Makanan Jadi Model, Kita Jadi Fotografer
Tak bisa dipungkiri, di era digital ini, hampir setiap kali kita duduk di meja makan, ada satu hal yang pasti dilakukan yaitu memotret makanan. Tak peduli apakah itu sepiring nasi goreng sederhana, atau sekedar cemilan kopi dengan kue. Insting pertama yang datang bukan langsung mencicipi, melainkan menekan tombol kamera.
Begitu makanan terhidang, tak jarang kita sudah sibuk dengan ponsel, menata sudut foto terbaik, mencari cahaya yang pas, dan mengatur tampilan makanannya agar instagramable. Tapi, pertanyaannya: Apakah ini budaya baru, atau sekadar kebiasaan yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi?
Generasi Digital dan Identitas Diri
Generasi digital, terutama Generasi Z dan Millennials, tumbuh di dunia yang terhubung dengan internet. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter tidak hanya menjadi platform berbagi foto, tetapi juga ajang untuk menunjukkan identitas diri. Makanan, dengan segala variasinya, menjadi cara mudah untuk berbagi rasa, momen, dan bahkan gaya hidup.
Menurut artikel di IDN Times, banyak orang yang suka memotret makanan sebelum makan karena tampilan makanan yang menarik, serta dorongan untuk membagikan momen di media sosial sebagai bentuk ekspresi diri (IDN Times, 2021)¹. Di sinilah makanan tidak hanya dilihat sebagai kebutuhan biologis, tapi juga sebagai bentuk “konten” yang merepresentasikan gaya hidup.
Kenapa Foto Makanan Jadi Tren
1. Eksistensi di Media Sosial
Foto makanan bukan lagi soal rasa. Seperti yang dijelaskan dalam artikel di Kompasiana, membagikan foto makanan menjadi simbol status dan gaya hidup tertentu, seperti makan di tempat mahal atau menyantap makanan unik (Kompasiana, 2022)². Unggahan makanan bisa menjadi “etalase diri digital”.
2. Sebagai Draft dan Kenangan
Dalam artikel dari JawaPos, dijelaskan bahwa orang yang memotret makanan seringkali ingin mengabadikan momen, bukan sekadar makanannya. Ini membantu mereka mengenang momen tersebut di kemudian hari³. Ketika kita melihat foto makanan di feed, kita seperti “terbawa” ke dalam momen itu lagi.
3. Makanan yang Memanjakan Mata
Banyak tempat makan kini menyajikan makanan dengan estetika tinggi karena sadar akan potensi viral di media sosial. Tren ini bahkan dibahas oleh pakar kuliner Indonesia Fadly Rahman, yang menyebut bahwa dokumentasi makanan bisa menjadi bagian dari ekspresi sosial modern.
Dampak Positif dan Negatif dari Kebiasaan Ini
Positif:
- Meningkatkan Kreativitas:
Menata makanan agar menarik untuk difoto melatih kreativitas visual seseorang. Bahkan, hal ini bisa menjadi profesi, seperti food stylist dan food content creator.
- Sarana Eksplorasi Kuliner:
Berkat unggahan makanan, orang tertarik mencoba tempat makan atau resep baru, membuka peluang bagi UMKM kuliner untuk dikenal lebih luas (Harian Disway, 2023)⁵.
- Mempererat Hubungan Sosial:
Berbagi foto makanan jadi pemicu obrolan ringan, cara menyapa teman, atau mempererat hubungan lewat komentar dan pesan.
Negatif:
- Mengurangi Fokus pada Momen:
Ketika terlalu sibuk mengatur cahaya atau filter, kita bisa kehilangan esensi dari momen makan bersama. Seperti disinggung dalam artikel JawaPos, ini mengurangi mindfulness saat makan³.
- Tekanan Sosial:
Makanan yang tidak fotogenik atau kurang populer kadang dianggap “kurang menarik” di media sosial. Hal ini bisa memberi tekanan pada orang untuk hanya memilih makanan yang “populer” atau Instagrammable, daripada menikmati apa yang mereka sukai.
- Kecanduan Konten:
Ada kalanya foto makanan hanya untuk mengejar likes, bukan untuk mengabadikan kenangan yang benar-benar berarti. Kebiasaan ini dapat mengarah pada kecanduan untuk selalu mendapatkan validasi dari dunia maya.
Pada akhirnya, kebiasaan foto makanan lebih dari sekadar sebuah tren atau kebiasaan. Ini adalah wujud bagaimana kita berinteraksi dengan dunia digital dan membagikan bagian dari hidup kita. Tetapi, kita juga harus mengingat bahwa makanan adalah pengalaman multisensori yang melibatkan lebih dari sekadar visual. Jangan biarkan foto makanan mengalihkan kita dari kenikmatan sejati dari makan itu sendiri.
Cobalah sesekali untuk menjauh dari ponsel, menikmati setiap suapan tanpa gangguan, dan hanya hadir di momen itu. Karena terkadang, kenangan yang paling indah tidak ada dalam foto, tetapi dalam rasa dan kebersamaan yang kita alami.
Ini Budaya atau Kebiasaan?
Kebiasaan foto makanan sebelum makan telah berevolusi menjadi bagian dari budaya digital Indonesia. Ia tidak lagi sekadar hobi sesaat, tapi menjadi bagian dari narasi diri seseorang di dunia maya. Namun, penting untuk diingat: makan adalah pengalaman multisensori, bukan sekadar visual.
0 komentar:
Posting Komentar