Kuningan, 23 Maret 2025 –
Di antara riuhnya zaman yang bergerak cepat, hutan-hutan Kuningan perlahan
kehilangan suara. Daun yang gugur tak lagi menyentuh tanah dengan damai,
melainkan jatuh di tengah deru mesin dan debu pembangunan. Deforestasi, alih
fungsi lahan, krisis air, dan sampah yang menumpuk bukan lagi isyarat,
melainkan jerit yang nyaris tak terdengar.
Namun, di tengah senyap
yang mencekam itu, Deni Haryanto mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Kuningan sekaligus
penikmat sastra menemukan cahaya kecil dalam bait-bait puisi. Baginya, sastra
adalah suara alam yang menggigil, panggilan lembut namun lantang agar manusia
tak melupakan rumahnya: bumi.
Deni, yang juga seorang
pelaku sastra, menekankan bahwa sastra memiliki potensi besar untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Ia
percaya bahwa karya-karya sastra yang lahir dari kedalaman jiwa dapat menjadi
pemantik perubahan, menyuarakan apa yang terkadang tak terdengar oleh telinga
manusia yang sibuk.
“Ketika terjadi musibah
ekologi, tidak perlu saling menyalahkan. Yang terpenting adalah kita harus
menyadari kesalahan masing-masing dan berupaya memperbaikinya,” ujar Deni saat
ditemui di acara DAPSAS BUBAR yang diselenggarakan oleh UKM Teater Pecut Dapur
Sastra di Kuningan pada Kamis (20/3/2025).
Menurut Deni, sastra
memiliki kekuatan besar untuk menggugah emosi dan menyentuh kesadaran
pembacanya. Ia berpendapat bahwa karya sastra yang lahir dari pengalaman
emosional yang mendalam mampu menjadi ujung tombak perubahan “Ketika seorang
sastrawan merasakan isu lingkungan dengan begitu dalam, karyanya pasti akan
sangat menohok dan menggugah.” Tambahnya.
Salah satu karya sastra
bertema lingkungan yang menarik perhatiannya adalah Gergaji, karya
Slamet Sukirnanto, Daun, dan Tusuk Gigi karya Soni Farid Maulana.
Ia mengungkapkan kekagumannya terhadap puisi Tusuk Gigi, yang
menggambarkan perjalanan pohon besar yang ditebang hingga akhirnya menjadi
benda kecil yang kita gunakan sehari-hari. Namun, esensi puisinya lebih dari sekadar
menggambarkan proses itu, melainkan kritik terhadap deforestasi yang semakin
masif.
“Salah satu baris yang
membekas bagi saya adalah ketika hewan-hewan itu diibaratkan mengungsi ke dalam
buku catatan biologi dan cerita pengantar tidur. Ini menggambarkan betapa
mirisnya keadaan kita sekarang—hewan-hewan yang dahulu hidup bebas di alam kini
hanya bisa dikenang dalam buku.” Jelasnya.
Dalam upaya menarik minat
generasi muda terhadap sastra bertema ekologi, Deni menekankan pentingnya
menyesuaikan cara penyampaian dengan perkembangan zaman. Ia mengungkapkan bahwa
banyak penulis yang masih menggunakan gaya bahasa dengan metafora dan majas yang
tinggi, sehingga sulit dipahami oleh pembaca awam. Padahal, generasi muda
cenderung lebih tertarik pada karya yang lugas dan langsung mengena.
“Setiap zaman punya
seleranya sendiri. Tantangan bagi sastrawan adalah bagaimana menyesuaikan diri
dengan tren sastra yang sedang berkembang tanpa menghilangkan esensi dari isu
yang ingin disampaikan.” Tuturnya.
Lebih lanjut, Deni
menekankan bahwa sastra bukan sekadar tulisan, tetapi memiliki potensi besar
untuk menginspirasi aksi nyata. “Banyak yang menganggap tulisan tidak
berdampak. Padahal, satu kata, satu tulisan bisa menjadi pemantik perubahan.
Mungkin efeknya tidak langsung terasa, tapi suatu saat akan berpengaruh besar.”
Katanya.
Ketika ditanya tentang
kemungkinan kolaborasi dengan komunitas pecinta alam, ia mengungkapkan
ketertarikannya untuk mengadakan pertunjukan seni bertema lingkungan. Beberapa
konsep yang bisa diterapkan, misalnya, menggunakan tanah atau lumpur sebagai
media ekspresi untuk merepresentasikan kondisi lingkungan yang semakin rusak.
Sebagai penutup, Deni
berharap agar semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya menjaga
lingkungan. Ia mengingatkan “Tidak perlu lagi saling menyalahkan. Kita cukup
menyadari kesalahan masing-masing dan mulai memperbaikinya. Jika bertemu dengan
orang yang belum sadar, cukup dinasihati, bukan dipaksa.” Pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar