Rabu, 04 Juni 2025

“Mie Gacoan dan Budaya Konsumsi Gen Z: Antara Rasa, Eksistensi, dan Algoritma”

 

Di Tengah derasnya tren kuliner di Indonesia, Mie Gacoan telah menjadi lebih dari sekadar restoran mie pedas. Sejak didirikan pada 2016 di Malang, Jawa Timur, Gacoan telah menjelma menjadi ikon budaya populer yang mencerminkan gaya hidup hedonis dan rasa takut ketinggalan zaman (FOMO) di kalangan remaja dan Gen Z. Dengan harga mulai dari Rp9.500 per porsi dan antrean yang bisa mencapai satu jam, apa yang membuat Gacoan begitu digandrungi? Mari kita telusuri bagaimana popularitas Gacoan menjadi cerminan zaman digital.

Ledakan Popularitas Gacoan: Angka dan Fakta

Mie Gacoan, yang dikelola oleh PT Pesta Pora Abadi, telah berkembang pesat dari satu gerai kecil di Malang menjadi lebih dari 115 cabang di seluruh Indonesia hingga awal 2025, termasuk di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Bali. Menurut laporan, Gacoan melayani puluhan ribu pelanggan setiap bulan di setiap wilayah, dengan omzet harian diperkirakan mencapai Rp103,5 juta dari seluruh gerai, menunjukkan kekuatan bisnisnya di sektor kuliner.

Keberhasilan Gacoan juga terlihat dari kehadirannya di media sosial. Pada 2023, Gacoan menjadi salah satu topik yang viral di TikTok dan Instagram, dengan jutaan views untuk konten seperti tantangan makan mie pedas atau ulasan antrean panjang. Bahkan, unggahan di X pada Mei 2025 menunjukkan antusiasme pelanggan terhadap promo diskon Gacoan, dengan postingan seperti “CEK & KLEMMM GACOAN DISKON BANYAK” yang menyebar luas. Media sosial memainkan peran besar: laporan We Are Social mencatat bahwa 143 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Januari 2025, dengan 50,8% menggunakan platform seperti TikTok dan Instagram untuk mencari tren, termasuk kuliner seperti Gacoan.

Hedonisme Gen Z: Gacoan sebagai Gaya Hidup

Bagi Gen Z, makan di Gacoan bukan sekadar soal rasa pedas yang menggigit, tetapi tentang mengejar kesenangan instan dan pengakuan sosial—ciri khas hedonisme modern. Dengan harga terjangkau (mie mulai Rp9.500 hingga Rp11.000 dan dimsum Rp8.000-an), Gacoan menawarkan pengalaman kuliner yang terasa mewah tanpa menguras dompet. Interior yang Instagrammable, seperti dekorasi modern dan pencahayaan estetik, membuat setiap kunjungan jadi momen untuk konten media sosial. Foto mie dengan taburan ayam cincang atau es genderuwo yang unik sering menghiasi Instagram Stories dan TikTok, memperkuat status Gacoan sebagai tempat “wajib dikunjungi.”

Strategi pemasaran Gacoan juga memperkuat sifat hedonis ini. Nama menu yang awalnya bertema horor seperti “Mie Setan” dan “Es Tuyul” (kini diubah menjadi “Mie Hompimpa” dan lainnya untuk sertifikasi halal MUI pada 2022) menciptakan kesan edgy yang cocok dengan jiwa muda. Kolaborasi dengan influencer dan promo seperti flash sale Rp5.000 di aplikasi tertentu membuat Gacoan terasa eksklusif, meski harganya murah. Hal ini mendorong Gen Z untuk berulang kali mengunjungi Gacoan, bukan hanya untuk makan, tetapi untuk merasakan “kepuasan” menjadi bagian dari tren.

FOMO: Antrean Panjang dan Hype Media Sosial

FOMO (Fear of Missing Out) adalah bahan bakar utama di balik antrean panjang Gacoan. Ketika video tantangan makan mie pedas level 8 atau ulasan tentang dimsum udang rambutan viral di TikTok, Gen Z merasa harus ikut mencoba agar tidak ketinggalan momen. Sebuah postingan di X pada 2023 menyebut strategi “queue marketing” Gacoan sebagai kunci kesuksesan: antrean panjang justru jadi bukti bahwa Gacoan adalah tempat yang “harus” dikunjungi. Fenomena ini diperkuat oleh data We Are Social 2025, yang menyebutkan bahwa 50% pengguna media sosial di Indonesia menggunakan platform untuk melihat “hal yang sedang ramai dibicarakan.”

Media sosial seperti TikTok, yang memiliki 1,526 miliar pengguna global dan lebih dari 106,5 juta pengguna di Indonesia pada 2024, menjadi panggung utama untuk hype Gacoan. Konten seperti “first time dine in Gacoan” atau ulasan antrean yang dibagikan di X menunjukkan betapa pengalaman makan di Gacoan jadi bagian dari identitas digital Gen Z. Namun, FOMO ini juga punya sisi negatif: tekanan untuk terus mengikuti tren bisa membuat remaja menghabiskan waktu dan uang berlebihan hanya untuk tetap relevan di lingkaran sosial mereka.

Kontroversi yang Menambah Popularitas

Popularitas Gacoan tidak lepas dari kontroversi yang justru menambah perhatian publik. Pada Januari 2024, sebuah video viral di media sosial menunjukkan adanya belatung di topping mie di cabang Cirebon, memicu kegaduhan di kalangan netizen. Pihak Gacoan merespons dengan investigasi dan permintaan maaf, yang menunjukkan krisis manajemen yang cepat. Ironisnya, kontroversi ini malah meningkatkan eksposur Gacoan di media sosial. Selain itu, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Gacoan Mataram pada 2024, yang diabadikan dalam vlog Instagram, makin memantapkan status Gacoan sebagai kuliner nasional yang “wajib dicoba.”

Dampak dan Refleksi

Gacoan telah mengubah lanskap kuliner Indonesia dengan menyatukan rasa lokal, harga terjangkau, dan estetika modern yang disukai Gen Z. Dengan lebih dari 3.000 karyawan dan ekspansi agresif, Gacoan juga membuka peluang ekonomi baru. Namun, hedonisme dan FOMO yang dipicu oleh popularitas Gacoan bisa mendorong pengeluaran impulsif dan tekanan sosial di kalangan remaja. Gen Z perlu belajar menyeimbangkan antara menikmati tren dan mengelola keuangan serta waktu mereka.

Mie Gacoan adalah cerminan bagaimana kuliner bisa menjadi lebih dari sekadar makanan—ia adalah pengalaman, identitas, dan bagian dari budaya digital. Lain kali kamu melihat antrean panjang di Gacoan atau video viral di TikTok, ingatlah: ini bukan hanya tentang mie pedas, tetapi tentang bagaimana Gen Z menjalani hidup di era media sosial. Jadi, apakah kamu akan ikut antre untuk merasakan hype-nya, atau cukup menikmati dari layar ponselmu?

 

Oleh: Dewi Azzahra 

0 komentar:

Posting Komentar

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan

Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. T...