“Baru ngerjain tugas dua jam, langsung checkout skincare.”
“Baru pulang ngampus, rasanya pantas banget beli kopi
mahal.”
Kalau kamu Gen Z dan sering ngomong kayak gitu, kamu nggak
sendirian. Fenomena self-reward,
alias memberi hadiah ke diri sendiri, memang lagi naik daun dikalangan anak
muda sekarang. Tapi, benarkah ini bentuk self-care
yang sehat? atau justru cuma alibi manis untuk memanjakan diri setiap kali
sedikit lelah?
Kenapa
Self-Reward Jadi Tren di Kalangan Gen Z?
Generasi Z tumbuh di era yang serba cepat, kompetitif, dan
penuh tekanan. Dari tugas kuliah, magang, freelance, sampai harus tetap exist di sosial media, semuanya terjadi
bersamaan. Tidak heran jika self-reward
jadi bentuk pelarian yang rasanya sah dan menyenangkan.
Banyak dari kita merasa perlu merayakan setiap usaha,
sekecil apa pun. Entah itu lewat kopi kekinian, nonton Netflix semalaman, atau impulsive shopping di e-commerce tengah malam. Seolah ada
bisikan halus di kepala: “Kamu sudah kerja keras, kamu pantas dapat ini.”
Dan sebenarnya itu tidak salah. Tapi juga tidak selalu
benar.
Apa Kata
Psikologi tentang Self-Reward?
Secara psikologis, memberi penghargaan pada diri sendiri
itu sehat. Dalam teori operant
conditioning, reward bisa
memperkuat perilaku positif. Otak kita belajar untuk mengaitkan usaha dengan
kesenangan. Itu sebabnya, self-reward
yang terencana bisa jadi motivasi yang efektif.
Menurut Psychology Today, self-reward mampu:
·
Menurunkan tingkat stres
·
Meningkatkan semangat untuk menyelesaikan
tugas berikutnya
·
Dan memperkuat kebiasaan baik.
Tapi, semua itu hanya berlaku jika dilakukan dengan sadar
dan proporsional.
Masalahnya muncul ketika self-reward berubah jadi coping
mechanism yang impulsif. Saat
segala bentuk lelah direspon dengan “Healing
mahal,” kamu bisa terjebak dalam siklus:
Lelah → Boros → Menyesal → Lelah Lagi.
Cara Bijak
Melakukan Self-Reward
Boleh kok treat
yourself. Tapi jangan sampai hadiah kecil justru jadi pelarian dari rasa
tidak nyaman yang belum dihadapi. Yuk, kenali ciri-ciri self-reward yang sehat dan realistis:
1.
Proporsional
Selesai satu to-do
list? Rayakan dengan nonton satu episode serial favorit. Tapi kalau baru
nulis satu paragraf, mungkin cukup istirahat 10 menit, bukan langsung checkout skincare
full set.
2.
Sesuai Kemampuan
Self-reward nggak harus mahal. Jalan sore, masak makanan favorit,
journaling, atau dengar playlist santai juga bisa jadi bentuk apresiasi ke diri
sendiri.
3.
Bukan Pelarian
Kalau kamu merasa perlu “Hadiah” setiap hari biar semangat,
mungkin yang kamu butuhkan bukan treat, tapi istirahat, boundaries yang lebih
jelas, atau bahkan ngobrol dengan tenaga profesional.
4.
Sadar Tujuan dan Pola
Tanya ke diri sendiri: “Aku melakukan ini karena aku sudah
berjuang, atau karena aku capek dan nggak tahu cara lain buat tenang?” Refleksi
kecil ini bisa bantu kamu keluar dari siklus auto-reward yang nggak sehat.
Self-reward bisa jadi bentuk self-care yang valid, selama kamu tahu batasnya. Ini bukan soal
“boleh atau nggak,” tapi soal sadar atau enggak. Jangan sampai hadiah yang
niatnya bikin kamu bahagia, justru bikin kamu makin lelah karena tidak
menyelesaikan masalah dari akarnya.
Kamu berhak merayakan usaha sekecil apa pun. Tapi jangan
lupa, kadang bentuk cinta paling tulus untuk diri sendiri bukan belanja
impulsif, tapi memberi ruang untuk diam, istirahat, dan mengenali apa yang
sebenarnya kamu butuhkan.
Karena self-reward
terbaik bukan yang mahal, tapi yang menyembuhkan.
0 komentar:
Posting Komentar