Kamis, 20 Maret 2025

Sastra Tak Pernah Diam: Menulis Bumi yang Terluka

Kuningan, 23 Maret 2025 – Di antara riuhnya zaman yang bergerak cepat, hutan-hutan Kuningan perlahan kehilangan suara. Daun yang gugur tak lagi menyentuh tanah dengan damai, melainkan jatuh di tengah deru mesin dan debu pembangunan. Deforestasi, alih fungsi lahan, krisis air, dan sampah yang menumpuk bukan lagi isyarat, melainkan jerit yang nyaris tak terdengar.

Namun, di tengah senyap yang mencekam itu, Deni Haryanto mahasiswa Ilmu Komputer Universitas Kuningan sekaligus penikmat sastra menemukan cahaya kecil dalam bait-bait puisi. Baginya, sastra adalah suara alam yang menggigil, panggilan lembut namun lantang agar manusia tak melupakan rumahnya: bumi.

Deni, yang juga seorang pelaku sastra, menekankan bahwa sastra memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Ia percaya bahwa karya-karya sastra yang lahir dari kedalaman jiwa dapat menjadi pemantik perubahan, menyuarakan apa yang terkadang tak terdengar oleh telinga manusia yang sibuk.

“Ketika terjadi musibah ekologi, tidak perlu saling menyalahkan. Yang terpenting adalah kita harus menyadari kesalahan masing-masing dan berupaya memperbaikinya,” ujar Deni saat ditemui di acara DAPSAS BUBAR yang diselenggarakan oleh UKM Teater Pecut Dapur Sastra di Kuningan pada Kamis (20/3/2025).

Menurut Deni, sastra memiliki kekuatan besar untuk menggugah emosi dan menyentuh kesadaran pembacanya. Ia berpendapat bahwa karya sastra yang lahir dari pengalaman emosional yang mendalam mampu menjadi ujung tombak perubahan “Ketika seorang sastrawan merasakan isu lingkungan dengan begitu dalam, karyanya pasti akan sangat menohok dan menggugah.” Tambahnya.

Salah satu karya sastra bertema lingkungan yang menarik perhatiannya adalah Gergaji, karya Slamet Sukirnanto, Daun, dan Tusuk Gigi karya Soni Farid Maulana. Ia mengungkapkan kekagumannya terhadap puisi Tusuk Gigi, yang menggambarkan perjalanan pohon besar yang ditebang hingga akhirnya menjadi benda kecil yang kita gunakan sehari-hari. Namun, esensi puisinya lebih dari sekadar menggambarkan proses itu, melainkan kritik terhadap deforestasi yang semakin masif.

“Salah satu baris yang membekas bagi saya adalah ketika hewan-hewan itu diibaratkan mengungsi ke dalam buku catatan biologi dan cerita pengantar tidur. Ini menggambarkan betapa mirisnya keadaan kita sekarang—hewan-hewan yang dahulu hidup bebas di alam kini hanya bisa dikenang dalam buku.” Jelasnya.

Dalam upaya menarik minat generasi muda terhadap sastra bertema ekologi, Deni menekankan pentingnya menyesuaikan cara penyampaian dengan perkembangan zaman. Ia mengungkapkan bahwa banyak penulis yang masih menggunakan gaya bahasa dengan metafora dan majas yang tinggi, sehingga sulit dipahami oleh pembaca awam. Padahal, generasi muda cenderung lebih tertarik pada karya yang lugas dan langsung mengena.

“Setiap zaman punya seleranya sendiri. Tantangan bagi sastrawan adalah bagaimana menyesuaikan diri dengan tren sastra yang sedang berkembang tanpa menghilangkan esensi dari isu yang ingin disampaikan.” Tuturnya.

Lebih lanjut, Deni menekankan bahwa sastra bukan sekadar tulisan, tetapi memiliki potensi besar untuk menginspirasi aksi nyata. “Banyak yang menganggap tulisan tidak berdampak. Padahal, satu kata, satu tulisan bisa menjadi pemantik perubahan. Mungkin efeknya tidak langsung terasa, tapi suatu saat akan berpengaruh besar.” Katanya.

Ketika ditanya tentang kemungkinan kolaborasi dengan komunitas pecinta alam, ia mengungkapkan ketertarikannya untuk mengadakan pertunjukan seni bertema lingkungan. Beberapa konsep yang bisa diterapkan, misalnya, menggunakan tanah atau lumpur sebagai media ekspresi untuk merepresentasikan kondisi lingkungan yang semakin rusak.

Sebagai penutup, Deni berharap agar semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Ia mengingatkan “Tidak perlu lagi saling menyalahkan. Kita cukup menyadari kesalahan masing-masing dan mulai memperbaikinya. Jika bertemu dengan orang yang belum sadar, cukup dinasihati, bukan dipaksa.” Pungkasnya.


0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...