Senin, 23 Juni 2025

Ngomong Sama Diri Sendiri: Wajar atau Gila?

Pernah nggak, kamu lagi jalan sendiri terus ngomel sendiri? Atau sedang stres, lalu berbisik pelan, “Ayo bisa, semangat, ini belum selesai!” Nah, kebiasaan ini sering bikin orang bertanya-tanya: ini gue waras nggak sih? Atau... gue udah gila”

Padahal faktanya, berbicara pada diri sendiri itu bukan hal aneh, bahkan bisa jadi tanda sehat mental—selama tahu batasnya.

Self-talk: Antara Gila dan Strategi Mental

Secara ilmiah, fenomena ini disebut self-talk, yaitu dialog internal atau ucapan yang seseorang tujukan kepada dirinya sendiri. Menurut studi yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology oleh Ethan Kross dan Jason Moser (2014), self-talk—terutama yang menggunakan penyebutan diri dalam kata ganti orang ketiga seperti “Kamu bisa, Meyren!”—dapat membantu individu mengelola stres dan kecemasan dengan lebih baik. Jadi, ini bukan kegilaan, tapi strategi pengaturan emosi!

Self-talk terbagi menjadi dua: positif dan negatif. Self-talk positif bisa memperkuat motivasi, membantu pengambilan keputusan, dan mengurangi kecemasan. Sementara itu, self-talk negatif bisa memperburuk kondisi psikologis, apalagi jika diulang terus-menerus.

Mengapa Kita Suka Ngomong Sendiri?

Menurut American Psychological Association (APA), kebiasaan berbicara kepada diri sendiri terjadi karena otak sedang memproses informasi, memperkuat ingatan, hingga menyusun rencana tindakan. Aktivitas ini merupakan bagian dari mekanisme internal untuk membantu seseorang memahami situasi dan meresponsnya secara lebih terarah.

Argumennya, manusia cenderung merasa lebih tenang ketika bisa “mendengarkan” pikirannya sendiri dalam bentuk suara. Saat kita berbicara dengan diri sendiri, seolah-olah kita sedang menciptakan ruang dialog dalam pikiran untuk memperjelas apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan. Ini membuat emosi terasa lebih ringan, dan keputusan lebih mudah diambil. Bahkan tanpa sadar, banyak orang melakukan ini saat sedang bingung, marah, atau gelisah sebagai bentuk penyaluran emosi secara aman.

Sementara itu, dalam jurnal Early Childhood Research Quarterly oleh Winsler et al. (2003), disebutkan bahwa anak-anak usia 3 hingga 7 tahun secara alami sering berbicara sendiri saat bermain atau menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan bagian dari eksplorasi, pengendalian diri, dan pembentukan pola pikir yang sehat.

Argumen lanjutannya adalah, kebiasaan tersebut sebenarnya tidak hilang saat seseorang tumbuh dewasa hanya berubah bentuk. Jika dulu anak-anak berbicara sambil bermain boneka atau menyusun balok, orang dewasa kini melakukannya dalam bentuk bisikan, gumaman, atau monolog dalam hati. Tetapi tujuannya tetap sama: membantu diri memahami situasi, memberi arahan, dan meredakan tekanan. Maka dari itu, kebiasaan ngomong sendiri sebenarnya adalah bagian dari cara alami manusia untuk berpikir dan mengelola dirinya sendiri dalam diam.

Apa Kata Ilmu Tentang Manfaatnya?

Beberapa manfaat self-talk yang telah diteliti antara lain adalah meningkatkan performa, di mana studi dari Journal of Sport & Exercise Psychology (Theodorakis, 2000) menunjukkan bahwa atlet yang rutin menggunakan self-talk positif mampu meningkatkan fokus dan kinerja fisiknya. Selain itu, self-talk juga terbukti mampu menurunkan stres. Menurut Kross dan Ayduk (2011) dalam jurnal Science, penggunaan distanced self-talk, yaitu berbicara pada diri sendiri dalam orang ketiga, efektif dalam meredam reaksi emosional dalam situasi menekan. Tak hanya itu, self-talk juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena dengan berbicara sendiri, kita sering kali dapat “menyuarakan” pikiran-pikiran yang rumit menjadi lebih jelas, sehingga solusi bisa ditemukan dengan lebih cepat dan terarah. 

Kapan Jadi Tidak Normal?

Meski berbicara pada diri sendiri umumnya merupakan hal yang wajar, ada kondisi tertentu di mana kebiasaan ini bisa menjadi tanda peringatan adanya gangguan psikologis yang lebih serius. Hal ini terutama jika self-talk dilakukan secara intens, tidak terkendali, atau disertai dengan gejala-gejala yang mengganggu fungsi sehari-hari.

Misalnya, jika seseorang terus-menerus berbicara dengan suara keras, bahkan ketika sedang tidak ada situasi yang menuntut refleksi diri, dan ucapannya disertai dengan emosi ekstrem seperti kemarahan, ketakutan, atau kesedihan yang berlebihan, maka ini patut diwaspadai. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya disorganisasi pikiran.

Lebih jauh lagi, jika seseorang mulai mendengar suara-suara yang tidak berasal dari pikirannya sendiri (auditory hallucination), seperti merasa ada yang menyuruh, mengancam, atau mengomentari tindakannya, ini sudah masuk dalam kategori gejala psikosis. Begitu juga ketika seseorang merasa ada sosok lain dalam dirinya, yang seolah-olah nyata dan merasa harus berbicara atau berdiskusi dengannya secara teratur, maka hal ini bisa mengarah pada gangguan seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian disosiatif.

Dalam dunia psikiatri, gejala-gejala seperti itu bukan lagi dianggap sebagai self-talk sehat, melainkan sebagai gangguan persepsi dan identitas. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu relasi sosial, pekerjaan, dan bahkan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pertolongan profesional sangat diperlukan, seperti berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater agar bisa mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.

Bicara Sendiri Itu... Normal Kok!

Jadi, lain kali kalau kamu kepergok ngomong sendiri, jangan buru-buru minder atau merasa aneh. Bisa jadi kamu sedang mengatur pikiran, menenangkan diri, atau memberi semangat yang justru tidak bisa diberikan orang lain.

Psikolog Susan David dalam bukunya Emotional Agility menjelaskan bahwa apa yang kita katakan pada diri sendiri setiap hari bisa sangat memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. Dengan kata lain, dialog internal justru menjadi fondasi penting dalam membentuk kesehatan mental dan ketangguhan emosi.

Maka dari itu, ngomong sama diri sendiri bukanlah tanda gila, tapi bisa jadi cermin dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikirannya sendiri. Asal tahu kapan harus berhenti dan bisa membedakan realita dengan halusinasi, maka kebiasaan ini sangat wajar, bahkan menyehatkan.

Oleh: Nurhana Alda Fadilah

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...