Senin, 16 Juni 2025

Self-Reward Itu Perlu Banget, atau Cuma Alasan?

 


“Baru ngerjain tugas dua jam, langsung checkout skincare.”

“Baru pulang ngampus, rasanya pantas banget beli kopi mahal.”

 

Kalau kamu Gen Z dan sering ngomong kayak gitu, kamu nggak sendirian. Fenomena self-reward, alias memberi hadiah ke diri sendiri, memang lagi naik daun dikalangan anak muda sekarang. Tapi, benarkah ini bentuk self-care yang sehat? atau justru cuma alibi manis untuk memanjakan diri setiap kali sedikit lelah?

 

Kenapa Self-Reward Jadi Tren di Kalangan Gen Z?

Generasi Z tumbuh di era yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan. Dari tugas kuliah, magang, freelance, sampai harus tetap exist di sosial media, semuanya terjadi bersamaan. Tidak heran jika self-reward jadi bentuk pelarian yang rasanya sah dan menyenangkan.

Banyak dari kita merasa perlu merayakan setiap usaha, sekecil apa pun. Entah itu lewat kopi kekinian, nonton Netflix semalaman, atau impulsive shopping di e-commerce tengah malam. Seolah ada bisikan halus di kepala: “Kamu sudah kerja keras, kamu pantas dapat ini.”

Dan sebenarnya itu tidak salah. Tapi juga tidak selalu benar.

 

Apa Kata Psikologi tentang Self-Reward?

Secara psikologis, memberi penghargaan pada diri sendiri itu sehat. Dalam teori operant conditioning, reward bisa memperkuat perilaku positif. Otak kita belajar untuk mengaitkan usaha dengan kesenangan. Itu sebabnya, self-reward yang terencana bisa jadi motivasi yang efektif.

 

Menurut Psychology Today, self-reward mampu:

·         Menurunkan tingkat stres

·         Meningkatkan semangat untuk menyelesaikan tugas berikutnya

·         Dan memperkuat kebiasaan baik.

 

Tapi, semua itu hanya berlaku jika dilakukan dengan sadar dan proporsional.

 

Masalahnya muncul ketika self-reward berubah jadi coping mechanism yang impulsif. Saat segala bentuk lelah direspon dengan “Healing mahal,” kamu bisa terjebak dalam siklus:

Lelah → Boros → Menyesal → Lelah Lagi.

 

Cara Bijak Melakukan Self-Reward

Boleh kok treat yourself. Tapi jangan sampai hadiah kecil justru jadi pelarian dari rasa tidak nyaman yang belum dihadapi. Yuk, kenali ciri-ciri self-reward yang sehat dan realistis:

1.          Proporsional

Selesai satu to-do list? Rayakan dengan nonton satu episode serial favorit. Tapi kalau baru nulis satu paragraf, mungkin cukup istirahat 10 menit, bukan langsung checkout skincare full set.

2.          Sesuai Kemampuan

Self-reward nggak harus mahal. Jalan sore, masak makanan favorit, journaling, atau dengar playlist santai juga bisa jadi bentuk apresiasi ke diri sendiri.

3.          Bukan Pelarian

Kalau kamu merasa perlu “Hadiah” setiap hari biar semangat, mungkin yang kamu butuhkan bukan treat, tapi istirahat, boundaries yang lebih jelas, atau bahkan ngobrol dengan tenaga profesional.

4.          Sadar Tujuan dan Pola

Tanya ke diri sendiri: “Aku melakukan ini karena aku sudah berjuang, atau karena aku capek dan nggak tahu cara lain buat tenang?” Refleksi kecil ini bisa bantu kamu keluar dari siklus auto-reward yang nggak sehat.

 

Self-reward bisa jadi bentuk self-care yang valid, selama kamu tahu batasnya. Ini bukan soal “boleh atau nggak,” tapi soal sadar atau enggak. Jangan sampai hadiah yang niatnya bikin kamu bahagia, justru bikin kamu makin lelah karena tidak menyelesaikan masalah dari akarnya.

Kamu berhak merayakan usaha sekecil apa pun. Tapi jangan lupa, kadang bentuk cinta paling tulus untuk diri sendiri bukan belanja impulsif, tapi memberi ruang untuk diam, istirahat, dan mengenali apa yang sebenarnya kamu butuhkan.

Karena self-reward terbaik bukan yang mahal, tapi yang menyembuhkan.

 


Oleh: Lena Sulistia Agustrianti (20230110031) 

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...