Di balik logo hijau berbentuk segitiga panah yang kita temui di botol minuman, kemasan makanan, atau kantong belanja, ada harapan: bahwa plastik yang kita buang akan berubah menjadi barang berguna lagi, dan tidak akan mengotori lautan atau menumpuk di TPA. Itulah narasi daur ulang plastik yang selama ini kita yakini.
Namun, kenyataannya jauh lebih kelam dari yang dibayangkan. Banyak plastik yang kita "daur ulang" sebenarnya tidak pernah benar-benar diproses ulang. Bahkan, sebagian besar plastik hanya berpindah tempat dari tong sampah kota ke negara berkembang atau ke insinerator.
Apakah semua ini hanya
greenwashing? Apakah daur ulang plastik hanya mitos yang dibuat industri agar
kita merasa nyaman? Artikel ini akan membedah ilusi industri hijau dan
mengungkap data yang jarang disorot.
Menurut laporan OECD 2022,
dari total 353
juta ton plastik yang diproduksi secara global setiap tahun,
hanya sekitar 9% yang benar-benar didaur ulang. Sisanya?
·
19%
dibakar (incineration)
·
50%
dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA)
·
22%
bocor ke alam, termasuk sungai dan lautan
Di Indonesia, data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 menunjukkan hanya 14% sampah plastik yang masuk ke
sistem daur ulang formal. Artinya, sebagian besar plastik sekali pakai berakhir
di tempat pembuangan atau lingkungan terbuka.
Fakta penting: Tidak semua plastik bisa didaur ulang. Hanya jenis tertentu seperti PET dan HDPE yang cukup bernilai ekonomis untuk didaur ulang. Sisanya, seperti styrofoam atau plastik laminasi (bungkus makanan ringan), sangat sulit diproses ulang.
2. Daur Ulang Itu Mahal dan Rumit Dan
Industri Tahu Itu
Daur ulang plastik tidak semudah melelehkan
dan membentuk ulang. Ada banyak hambatan teknis dan ekonomi:
· Plastik harus
disortir dengan sangat teliti.
Jika
tercampur, kualitas daur ulang menurun drastis.
· Plastik daur
ulang cenderung lebih mahal
daripada
plastik baru yang terbuat dari minyak bumi.
· Setiap siklus
daur ulang menurunkan kualitas plastik, membuatnya
tidak bisa digunakan berulang kali tanpa bahan tambahan baru.
Itulah sebabnya industri lebih
memilih menggunakan virgin plastic (plastik baru). Lebih murah, lebih bersih,
dan lebih konsisten secara kualitas.
3. Greenwashing: Ilusi "Hijau"
yang Diciptakan Industri
Banyak perusahaan besar menggunakan
narasi daur ulang sebagai strategi pencitraan hijau (greenwashing). Mereka
memasang logo daur ulang, membuat iklan ramah lingkungan, atau memproduksi
kemasan dari "plastik daur ulang" dalam jumlah kecil sambil tetap
memproduksi jutaan kemasan sekali pakai dari plastik baru.
Contoh nyata:
· Beberapa merek besar mengklaim
menggunakan 30% plastik daur ulang, tapi
tidak
menyebut bahwa 70% sisanya tetap virgin plastic.
· Label “dapat didaur ulang” bukan jaminan bahwa barang
tersebut benar-benar akan didaur ulang. Itu hanya menyatakan
“secara teknis bisa”, bukan “secara praktik dilakukan”.
4. Negara Maju Ekspor Sampah Plastik ke
Negara Berkembang
Selama bertahun-tahun,
negara-negara seperti AS, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa mengekspor sampah plastik ke negara
berkembang, termasuk Indonesia. Plastik yang sulit didaur ulang
dikirim ke luar negeri untuk dibakar, ditumpuk, atau dipilah oleh buruh murah. Tahun
2020, Indonesia menerima lebih dari 100.000 ton sampah plastik impor,
banyak di antaranya tercampur dengan limbah berbahaya. Ironisnya, ini membuat
negara-negara kaya terlihat "bersih", sementara beban lingkungan dipindahkan
ke negara berkembang.
5. Lalu, Apa Solusi Nyatanya?
Karena daur ulang bukan solusi
utama, para ahli lingkungan kini mendorong pendekatan reduce dan redesign
mengurangi penggunaan plastik sejak awal, dan mendesain ulang produk agar tidak
membutuhkan kemasan sekali pakai.
Beberapa langkah konkret:
· Mengurangi
konsumsi plastik sekali pakai seperti botol air,
kantong belanja, dan sedotan.
· Mengganti
plastik dengan bahan alternatif seperti kaca, logam,
atau kertas (dengan syarat diproses secara benar).
· Mendorong
kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR):
produsen wajib bertanggung jawab atas sampah dari produk mereka, termasuk
mengambil kembali dan mengolahnya.
Daur ulang plastik bukanlah penipu
dalam arti niat awal, tapi ia menjadi mitos berbahaya ketika dijadikan solusi utama
untuk krisis sampah plastik. Realitasnya, sistem daur ulang global jauh dari
ideal dan sering digunakan untuk meredam rasa bersalah konsumen, sambil
industri terus memproduksi plastik baru dalam skala besar. Jika kita ingin
benar-benar mengurangi polusi plastik, jawabannya bukan membuang botol ke
tempat sampah dengan simbol daur ulang tetapi mengurangi ketergantungan pada plastik sejak
awal.
0 komentar:
Posting Komentar