Kamis, 26 Juni 2025

Cibulan: Wisata Alam yang Hidup dari Gotong Royong dan Cinta Warisan

 

Di kaki Gunung Ciremai, tempat di mana angin membawa aroma hutan dan daun-daun berbicara lewat bisikan sunyi, berdirilah sebuah destinasi yang tak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga menyentuh sisi terdalam dari jiwa manusia. Namanya Cibulan, sebuah kawasan wisata di Desa Manis Kidul, Kabupaten Kuningan, yang lebih menyerupai napas kehidupan ketimbang sekadar tempat berlibur.

Cibulan bukanlah tempat yang dibentuk oleh kapital besar atau desain wisata yang gemerlap. Ia tumbuh dari tangan-tangan warga, dari semangat gotong royong yang telah hidup bahkan sebelum jalanan desa beraspal. Tak ada investor asing yang membentuk kolamnya, tak ada kontraktor besar yang menata jalurnya. Yang ada hanyalah warga desa, yang dengan bangga menyebut Cibulan sebagai rumah, bukan proyek.

Tempat ini menyimpan sejarah panjang yang mengendap dalam tenang. Pada abad ke-19, Cibulan dikenal dengan nama Narayana—tempat peristirahatan para raja dan bangsawan. Tahun 1939 menjadi tonggak baru ketika Bupati pertama Kuningan membuka kawasan ini untuk umum. Namun, yang membuatnya tetap hidup hingga kini bukanlah plakat sejarah, melainkan sumur-sumur tua, mata air yang jernih, dan ikan-ikan dewa yang berenang bebas sebagai simbol harmoni antara manusia dan alam.

Setiap kali mata air itu mengalir, ia membawa bukan hanya kesejukan, tapi juga cerita. Airnya digunakan warga untuk bertani, mengairi kolam, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap dua minggu sekali, kolam dikuras oleh warga sebagai bentuk kepedulian ekologis, bukan rutinitas mekanis. Mereka merawatnya seolah merawat tubuh sendiri—dengan lembut, dengan cinta.

Di antara percikan air dan dedaunan yang jatuh perlahan, berenanglah ikan-ikan besar bersisik keemasan yang disebut ikan dewa. Mereka bukan sekadar objek tontonan. Mereka adalah makhluk yang dihormati, dijaga, dan diajarkan sebagai bagian dari ekosistem kepada anak-anak yang datang belajar. Banyak sekolah menjadikan Cibulan sebagai laboratorium hidup—tempat di mana ekosistem bukan teori, melainkan pengalaman nyata.

Namun, keajaiban Cibulan tak hanya terletak pada alamnya. Di sini, budaya masih bernapas. Tradisi bulanan seperti superan, dan ritual tahunan kawin cai yang menyatukan berbagai sumber mata air, terus dirawat sebagai pengingat bahwa manusia tak pernah berdiri sendiri. Anak-anak muda diajak serta dalam setiap prosesi, bukan hanya untuk meramaikan, tetapi untuk mewarisi.

Dan jika ditanya apa yang sesungguhnya menjaga Cibulan tetap utuh, maka jawabannya adalah manusianya. Setiap pagi, puluhan warga datang membersihkan halaman, menyapu jalan setapak, menyambut pengunjung, dan mengatur semuanya dengan senyum yang tak dibuat-buat. Ketika akhir pekan tiba dan pengunjung membanjiri hingga ribuan orang, mereka tidak mengeluh. Mereka menyebutnya sebagai amanah—tugas mulia yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Bagi mereka, Cibulan bukan ladang uang. Ia adalah ladang martabat. Hasil dari penjualan tiket, usaha kuliner, cinderamata, hingga jasa pemandu menjadi denyut ekonomi desa yang menghidupi banyak keluarga. Tapi lebih dari itu, semua ini adalah bentuk cinta pada warisan yang tak tergantikan.

Meski begitu, Cibulan tidak menutup diri dari perkembangan. Fasilitas diperbarui, pelayanan ditingkatkan. Namun satu hal yang tak pernah berubah adalah komitmen pada keaslian. Wilayah sekitar mata air sengaja tak dibangun, demi menjaga ekosistem yang sudah seimbang secara alami. Ketika investor datang membawa janji wahana dan keuntungan, warga memilih menolak. Mereka sadar bahwa sekali saja ekosistem rusak, yang hilang bukan hanya pemandangan, tapi nyawa dari seluruh tempat ini.

Tantangan tentu tak sedikit. Di tengah derasnya arus wisata buatan yang penuh warna dan hiburan cepat saji, Cibulan memilih tetap menjadi perahu kayu yang kokoh. Tenang, tapi tak tergoyahkan. Mereka percaya bahwa keaslian adalah kekuatan, dan gotong royong adalah fondasi yang tak lekang waktu. Harapan mereka sederhana: agar pemerintah dan lembaga terkait mendukung bukan dengan beton, tetapi dengan pendidikan, pelatihan, dan promosi yang mengakar pada nilai-nilai lokal.

Karena pada akhirnya, Cibulan bukan hanya tempat. Ia adalah cerita. Ia adalah kolam yang memantulkan langit dan kehidupan. Ia adalah anak-anak yang tertawa di pinggir air, ikan-ikan yang berenang dalam sunyi, dan tangan-tangan tua yang menyapu jalanan dengan hati yang penuh.

Cibulan tak dibangun dari dana besar. Ia dibangun dari cinta. Dari semangat gotong royong yang tak bisa dibeli dan kepercayaan bahwa warisan bukan untuk ditinggalkan, melainkan untuk dirawat bersama.

Datanglah. Duduklah di pinggir kolam. Dengarkan suara air dan hirup udara yang belum tercemar. Karena Cibulan tak hanya ingin dikunjungi—ia ingin dikenang.

Disusun oleh: Dewi Azzahra, Muhammad Rafid Thufail, Ridho Wahyu Nugraha, Sylvi Sylvia Maharani


0 komentar:

Posting Komentar

AKU INGIN INDONESIA BEBAS DARI BULLYING DI ERA SEKOLAH MAUPUN DI DUNIA DIGITAL

Sekolah merupakan institusi penting dalam pembentukan karakter dan pengembangan potensi generasi muda. Didalam nya, siswa diharapkan mempero...