Di
kaki Gunung Ciremai, tempat di mana angin membawa aroma hutan dan daun-daun
berbicara lewat bisikan sunyi, berdirilah sebuah destinasi yang tak hanya
menyegarkan tubuh, tetapi juga menyentuh sisi terdalam dari jiwa manusia.
Namanya Cibulan, sebuah kawasan wisata di Desa Manis Kidul, Kabupaten Kuningan,
yang lebih menyerupai napas kehidupan ketimbang sekadar tempat berlibur.
Cibulan
bukanlah tempat yang dibentuk oleh kapital besar atau desain wisata yang
gemerlap. Ia tumbuh dari tangan-tangan warga, dari semangat gotong royong yang
telah hidup bahkan sebelum jalanan desa beraspal. Tak ada investor asing yang
membentuk kolamnya, tak ada kontraktor besar yang menata jalurnya. Yang ada
hanyalah warga desa, yang dengan bangga menyebut Cibulan sebagai rumah, bukan
proyek.
Tempat
ini menyimpan sejarah panjang yang mengendap dalam tenang. Pada abad ke-19,
Cibulan dikenal dengan nama Narayana—tempat peristirahatan para raja dan
bangsawan. Tahun 1939 menjadi tonggak baru ketika Bupati pertama Kuningan
membuka kawasan ini untuk umum. Namun, yang membuatnya tetap hidup hingga kini
bukanlah plakat sejarah, melainkan sumur-sumur tua, mata air yang jernih, dan
ikan-ikan dewa yang berenang bebas sebagai simbol harmoni antara manusia dan
alam.
Setiap
kali mata air itu mengalir, ia membawa bukan hanya kesejukan, tapi juga cerita.
Airnya digunakan warga untuk bertani, mengairi kolam, dan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Setiap dua minggu sekali, kolam dikuras oleh warga sebagai
bentuk kepedulian ekologis, bukan rutinitas mekanis. Mereka merawatnya seolah
merawat tubuh sendiri—dengan lembut, dengan cinta.
Di
antara percikan air dan dedaunan yang jatuh perlahan, berenanglah ikan-ikan
besar bersisik keemasan yang disebut ikan dewa. Mereka bukan sekadar objek
tontonan. Mereka adalah makhluk yang dihormati, dijaga, dan diajarkan sebagai
bagian dari ekosistem kepada anak-anak yang datang belajar. Banyak sekolah
menjadikan Cibulan sebagai laboratorium hidup—tempat di mana ekosistem bukan
teori, melainkan pengalaman nyata.
Namun,
keajaiban Cibulan tak hanya terletak pada alamnya. Di sini, budaya masih
bernapas. Tradisi bulanan seperti superan, dan ritual tahunan kawin cai yang
menyatukan berbagai sumber mata air, terus dirawat sebagai pengingat bahwa
manusia tak pernah berdiri sendiri. Anak-anak muda diajak serta dalam setiap
prosesi, bukan hanya untuk meramaikan, tetapi untuk mewarisi.
Dan
jika ditanya apa yang sesungguhnya menjaga Cibulan tetap utuh, maka jawabannya
adalah manusianya. Setiap pagi, puluhan warga datang membersihkan halaman,
menyapu jalan setapak, menyambut pengunjung, dan mengatur semuanya dengan
senyum yang tak dibuat-buat. Ketika akhir pekan tiba dan pengunjung membanjiri
hingga ribuan orang, mereka tidak mengeluh. Mereka menyebutnya sebagai
amanah—tugas mulia yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bagi
mereka, Cibulan bukan ladang uang. Ia adalah ladang martabat. Hasil dari
penjualan tiket, usaha kuliner, cinderamata, hingga jasa pemandu menjadi denyut
ekonomi desa yang menghidupi banyak keluarga. Tapi lebih dari itu, semua ini
adalah bentuk cinta pada warisan yang tak tergantikan.
Meski
begitu, Cibulan tidak menutup diri dari perkembangan. Fasilitas diperbarui,
pelayanan ditingkatkan. Namun satu hal yang tak pernah berubah adalah komitmen
pada keaslian. Wilayah sekitar mata air sengaja tak dibangun, demi menjaga
ekosistem yang sudah seimbang secara alami. Ketika investor datang membawa
janji wahana dan keuntungan, warga memilih menolak. Mereka sadar bahwa sekali
saja ekosistem rusak, yang hilang bukan hanya pemandangan, tapi nyawa dari
seluruh tempat ini.
Tantangan
tentu tak sedikit. Di tengah derasnya arus wisata buatan yang penuh warna dan
hiburan cepat saji, Cibulan memilih tetap menjadi perahu kayu yang kokoh.
Tenang, tapi tak tergoyahkan. Mereka percaya bahwa keaslian adalah kekuatan,
dan gotong royong adalah fondasi yang tak lekang waktu. Harapan mereka
sederhana: agar pemerintah dan lembaga terkait mendukung bukan dengan beton,
tetapi dengan pendidikan, pelatihan, dan promosi yang mengakar pada nilai-nilai
lokal.
Karena
pada akhirnya, Cibulan bukan hanya tempat. Ia adalah cerita. Ia adalah kolam
yang memantulkan langit dan kehidupan. Ia adalah anak-anak yang tertawa di
pinggir air, ikan-ikan yang berenang dalam sunyi, dan tangan-tangan tua yang
menyapu jalanan dengan hati yang penuh.
Cibulan
tak dibangun dari dana besar. Ia dibangun dari cinta. Dari semangat gotong
royong yang tak bisa dibeli dan kepercayaan bahwa warisan bukan untuk
ditinggalkan, melainkan untuk dirawat bersama.
Datanglah.
Duduklah di pinggir kolam. Dengarkan suara air dan hirup udara yang belum
tercemar. Karena Cibulan tak hanya ingin dikunjungi—ia ingin dikenang.
Disusun
oleh: Dewi Azzahra, Muhammad Rafid Thufail, Ridho Wahyu Nugraha, Sylvi Sylvia
Maharani
0 komentar:
Posting Komentar