Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Tulis-Tulis

Hasil Karya Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan.

Sabtu, 28 Juni 2025

Mie Gacoan dan Perubahan Wajah Kawasan: Apakah Nasib Pedagang Kaki Lima Masih Sama?






Kuningan, Jawa Barat, 12 April 2025 – Restoran waralaba Mie Gacoan resmi membuka cabang di Jl. Aruji Kartawinata, Kuningan, pada Sabtu, 12 April 2025. Kehadiran restoran modern ini langsung membawa perubahan besar pada wajah kawasan kuliner yang sebelumnya didominasi pedagang kaki lima.

Sebelum Mie Gacoan hadir, kawasan Jl. Aruji Kartawinata dikenal sebagai pusat jajanan kaki lima. Puluhan pedagang bakmi, dimsum, es cincau, dan makanan tradisional lainnya memenuhi trotoar, menjadi tujuan utama warga dan wisatawan untuk menikmati kuliner khas daerah. Namun sejak pembukaan Mie Gacoan, para pedagang kaki lima mulai merasakan dampak persaingan yang ketat.

Pedagang Bakmi Sansan yang sudah lama berjualan di kawasan tersebut, mengaku omzetnya sempat turun hingga 40 persen pada awal kehadiran Mie Gacoan. “Pertama tambah rame, yang kedua pas awal-awal buka agak ngaruh ke saya si jadi kurang soalnya sama-sama mie kan ya, tapi kan awal-awal doang lama-lama stabil lagi. Tapi mungkin bagi pedagang yang lain semenjak adanya Gacoan ini ada efek kebantunya si dari keramaiannya. Kan mungkin sambil nunggu, jajan dulu yang lain, sampai sekarang kan masih rame yah. Ada sih perubahannya, malah sempat mengurang 40% bagi saya, tapi seiring berjalannya waktu meningkat lagi, ya itu kebantu sama Ceu Epik. Alhamdulillah sekarang naik lagi, ya paling 60-70 porsi saya ngejual. Kalau strategi belum, kita tetap aja sama kok kayak awal-awal buka. Ya mungkin cuma itu keuntungan dari Ceu Epik hadir sendiri di sini tanpa diundang. Harapan ke depannya stabil, soalnya biar tetap ke kitanya rame juga,” jelas Pedagang Bakmi Sansan.

Dari sisi pengunjung, Mie Gacoan menawarkan keunggulan yang sulit disaingi pedagang kaki lima. Rara, salah satu pelanggan, menuturkan, “Kita milih Gacoan karena di sini tempatnya nyaman, bisa buat nongkrong, service-nya bagus, dan murah. Kelebihan Gacoan sendiri kan udah ada SOP-nya, jadi dibandingkan UMKM yang cuma apa adanya dan mereka menjalankan usahanya sendiri, sedangkan di sini kan udah ada karyawan dan sebagainya jadi terstruktur.”

Aldi, pengunjung lainnya, menilai Mie Gacoan punya keunikan rasa dan pilihan level pedas yang tidak ditemukan di jajanan kaki lima. “Mie Gacoan sendiri menurut saya kaya punya ciri khas tersendiri, terus selain rasanya enak, Gacoan juga punya pilihan rasa yang unik, terus punya beberapa pilihan level pedesnya juga, jadi cocok lah buat berbagai selera kita, berbeda dengan jajanan yang ada di UMKM gitu kan cuma gitu-gitu doang, kurang menariklah.”

Meski begitu, kehadiran Mie Gacoan tidak sepenuhnya mematikan usaha kaki lima. Rara menambahkan, “Saya pernah jajan dimsum SR dan juga ada es cincau. Untuk harga dimsum sendiri terbilang cukup murah ya, lima belas ribu seporsi, dan untuk cincau sendiri harganya murah banget, cuma lima ribu tapi rasanya udah enak. Menurut saya sendiri ada plus minusnya ya kak, plus minusnya itu kalo untuk pedagang kaki lima mungkin spotlight-nya ke Mie Gacoan itu negatif ya, tapi kalo misalkan si UMKM atau pedagang kaki limanya kreatif, pedagang sekitar sana juga ikut rame karena kehadiran Gacoan. Misalkan banyak yang ngantri di Gacoan, kan bisa jajan dulu ke sekitar sana gitu.”

