Pernah nggak,
kamu lagi jalan sendiri terus ngomel sendiri? Atau sedang stres, lalu berbisik
pelan, “Ayo bisa, semangat, ini belum selesai!” Nah, kebiasaan ini sering bikin
orang bertanya-tanya: “ini gue waras
nggak sih? Atau... gue udah
gila”
Padahal
faktanya, berbicara pada diri sendiri itu bukan hal aneh, bahkan bisa jadi tanda sehat
mental—selama tahu batasnya.
Self-talk: Antara Gila dan Strategi Mental
Secara ilmiah,
fenomena ini disebut self-talk, yaitu dialog internal atau ucapan yang
seseorang tujukan kepada dirinya sendiri. Menurut studi yang dimuat dalam Journal
of Personality and Social Psychology oleh Ethan Kross dan Jason Moser
(2014), self-talk—terutama yang menggunakan penyebutan diri dalam kata
ganti orang ketiga seperti “Kamu bisa, Meyren!”—dapat membantu individu
mengelola stres dan kecemasan dengan lebih baik. Jadi, ini bukan kegilaan, tapi
strategi pengaturan emosi!
Self-talk terbagi menjadi dua: positif dan negatif. Self-talk positif bisa memperkuat motivasi, membantu
pengambilan keputusan, dan mengurangi kecemasan. Sementara itu, self-talk negatif bisa memperburuk kondisi psikologis,
apalagi jika diulang terus-menerus.
Mengapa
Kita Suka Ngomong Sendiri?
Menurut American
Psychological Association (APA), kebiasaan berbicara kepada diri sendiri
terjadi karena otak sedang memproses informasi, memperkuat ingatan, hingga
menyusun rencana tindakan. Aktivitas ini merupakan bagian dari mekanisme
internal untuk membantu seseorang memahami situasi dan meresponsnya secara
lebih terarah.
Argumennya,
manusia cenderung merasa lebih tenang ketika bisa “mendengarkan” pikirannya
sendiri dalam bentuk suara. Saat kita berbicara dengan diri sendiri,
seolah-olah kita sedang menciptakan ruang dialog dalam pikiran untuk
memperjelas apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan. Ini membuat emosi
terasa lebih ringan, dan keputusan lebih mudah diambil. Bahkan tanpa sadar,
banyak orang melakukan ini saat sedang bingung, marah, atau gelisah sebagai
bentuk penyaluran emosi secara aman.
Sementara itu,
dalam jurnal Early Childhood Research Quarterly oleh Winsler et al.
(2003), disebutkan bahwa anak-anak usia 3 hingga 7 tahun secara alami sering
berbicara sendiri saat bermain atau menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan
bagian dari eksplorasi, pengendalian diri, dan pembentukan pola pikir yang
sehat.
Argumen
lanjutannya adalah, kebiasaan tersebut sebenarnya tidak hilang saat seseorang
tumbuh dewasa hanya berubah bentuk. Jika dulu anak-anak berbicara sambil
bermain boneka atau menyusun balok, orang dewasa kini melakukannya dalam bentuk
bisikan, gumaman, atau monolog dalam hati. Tetapi tujuannya tetap sama:
membantu diri memahami situasi, memberi arahan, dan meredakan tekanan. Maka
dari itu, kebiasaan ngomong sendiri
sebenarnya adalah bagian dari cara alami manusia untuk berpikir dan mengelola
dirinya sendiri dalam diam.
Apa
Kata Ilmu Tentang Manfaatnya?
Beberapa manfaat self-talk yang telah diteliti antara lain adalah meningkatkan performa, di mana studi dari Journal of Sport & Exercise Psychology (Theodorakis, 2000) menunjukkan bahwa atlet yang rutin menggunakan self-talk positif mampu meningkatkan fokus dan kinerja fisiknya. Selain itu, self-talk juga terbukti mampu menurunkan stres. Menurut Kross dan Ayduk (2011) dalam jurnal Science, penggunaan distanced self-talk, yaitu berbicara pada diri sendiri dalam orang ketiga, efektif dalam meredam reaksi emosional dalam situasi menekan. Tak hanya itu, self-talk juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena dengan berbicara sendiri, kita sering kali dapat “menyuarakan” pikiran-pikiran yang rumit menjadi lebih jelas, sehingga solusi bisa ditemukan dengan lebih cepat dan terarah.
Kapan
Jadi Tidak Normal?
Meski berbicara
pada diri sendiri umumnya merupakan hal yang wajar, ada kondisi tertentu di
mana kebiasaan ini bisa menjadi tanda peringatan adanya gangguan psikologis
yang lebih serius. Hal ini terutama jika self-talk dilakukan secara intens, tidak terkendali, atau disertai
dengan gejala-gejala yang mengganggu fungsi sehari-hari.
Misalnya, jika
seseorang terus-menerus berbicara
dengan suara keras, bahkan ketika sedang tidak ada situasi yang menuntut
refleksi diri, dan ucapannya disertai dengan emosi ekstrem seperti kemarahan, ketakutan, atau kesedihan yang
berlebihan, maka ini patut diwaspadai. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya
disorganisasi pikiran.
Lebih jauh
lagi, jika seseorang mulai mendengar
suara-suara yang tidak berasal dari pikirannya sendiri (auditory
hallucination), seperti merasa ada yang menyuruh, mengancam, atau
mengomentari tindakannya, ini sudah masuk dalam kategori gejala psikosis.
Begitu juga ketika seseorang merasa ada sosok
lain dalam dirinya, yang seolah-olah nyata dan merasa harus berbicara
atau berdiskusi dengannya secara teratur, maka hal ini bisa mengarah pada
gangguan seperti skizofrenia atau gangguan
kepribadian disosiatif.
Dalam dunia
psikiatri, gejala-gejala seperti itu bukan lagi dianggap sebagai self-talk sehat, melainkan sebagai gangguan
persepsi dan identitas. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu relasi sosial,
pekerjaan, dan bahkan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena
itu, pertolongan profesional sangat
diperlukan, seperti berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater
agar bisa mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.
Bicara
Sendiri Itu... Normal Kok!
Jadi, lain kali kalau kamu kepergok ngomong sendiri, jangan buru-buru minder atau merasa aneh.
Bisa jadi kamu sedang mengatur pikiran, menenangkan diri, atau memberi semangat
yang justru tidak bisa diberikan orang lain.
Psikolog Susan David dalam bukunya Emotional Agility
menjelaskan bahwa apa yang kita katakan pada diri sendiri setiap hari bisa
sangat memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. Dengan kata
lain, dialog internal justru menjadi fondasi penting dalam membentuk kesehatan
mental dan ketangguhan emosi.
Maka dari itu, ngomong sama diri sendiri bukanlah tanda gila, tapi bisa jadi cermin dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikirannya sendiri. Asal tahu kapan harus berhenti dan bisa membedakan realita dengan halusinasi, maka kebiasaan ini sangat wajar, bahkan menyehatkan.
Oleh: Nurhana Alda Fadilah
0 komentar:
Posting Komentar