Kamis, 26 Juni 2025

CERITA SATPAM : Dianggap Musuh Oleh Mahasiswa?


“Kalau dianggap musuh, ya itu karena mereka melanggar aturan. Padahal kami ini menjaga harta-harta anda semua.” Satpam Universitas Kuningan
Wajah-wajah yang kerap terlihat di pintu gerbang, parkiran, atau di bawah panas matahari sering kali tak benar-benar diperhatikan. Mereka yang berseragam dan berdiri tegak dengan wajah serius. Tapi siapa sangka, di balik tubuh tegap dan suara tegas mereka, tersimpan cerita tentang dedikasi, pengorbanan, bahkan hal-hal tak terduga yang mengundang tawa. Di Universitas Kuningan, tiga satpam dengan kisah dan kepribadian berbeda, bersatu dalam satu panggilan: menjaga keamanan kampus dan kenyamanan semua warganya, terutama mahasiswa.

Tedi Kusdianto telah menjaga kampus sejak tahun 2000, artinya lebih dari 24 tahun ia menyaksikan pergerakan mahasiswa, perubahan sistem, hingga wajah-wajah baru di lingkungan kampus. Pria paruh baya ini tidak menyebut profesinya sebagai pilihan awal. “Ini karena kebutuhan hidup, bukan karena pilihan karier,” ujarnya jujur. Namun, dalam perjalanan waktu, ia membuktikan bahwa keterpaksaan bisa tumbuh menjadi ketulusan.

Ia menceritakan salah satu pengalaman yang tak bisa ia lupakan di mana patroli malam yang berubah menjadi pengalaman spiritual. “Ada aura negatif yang menarik kaki saya, melangkah pun terasa berat. Saya lawan dengan membaca ayat kursi,” tuturnya. Di waktu yang berbeda, ia juga kerap menjadi penengah ketika ada konflik kecil antar mahasiswa atau saat kehilangan barang. Ia percaya, satpam bukan hanya soal menjaga gerbang, tetapi menjaga rasa aman, bahkan ketika rasa aman itu tak selalu tampak.

Berbeda dari Tedi Kusdianto yang lebih senior, Ardi Mardiansyah telah menjadi satpam di UNIKU selama 10 tahun lebih, namun pendekatannya sangat aktif dan berorientasi solusi. Tugas utamanya berfokus pada parkiran, area yang menjadi pusat dinamika antara peraturan dan kebiasaan mahasiswa yang "ngeyel".
“ketika kita dari Satpam sudah mengarahkan ada ya kejadian lucunya gitu bilang mau pulang tapi balik lagi karena dari sininya ada yang jaga lagi dari sebelah fakultas yang mungkin mahasiswa itunya yang mau masuk ke area kelasnya jadi disuruh balik lagi ternyata dia kan bohong ” katanya sambil geleng-geleng kepala. Menurut Ardi, tantangan terbesar bukan hanya soal pelanggaran, tapi bagaimana menyampaikannya dengan cara yang bisa diterima mahasiswa. Ia percaya kunci hubungan baik adalah sopan tapi tegas. “Kalau kita ngomongnya enak, mahasiswa juga enggak akan melawan,” ujarnya.
Namun Ardi juga menyadari bahwa satu kesalahan dari satu satpam bisa merusak nama baik semuanya. “Ada yang disangka galak, lalu semua satpam dianggap sama. Padahal karakter kami beda-beda,” katanya dengan nada tenang.

Beni Hidayat menyebut dirinya sudah dua dekade menjadi satpam di Universitas Kuningan. Ia menyimpan cerita paling lucu sekaligus menyentuh: pernah disangka bujangan oleh mahasiswa. Bahkan sempat diajak main ke rumah mahasiswa karena dikira masih single.
“Padahal saya sudah punya istri!” katanya tertawa lepas.

Namun kisah yang paling sering ia alami adalah mahasiswa yang mengira motornya hilang padahal lupa naruh. “Panik, lapor ke saya. Setelah saya suruh ingat-ingat, ternyata motornya diparkir di tempat lain. Itu sering banget,” ujarnya. Meski begitu, Beni tak merasa risih. Ia justru menanggapi semua itu dengan ramah, meski tetap berhati-hati. “Yang penting kita tetap tenang. Jangan panik, karena kalau kita panik, mahasiswa tambah bingung.” Bagi Beni, menjadi satpam bukan soal kuasa, tapi soal mengerti bahwa orang datang ke kampus dengan latar belakang berbeda, dan kadang dengan ego yang berbeda juga.
Ketiganya sepakat bahwa menjadi satpam di kampus bukan pekerjaan yang mudah. Mereka kerap menjadi pihak yang disalahkan saat terjadi sesuatu, seperti kehilangan kendaraan atau pelanggaran parkir.

“Padahal kita cuma menjalankan aturan dari lembaga. Tapi kalau ada apa-apa, yang disalahkan duluan ya satpam,” kata Tedi Kusdianto. Ketika ada kegiatan besar, seperti seminar atau acara kampus, tantangan bertambah. “Banyak orang luar masuk, kadang tak mau lapor. Kalau terjadi pencurian atau kehilangan, nama baik kampus juga kena. Jadi kita harus ekstra waspada,” jelas Ardi.
Bahkan ketika mereka ingin menegakkan aturan, mereka tetap dihadapkan pada mahasiswa yang merasa lebih tahu. “Kadang mahasiswa ngerasa benar terus. Enggak semua sih, tapi yang suka ngelanggar itu biasanya enggak terima kalau ditegur,” tambah Beni.

Meski penuh tantangan, mereka tetap setia di pos masing-masing. Karena mereka percaya, tugas yang mereka emban bukan sekadar menjaga pagar atau memarkir kendaraan, tapi menjaga nilai-nilai ketertiban, kedisiplinan, dan keamanan.
“Harusnya kami bukan dianggap musuh. Tapi sahabat mahasiswa,” kata Tedi Kusdianto mantap. “Karena kami menjaga harta kalian juga. Motor kalian, keamanan kalian, itu tanggung jawab kami.” Tambah Beni Hidayat 
Pesan mereka sederhana, namun dalam:
“Saling hargai saja. Kami satpam di sini untuk bantu, bukan untuk mempersulit. Kalau semua mengikuti aturan, kita bisa sama-sama menjaga kampus ini jadi tempat belajar yang aman, nyaman, dan bersahabat.”

Tiga satpam. Tiga cerita. Dari yang lucu hingga mistis, dari yang emosional hingga profesional. Mereka ada di balik layar rutinitas mahasiswa. Bekerja dalam diam, kadang jadi sasaran, tapi tetap berdiri di pos dengan rasa tanggung jawab yang tidak kecil. Mungkin, sudah waktunya mahasiswa menoleh sejenak bukan untuk ditegur, tapi untuk tersenyum dan menyapa balik mereka yang selalu ada di gerbang kampus setiap pagi.

Oleh: Meta Pitriani, Moh. Syahrul Gunawan, Nurhana Alda Fadilah
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kuningan

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

Aku Ingin Indonesia Menjadi Pusat Manufaktur Robotika dan Otomasi Negeri Bangsa

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat manufaktur robotika dan otomasi di kawasan bahkan dunia. Sejak diluncurkannya inisiatif...