Fathan, mahasiswa pendidikan ekonomi, menilai kehadiran Mie Gacoan membawa dampak ganda. “Dampak positifnya meningkatkan pendapatan daerah, karena branding Gacoan kuat dan pajak dari usaha ini cukup besar. Tapi dampak negatifnya, pedagang kaki lima jadi sulit bersaing. Branding dan sistem Gacoan sudah kuat, sementara kaki lima kapasitasnya terbatas. Untuk menyaingi Mie Gacoan, pedagang kaki lima cukup susah, tetapi keduanya punya keunggulan masing-masing. Solusi yang bisa dilakukan adalah pendampingan, inovasi, dan kerjasama, serta akses ke modal usaha.”

Sejak pembukaan Mie Gacoan, omzet pedagang kaki lima sempat menurun tajam, namun seiring waktu, sebagian pedagang mampu beradaptasi dan memanfaatkan keramaian pengunjung Mie Gacoan untuk menarik pembeli baru. Beberapa pedagang bahkan mengaku terbantu karena pelanggan yang menunggu antrean di Mie Gacoan kerap membeli jajanan di sekitar.

Kehadiran restoran waralaba seperti Mie Gacoan memang membawa tantangan bagi pelaku usaha kecil. Namun peluang tetap terbuka bagi pedagang kaki lima yang mampu berinovasi dan beradaptasi. Harapannya, keberagaman usaha di ruang publik tetap terjaga dan semua pelaku ekonomi dapat tumbuh bersama di tengah persaingan yang semakin ketat.

Kehidupan Mengalir di Pasar Baru Kuningan Jawa Barat

Kuningan, 10 Juni 2025 – Pasar Kepuh yang terletak di Kabupaten Kuningan kembali menunjukkan geliat aktivitas warganya. Sejak pagi hari, suasana pasar dipenuhi oleh interaksi antara pedagang dan pembeli yang berlangsung dalam suasana hangat dan dinamis.

Sebagai salah satu pasar tradisional yang masih bertahan di tengah arus modernisasi, Pasar Kepuh memainkan peran penting dalam roda perekonomian masyarakat lokal. Pasar ini menjadi sentra utama distribusi hasil pertanian dan perdagangan sayur-mayur, yang sebagian besar didatangkan langsung dari kebun petani setempat maupun dari pasar induk.

Aktivitas di pasar sudah dimulai bahkan sebelum matahari terbit. Para pedagang datang lebih awal untuk menata dagangan mereka di atas meja-meja kayu sederhana. Berbagai jenis sayuran segar seperti bayam, kangkung, tomat, cabai, hingga daun bawang, tersusun rapi dan menarik perhatian pembeli sejak pagi.

Selain sebagai tempat transaksi jual beli, pasar ini juga menyimpan beragam kisah perjuangan para pedagang kecil. Beberapa di antaranya menggantungkan harapan besar dari hasil berdagang, seperti menyekolahkan anak hingga menabung untuk kehidupan yang lebih layak.

Suasana khas pasar tradisional pun tampak hidup dengan riuhnya proses tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Meski dilakukan dengan santai dan diselingi canda, proses ini mencerminkan nilai-nilai kejujuran dan kedekatan sosial yang masih terjaga erat. “Di pasar ini, semua terasa seperti keluarga. Tak ada sekat antara penjual dan pembeli,” ungkap salah satu pengunjung.

Namun, dinamika ekonomi yang terjadi juga membawa tantangan tersendiri. Beberapa pedagang mengeluhkan penurunan jumlah pembeli saat harga-harga mulai naik.

“Kalau harga sayur lagi naik, pembeli jadi berkurang. Kadang yang biasanya beli dua ikat, jadi cuma satu. Bahkan ada yang batal beli karena mahal,” ujar Ibu Beta. 

Keberadaan pasar tradisional seperti Pasar Kepuh bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, tetapi juga menjadi ruang sosial yang mempererat hubungan antarindividu dan menjaga budaya lokal.

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan pola konsumsi yang semakin instan, Pasar Kepuh masih mampu mempertahankan fungsinya sebagai pusat ekonomi kerakyatan. Aktivitas yang terjadi pada 10 Juni 2025 ini menjadi cermin nyata bahwa tradisi pasar rakyat masih relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Pasar, dengan segala kesederhanaannya, bukan hanya soal harga yang murah. Ia adalah tentang kehangatan, keberlangsungan, dan kisah-kisah kecil yang membentuk wajah besar Indonesia dari akar rumput.


Kelas PBSIC-02-2023 (Siang)

Anggota Kelompok:

1. Dena Widia (20230110051)

2. ⁠Melvindi Mutiara Dewi (20230110037)

3. ⁠M Fikri Al Giffari  (20230110047)

3. ⁠Restu Amelia (20230110027)

4. ⁠Virgio Ardanitya P (20230110034)

Kamis, 26 Juni 2025

CERITA SATPAM : Dianggap Musuh Oleh Mahasiswa?


