Kamis, 26 Juni 2025

Pejuang Nafkah: Hangatnya Cilok, Hangatnya Perjuangan Hidup

 


Gerobaknya kecil, rodanya berderit pelan, dan di atasnya hanya ada panci berisi cilok, botol saus kacang, dan tusuk-tusuk bambu. Namun, dari balik gerobak itu, tersembunyi kisah keteguhan dan kasih yang tak henti dibagikan. Ia adalah Pak Samsudin, penjual cilok yang lebih dikenal dengan panggilan Mang Udin, sosok yang tak asing lagi di lingkungan kampus tempat ia berjualan.

Pak Samsudin bukanlah tokoh besar. Ia bukan pemilik usaha kuliner viral, bukan juga pedagang dengan omzet jutaan rupiah per hari. Namun selama lebih dari satu dekade, ia telah menjadi bagian dari keseharian banyak mahasiswa. Tak terhitung berapa banyak anak muda yang mengenalnya, yang menyapanya di sela jam kuliah, dan yang mengaitkan aroma cilok hangat dengan kenangan masa kampus mereka.

Lahir pada tahun 1960, Pak Samsudin kini telah memasuki usia 65 tahun. Di usia yang tak lagi muda, ia tetap berjualan setiap hari. Ia tinggal bersama istrinya di daerah Windusengkahan, sebuah kawasan sederhana yang menjadi saksi rutinitas mereka sejak pagi. Meski hidup berdua tanpa anak, mereka menjalani hari-hari dengan saling melengkapi. Tak ada keluhan, tak ada penyesalan, hanya ucapan syukur yang terus terulang. Kami saling mengayomi.

Keseharian mereka dimulai sejak pukul enam pagi. Istrinya bangun lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Dari berbelanja bahan, mengolah adonan cilok, merebus, meracik sambal kacang, hingga menatanya rapi dalam wadah dagangan semuanya dilakukan oleh sang istri. Sementara itu, Pak Samsudin bersiap mendorong gerobaknya. Biasanya, ia selesai berjualan sekitar pukul satu atau dua siang. Jika dagangan hari itu tidak habis, maka akan ia jual kembali keesokan harinya. Semua dijalani dengan sabar, tanpa merasa harus mengeluh.

Namun sebelum menjual cilok, Pak Samsudin lebih dulu menekuni usaha kacang rebus, yang telah ia jalani sejak tahun 1984. Selama puluhan tahun ia menyusuri jalanan sebagai pedagang kaki lima. Ia tahu rasanya panasnya aspal, dinginnya pagi, dan kerasnya bertahan hidup tanpa jaminan pendapatan. Meski begitu, ia tetap konsisten dan tidak berpaling dari jalan hidupnya.

Baru pada tahun 2011, ia mulai menjual cilok. Saat itu, permintaan jajanan ini mulai meningkat, dan ia pun melihat peluang baru. Sejak saat itu, selama lebih dari 14 tahun, ia terus menjajakan cilok keliling di kawasan kampus yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Pak Samsudin bukan hanya hadir secara fisik di kampus, tapi juga dalam ingatan banyak mahasiswa. Ia menyaksikan generasi demi generasi berganti, dari mahasiswa baru yang pertama kali membeli cilok, hingga mereka yang akhirnya lulus dan bekerja. “Masih ada yang nyapa. Masih kangen,” katanya saat ditanya apakah mahasiswa lama masih mengingatnya.

Ia mengenal mereka bukan hanya sebagai pembeli, tapi sebagai teman dan beberapa di antaranya hanya disebut berdasarkan nama jurusan atau mengingat wajahnya saja. Ia juga mengenal dosen-dosen dan staf kampus yang pernah menjadi pelanggannya. Hubungannya dengan mereka bersifat manusiawi, saling menghormati, dan penuh keakraban. Bagi Pak Samsudin, mereka semua adalah bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Ketika pandemi COVID-19 melanda, ia sempat dilarang masuk kampus. Itu adalah masa sulit. Tidak ada tempat berjualan, tidak ada mahasiswa yang lewat, dan tentu saja tidak ada pendapatan. Meski demikian, ia tidak pernah kehilangan semangat. Ia tetap mencoba berdagang di luar area kampus dan bertahan sebisanya. Setelah pembatasan dilonggarkan, ia kembali hadir di kampus. Mahasiswa-mahasiswa lama yang dulu sering membeli darinya, kini menyapanya kembali. Itu menjadi momen yang sangat berarti baginya.

Penghasilan yang ia dapat dari menjual cilok tidaklah besar. Dalam sehari, ia bisa membawa pulang sekitar Rp200.000 hingga Rp250.000, tergantung seberapa banyak yang terjual. Jumlah itu digunakan untuk makan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tidak ada tabungan berlebih, tidak ada bisnis sampingan. Namun, sekali lagi, ia tak pernah mengeluh.

“Dulu sehari bisa habis. Sekarang dua hari baru habis,” katanya, menggambarkan perubahan daya beli atau mungkin selera pasar yang berubah. Tapi baginya, asalkan masih bisa berjualan, itu sudah cukup. Ia tidak mengejar kekayaan, hanya ingin tetap sehat dan bisa menjalani hidup bersama istrinya.

Yang membuat kisah Pak Samsudin begitu menyentuh adalah ketulusannya. Ia tidak pernah merasa bahwa pekerjaannya itu diposisi yang rendah. Justru sebaliknya, ia bangga bisa bertahan, bisa dikenal, dan bisa memberi kenangan kecil untuk orang lain. Tidak banyak orang yang bisa menjalani hidup dengan cara seperti itu jujur, konsisten, dan tanpa menuntut balasan apa pun.

Menjelang akhir wawancara, Pak Samsudin memberikan pesan untuk para mahasiswa yang menjadi pelanggannya selama ini. Suaranya terdengar ringan tapi sarat makna. “Saya doakan semua mahasiswa saya sukses, sehat selalu, dan cepat dapat kerja,” katanya. Ia tahu mereka datang dan pergi, tapi ia selalu menyisakan tempat dalam doanya untuk mereka.

Di balik setiap tusuk cilok yang ia jual, ternyata terselip doa dan harapan. Ia mungkin tidak punya gelar, tidak punya jabatan, tapi punya hati yang mendoakan setiap mahasiswa yang lewat di hadapannya.

Bagi Pak Samsudin, dagangannya bukan hanya soal makanan. Itu adalah bentuk pengabdian. Ia hadir setiap hari, menyapa dengan senyum, dan diam-diam menjadi bagian dari perjalanan hidup orang lain.

 Pak Samsudin atau Mang Udin adalah satu dari sedikit orang yang hadir tanpa pamrih, tapi memberikan dampak besar. Ia adalah penjaga memori kampus, penyelip doa di antara cilok, dan pengingat bahwa kehidupan tidak harus besar untuk menjadi berarti.

 

Oleh : Kelompok 6 PBSIC-23-01
Anggia Zalfa Afifah 20230110048
Dini Damayanti 20230110032
Khalid Naufal Adani 20230110029
Neneng Nurul Aini 20230110045

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kuningan 


0 komentar:

Posting Komentar

AKU INGIN INDONESIA BEBAS DARI BULLYING DI ERA SEKOLAH MAUPUN DI DUNIA DIGITAL

Sekolah merupakan institusi penting dalam pembentukan karakter dan pengembangan potensi generasi muda. Didalam nya, siswa diharapkan mempero...