berkumpul di rumah teh sambil menikmati secangkir teh.
Kata
“dimsum” berasal dari bahasa Kanton yang berarti “menyentuh hati,” yang
mencerminkan cara dimsum menggugah nafsu makan dengan porsi kecil yang cocok
disantap bersama teman atau keluarga. Beberapa jenis dimsum klasik yang sudah
terkenal di Tiongkok antara lain Shumay, Xiao Long Bao, Hakau, dan
Bakpau Charsiu. Pada zaman dahulu, dimsum umumnya diisi dengan daging
babi, meskipun kini variasi isian dimsum semakin berkembang.
Seiring
dengan gelombang migrasi besar-besaran masyarakat Tiongkok ke berbagai belahan
dunia, tradisi Yum Cha dan dimsum mulai menyebar ke luar Tiongkok dan
dikenal luas di banyak negara, termasuk Indonesia.
Kehadiran
Dimsum di Indonesia
Dilansir
dari thehealthybelly.co, dimsum pertama kali masuk ke Indonesia sekitar abad
ke-7 hingga ke-15 Masehi, dibawa oleh migrasi etnis Tionghoa. Para imigran ini
tidak hanya membawa kebudayaan mereka, tetapi juga tradisi kuliner khas mereka,
yaitu dimsum. Pada awalnya, dimsum hanya disajikan secara terbatas di dalam
komunitas Tionghoa
Namun,
pada era kolonial Belanda, dimsum mulai dikenal lebih luas melalui interaksi
masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota
pelabuhan seperti Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Banten. Pada masa ini, para
pedagang Tionghoa mulai membuka usaha toko makanan dimsum, sehingga dimsum
mulai dikenal di kalangan masyarakat umum. Sejak saat itu, dimsum terus
berkembang di Indonesia hingga menjadi bagian dari kuliner modern yang banyak
digemari saat ini.
Dimsum
Rasa Nusantara: Lebih Lokal, Lebih Dekat
Perjalanan
dimsum di Indonesia menunjukkan adaptasi budaya yang menarik. Ketika pertama
kali masuk, dimsum mengalami modifikasi agar sesuai dengan selera dan kebiasaan
masyarakat lokal. Salah satu yang paling mencolok adalah bahan isian, jika di
negara asalnya dominan menggunakan daging babi, di Indonesia dimsum lebih
sering diisi dengan daging ayam, udang, atau sayuran. Penyesuaian ini membuat
dimsum bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan tanpa menabrak batasan agama
maupun kebiasaan makan.
Berbeda
dari tradisi Yum Cha di Tiongkok yang mengaitkan dimsum dengan waktu
minum teh dan interaksi sosial tertentu, di Indonesia dimsum berkembang sebagai
jajanan biasa. Ia tak terikat momen atau perayaan, sehingga bisa dinikmati
kapan saja dan di mana saja.
Selain
itu, kreativitas para pelaku usaha kuliner ikut mendorong dimsum makin relevan
dengan lidah lokal. Inovasi seperti dimsum saus mentai yang gurih, siraman
mayones yang creamy, dan guyuran chili oil yang pedas menyengat
membuat dimsum terasa lebih modern dan menarik. Bahkan kini, dimsum bisa dibeli
dalam bentuk frozen food, lengkap dengan sausnya, dan tinggal dikukus di
rumah yang praktis, terjangkau, dan tetap enak.
UMKM
Naik Daun Berkat Dimsum!
Tren
dimsum bukan cuma menggoyang lidah, tapi juga membuka pintu rezeki bagi banyak
pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dilansir dari RRI.co.id, dimsum
telah menjadi salah satu makanan populer yang banyak dijajakan oleh pelaku UMKM
di berbagai daerah karena dianggap sebagai peluang usaha yang menjanjikan. Dalam
beberapa tahun terakhir, makin banyak pengusaha muda yang mencoba peruntungan
lewat bisnis dimsum kekinian ini.
Nama-nama
usahanya pun unik dan mengundang senyum, seperti “Dimsum Milik Kita”, “Dimsum Bos”,
atau “Yokana Dimsum”. Kreativitas tak hanya terlihat di menu, tapi juga di
strategi pemasaran mereka. Promosi dilakukan lewat media sosial seperti TikTok
dan Instagram, dengan konten yang ringan, lucu, dan menggugah selera.
Hebatnya,
dengan modal yang relatif kecil, banyak dari mereka berhasil menjangkau pasar
yang luas. Bahkan, tak sedikit yang bisa membuka cabang atau menerima pesanan
dalam bentuk frozen food ke luar kota. Dimsum bukan lagi sekadar tren
makanan, ia menjelma menjadi jembatan ekonomi kreatif yang memperlihatkan
semangat, inovasi, dan daya saing UMKM lokal yang luar biasa.
Kenapa
Dimsum Mentai Digilai Anak Muda?
Dilansir
dari Liputan6.com, survei yang melibatkan responden Gen Z dan milenial di
kota-kota besar Indonesia menunjukkan dimsum menempati posisi pertama sebagai
tren makanan favorit, dengan 12,1 persen responden Gen Z dan 12,3 persen
milenial memilihnya. Ini mengungguli ramen, rice bowl, hingga croffle. Fakta
ini memperkuat bahwa dimsum, terutama dengan varian saus mentai dan chili oil,
bukan hanya makanan, tapi juga bagian dari gaya hidup kekinian.
Ø Visual
yang instagrammable
Dimsum
mentai bukan cuma enak dimakan, tapi juga cantik dipandang. Saus mentai
berwarna oranye lembut, ditambah lelehan keju di atasnya, membuat setiap piring
terlihat seperti karya seni mini. Nggak heran, banyak yang buru-buru ambil foto
sebelum suapan pertama, ya karena tampilannya memang Instagrammable
banget.
Ø Rasa
yang akrab, tapi tetap bikin kaget
Perpaduan
dimsum yang gurih dengan saus mentai creamy menghasilkan rasa yang familiar di
lidah Indonesia, tapi tetap terasa baru dan menggoda. Ditambah lagi dengan
guyuran chili oil yang pedasnya nendang, sensasi ini jadi jawaban sempurna buat
pecinta makanan berbumbu yang ingin sesuatu yang berbeda, tapi tetap nggak
terlalu asing.
Ø Harga
ramah di kantong, rasa mewah di mulut
Salah
satu alasan utama dimsum mentai begitu digemari adalah harganya yang
bersahabat. Dengan kisaran Rp15.000/porsi yang berisi 3 potong dimsum mentai, kamu
sudah bisa menikmati seporsi dimsum yang enggak cuma kenyangin perut tapi juga
manjain lidah. Harga murah, rasa mewah, siapa sih yang bisa nolak?
Maka
tak berlebihan jika dimsum mentai kini dijuluki sebagai makanan dari surga yang
digilai anak muda. Julukan ini muncul bukan tanpa sebab, melainkan karena daya
tariknya yang lengkap, visual, rasa, hingga harga.
Kebahagiaan
dalam Sekotak Dimsum Mentai
Kadang,
bahagia nggak datang dari hal-hal besar. Kadang cuma perlu sesuatu yang hangat,
lembut, dan gurih seperti satu kotak dimsum mentai. Setiap suapan adalah
pelukan kecil yang diam-diam memperbaiki suasana hati. Rasanya seperti jeda
manis di tengah hiruk pikuk dunia. Jadi kalau hari ini rasanya melelahkan,
mungkin kamu cuma butuh satu hal:
“Tenang… dunia belum
selesai, masih ada dimsum mentai.”