“Kalau dianggap musuh, ya itu karena mereka melanggar aturan. Padahal kami ini menjaga harta-harta anda semua.” Satpam Universitas Kuningan
Wajah-wajah yang kerap terlihat di pintu gerbang, parkiran, atau di bawah panas matahari sering kali tak benar-benar diperhatikan. Mereka yang berseragam dan berdiri tegak dengan wajah serius. Tapi siapa sangka, di balik tubuh tegap dan suara tegas mereka, tersimpan cerita tentang dedikasi, pengorbanan, bahkan hal-hal tak terduga yang mengundang tawa. Di Universitas Kuningan, tiga satpam dengan kisah dan kepribadian berbeda, bersatu dalam satu panggilan: menjaga keamanan kampus dan kenyamanan semua warganya, terutama mahasiswa.

Tedi Kusdianto telah menjaga kampus sejak tahun 2000, artinya lebih dari 24 tahun ia menyaksikan pergerakan mahasiswa, perubahan sistem, hingga wajah-wajah baru di lingkungan kampus. Pria paruh baya ini tidak menyebut profesinya sebagai pilihan awal. “Ini karena kebutuhan hidup, bukan karena pilihan karier,” ujarnya jujur. Namun, dalam perjalanan waktu, ia membuktikan bahwa keterpaksaan bisa tumbuh menjadi ketulusan.

Ia menceritakan salah satu pengalaman yang tak bisa ia lupakan di mana patroli malam yang berubah menjadi pengalaman spiritual. “Ada aura negatif yang menarik kaki saya, melangkah pun terasa berat. Saya lawan dengan membaca ayat kursi,” tuturnya. Di waktu yang berbeda, ia juga kerap menjadi penengah ketika ada konflik kecil antar mahasiswa atau saat kehilangan barang. Ia percaya, satpam bukan hanya soal menjaga gerbang, tetapi menjaga rasa aman, bahkan ketika rasa aman itu tak selalu tampak.

Berbeda dari Tedi Kusdianto yang lebih senior, Ardi Mardiansyah telah menjadi satpam di UNIKU selama 10 tahun lebih, namun pendekatannya sangat aktif dan berorientasi solusi. Tugas utamanya berfokus pada parkiran, area yang menjadi pusat dinamika antara peraturan dan kebiasaan mahasiswa yang "ngeyel".
“ketika kita dari Satpam sudah mengarahkan ada ya kejadian lucunya gitu bilang mau pulang tapi balik lagi karena dari sininya ada yang jaga lagi dari sebelah fakultas yang mungkin mahasiswa itunya yang mau masuk ke area kelasnya jadi disuruh balik lagi ternyata dia kan bohong ” katanya sambil geleng-geleng kepala. Menurut Ardi, tantangan terbesar bukan hanya soal pelanggaran, tapi bagaimana menyampaikannya dengan cara yang bisa diterima mahasiswa. Ia percaya kunci hubungan baik adalah sopan tapi tegas. “Kalau kita ngomongnya enak, mahasiswa juga enggak akan melawan,” ujarnya.
Namun Ardi juga menyadari bahwa satu kesalahan dari satu satpam bisa merusak nama baik semuanya. “Ada yang disangka galak, lalu semua satpam dianggap sama. Padahal karakter kami beda-beda,” katanya dengan nada tenang.

Beni Hidayat menyebut dirinya sudah dua dekade menjadi satpam di Universitas Kuningan. Ia menyimpan cerita paling lucu sekaligus menyentuh: pernah disangka bujangan oleh mahasiswa. Bahkan sempat diajak main ke rumah mahasiswa karena dikira masih single.
“Padahal saya sudah punya istri!” katanya tertawa lepas.

Namun kisah yang paling sering ia alami adalah mahasiswa yang mengira motornya hilang padahal lupa naruh. “Panik, lapor ke saya. Setelah saya suruh ingat-ingat, ternyata motornya diparkir di tempat lain. Itu sering banget,” ujarnya. Meski begitu, Beni tak merasa risih. Ia justru menanggapi semua itu dengan ramah, meski tetap berhati-hati. “Yang penting kita tetap tenang. Jangan panik, karena kalau kita panik, mahasiswa tambah bingung.” Bagi Beni, menjadi satpam bukan soal kuasa, tapi soal mengerti bahwa orang datang ke kampus dengan latar belakang berbeda, dan kadang dengan ego yang berbeda juga.
Ketiganya sepakat bahwa menjadi satpam di kampus bukan pekerjaan yang mudah. Mereka kerap menjadi pihak yang disalahkan saat terjadi sesuatu, seperti kehilangan kendaraan atau pelanggaran parkir.

“Padahal kita cuma menjalankan aturan dari lembaga. Tapi kalau ada apa-apa, yang disalahkan duluan ya satpam,” kata Tedi Kusdianto. Ketika ada kegiatan besar, seperti seminar atau acara kampus, tantangan bertambah. “Banyak orang luar masuk, kadang tak mau lapor. Kalau terjadi pencurian atau kehilangan, nama baik kampus juga kena. Jadi kita harus ekstra waspada,” jelas Ardi.
Bahkan ketika mereka ingin menegakkan aturan, mereka tetap dihadapkan pada mahasiswa yang merasa lebih tahu. “Kadang mahasiswa ngerasa benar terus. Enggak semua sih, tapi yang suka ngelanggar itu biasanya enggak terima kalau ditegur,” tambah Beni.

Meski penuh tantangan, mereka tetap setia di pos masing-masing. Karena mereka percaya, tugas yang mereka emban bukan sekadar menjaga pagar atau memarkir kendaraan, tapi menjaga nilai-nilai ketertiban, kedisiplinan, dan keamanan.
“Harusnya kami bukan dianggap musuh. Tapi sahabat mahasiswa,” kata Tedi Kusdianto mantap. “Karena kami menjaga harta kalian juga. Motor kalian, keamanan kalian, itu tanggung jawab kami.” Tambah Beni Hidayat 
Pesan mereka sederhana, namun dalam:
“Saling hargai saja. Kami satpam di sini untuk bantu, bukan untuk mempersulit. Kalau semua mengikuti aturan, kita bisa sama-sama menjaga kampus ini jadi tempat belajar yang aman, nyaman, dan bersahabat.”

Tiga satpam. Tiga cerita. Dari yang lucu hingga mistis, dari yang emosional hingga profesional. Mereka ada di balik layar rutinitas mahasiswa. Bekerja dalam diam, kadang jadi sasaran, tapi tetap berdiri di pos dengan rasa tanggung jawab yang tidak kecil. Mungkin, sudah waktunya mahasiswa menoleh sejenak bukan untuk ditegur, tapi untuk tersenyum dan menyapa balik mereka yang selalu ada di gerbang kampus setiap pagi.

Oleh: Meta Pitriani, Moh. Syahrul Gunawan, Nurhana Alda Fadilah
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kuningan

Cibulan: Wisata Alam yang Hidup dari Gotong Royong dan Cinta Warisan

 

Di kaki Gunung Ciremai, tempat di mana angin membawa aroma hutan dan daun-daun berbicara lewat bisikan sunyi, berdirilah sebuah destinasi yang tak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga menyentuh sisi terdalam dari jiwa manusia. Namanya Cibulan, sebuah kawasan wisata di Desa Manis Kidul, Kabupaten Kuningan, yang lebih menyerupai napas kehidupan ketimbang sekadar tempat berlibur.

Cibulan bukanlah tempat yang dibentuk oleh kapital besar atau desain wisata yang gemerlap. Ia tumbuh dari tangan-tangan warga, dari semangat gotong royong yang telah hidup bahkan sebelum jalanan desa beraspal. Tak ada investor asing yang membentuk kolamnya, tak ada kontraktor besar yang menata jalurnya. Yang ada hanyalah warga desa, yang dengan bangga menyebut Cibulan sebagai rumah, bukan proyek.

Tempat ini menyimpan sejarah panjang yang mengendap dalam tenang. Pada abad ke-19, Cibulan dikenal dengan nama Narayana—tempat peristirahatan para raja dan bangsawan. Tahun 1939 menjadi tonggak baru ketika Bupati pertama Kuningan membuka kawasan ini untuk umum. Namun, yang membuatnya tetap hidup hingga kini bukanlah plakat sejarah, melainkan sumur-sumur tua, mata air yang jernih, dan ikan-ikan dewa yang berenang bebas sebagai simbol harmoni antara manusia dan alam.

Setiap kali mata air itu mengalir, ia membawa bukan hanya kesejukan, tapi juga cerita. Airnya digunakan warga untuk bertani, mengairi kolam, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap dua minggu sekali, kolam dikuras oleh warga sebagai bentuk kepedulian ekologis, bukan rutinitas mekanis. Mereka merawatnya seolah merawat tubuh sendiri—dengan lembut, dengan cinta.

Di antara percikan air dan dedaunan yang jatuh perlahan, berenanglah ikan-ikan besar bersisik keemasan yang disebut ikan dewa. Mereka bukan sekadar objek tontonan. Mereka adalah makhluk yang dihormati, dijaga, dan diajarkan sebagai bagian dari ekosistem kepada anak-anak yang datang belajar. Banyak sekolah menjadikan Cibulan sebagai laboratorium hidup—tempat di mana ekosistem bukan teori, melainkan pengalaman nyata.

Namun, keajaiban Cibulan tak hanya terletak pada alamnya. Di sini, budaya masih bernapas. Tradisi bulanan seperti superan, dan ritual tahunan kawin cai yang menyatukan berbagai sumber mata air, terus dirawat sebagai pengingat bahwa manusia tak pernah berdiri sendiri. Anak-anak muda diajak serta dalam setiap prosesi, bukan hanya untuk meramaikan, tetapi untuk mewarisi.

Dan jika ditanya apa yang sesungguhnya menjaga Cibulan tetap utuh, maka jawabannya adalah manusianya. Setiap pagi, puluhan warga datang membersihkan halaman, menyapu jalan setapak, menyambut pengunjung, dan mengatur semuanya dengan senyum yang tak dibuat-buat. Ketika akhir pekan tiba dan pengunjung membanjiri hingga ribuan orang, mereka tidak mengeluh. Mereka menyebutnya sebagai amanah—tugas mulia yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Bagi mereka, Cibulan bukan ladang uang. Ia adalah ladang martabat. Hasil dari penjualan tiket, usaha kuliner, cinderamata, hingga jasa pemandu menjadi denyut ekonomi desa yang menghidupi banyak keluarga. Tapi lebih dari itu, semua ini adalah bentuk cinta pada warisan yang tak tergantikan.

Meski begitu, Cibulan tidak menutup diri dari perkembangan. Fasilitas diperbarui, pelayanan ditingkatkan. Namun satu hal yang tak pernah berubah adalah komitmen pada keaslian. Wilayah sekitar mata air sengaja tak dibangun, demi menjaga ekosistem yang sudah seimbang secara alami. Ketika investor datang membawa janji wahana dan keuntungan, warga memilih menolak. Mereka sadar bahwa sekali saja ekosistem rusak, yang hilang bukan hanya pemandangan, tapi nyawa dari seluruh tempat ini.

Tantangan tentu tak sedikit. Di tengah derasnya arus wisata buatan yang penuh warna dan hiburan cepat saji, Cibulan memilih tetap menjadi perahu kayu yang kokoh. Tenang, tapi tak tergoyahkan. Mereka percaya bahwa keaslian adalah kekuatan, dan gotong royong adalah fondasi yang tak lekang waktu. Harapan mereka sederhana: agar pemerintah dan lembaga terkait mendukung bukan dengan beton, tetapi dengan pendidikan, pelatihan, dan promosi yang mengakar pada nilai-nilai lokal.

Karena pada akhirnya, Cibulan bukan hanya tempat. Ia adalah cerita. Ia adalah kolam yang memantulkan langit dan kehidupan. Ia adalah anak-anak yang tertawa di pinggir air, ikan-ikan yang berenang dalam sunyi, dan tangan-tangan tua yang menyapu jalanan dengan hati yang penuh.

Cibulan tak dibangun dari dana besar. Ia dibangun dari cinta. Dari semangat gotong royong yang tak bisa dibeli dan kepercayaan bahwa warisan bukan untuk ditinggalkan, melainkan untuk dirawat bersama.

Datanglah. Duduklah di pinggir kolam. Dengarkan suara air dan hirup udara yang belum tercemar. Karena Cibulan tak hanya ingin dikunjungi—ia ingin dikenang.

Disusun oleh: Dewi Azzahra, Muhammad Rafid Thufail, Ridho Wahyu Nugraha, Sylvi Sylvia Maharani


Pejuang Nafkah: Hangatnya Cilok, Hangatnya Perjuangan Hidup

 


Gerobaknya kecil, rodanya berderit pelan, dan di atasnya hanya ada panci berisi cilok, botol saus kacang, dan tusuk-tusuk bambu. Namun, dari balik gerobak itu, tersembunyi kisah keteguhan dan kasih yang tak henti dibagikan. Ia adalah Pak Samsudin, penjual cilok yang lebih dikenal dengan panggilan Mang Udin, sosok yang tak asing lagi di lingkungan kampus tempat ia berjualan.

Pak Samsudin bukanlah tokoh besar. Ia bukan pemilik usaha kuliner viral, bukan juga pedagang dengan omzet jutaan rupiah per hari. Namun selama lebih dari satu dekade, ia telah menjadi bagian dari keseharian banyak mahasiswa. Tak terhitung berapa banyak anak muda yang mengenalnya, yang menyapanya di sela jam kuliah, dan yang mengaitkan aroma cilok hangat dengan kenangan masa kampus mereka.

Lahir pada tahun 1960, Pak Samsudin kini telah memasuki usia 65 tahun. Di usia yang tak lagi muda, ia tetap berjualan setiap hari. Ia tinggal bersama istrinya di daerah Windusengkahan, sebuah kawasan sederhana yang menjadi saksi rutinitas mereka sejak pagi. Meski hidup berdua tanpa anak, mereka menjalani hari-hari dengan saling melengkapi. Tak ada keluhan, tak ada penyesalan, hanya ucapan syukur yang terus terulang. Kami saling mengayomi.

Keseharian mereka dimulai sejak pukul enam pagi. Istrinya bangun lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Dari berbelanja bahan, mengolah adonan cilok, merebus, meracik sambal kacang, hingga menatanya rapi dalam wadah dagangan semuanya dilakukan oleh sang istri. Sementara itu, Pak Samsudin bersiap mendorong gerobaknya. Biasanya, ia selesai berjualan sekitar pukul satu atau dua siang. Jika dagangan hari itu tidak habis, maka akan ia jual kembali keesokan harinya. Semua dijalani dengan sabar, tanpa merasa harus mengeluh.

Namun sebelum menjual cilok, Pak Samsudin lebih dulu menekuni usaha kacang rebus, yang telah ia jalani sejak tahun 1984. Selama puluhan tahun ia menyusuri jalanan sebagai pedagang kaki lima. Ia tahu rasanya panasnya aspal, dinginnya pagi, dan kerasnya bertahan hidup tanpa jaminan pendapatan. Meski begitu, ia tetap konsisten dan tidak berpaling dari jalan hidupnya.

Baru pada tahun 2011, ia mulai menjual cilok. Saat itu, permintaan jajanan ini mulai meningkat, dan ia pun melihat peluang baru. Sejak saat itu, selama lebih dari 14 tahun, ia terus menjajakan cilok keliling di kawasan kampus yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Pak Samsudin bukan hanya hadir secara fisik di kampus, tapi juga dalam ingatan banyak mahasiswa. Ia menyaksikan generasi demi generasi berganti, dari mahasiswa baru yang pertama kali membeli cilok, hingga mereka yang akhirnya lulus dan bekerja. “Masih ada yang nyapa. Masih kangen,” katanya saat ditanya apakah mahasiswa lama masih mengingatnya.

Ia mengenal mereka bukan hanya sebagai pembeli, tapi sebagai teman dan beberapa di antaranya hanya disebut berdasarkan nama jurusan atau mengingat wajahnya saja. Ia juga mengenal dosen-dosen dan staf kampus yang pernah menjadi pelanggannya. Hubungannya dengan mereka bersifat manusiawi, saling menghormati, dan penuh keakraban. Bagi Pak Samsudin, mereka semua adalah bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Ketika pandemi COVID-19 melanda, ia sempat dilarang masuk kampus. Itu adalah masa sulit. Tidak ada tempat berjualan, tidak ada mahasiswa yang lewat, dan tentu saja tidak ada pendapatan. Meski demikian, ia tidak pernah kehilangan semangat. Ia tetap mencoba berdagang di luar area kampus dan bertahan sebisanya. Setelah pembatasan dilonggarkan, ia kembali hadir di kampus. Mahasiswa-mahasiswa lama yang dulu sering membeli darinya, kini menyapanya kembali. Itu menjadi momen yang sangat berarti baginya.

Penghasilan yang ia dapat dari menjual cilok tidaklah besar. Dalam sehari, ia bisa membawa pulang sekitar Rp200.000 hingga Rp250.000, tergantung seberapa banyak yang terjual. Jumlah itu digunakan untuk makan dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tidak ada tabungan berlebih, tidak ada bisnis sampingan. Namun, sekali lagi, ia tak pernah mengeluh.

“Dulu sehari bisa habis. Sekarang dua hari baru habis,” katanya, menggambarkan perubahan daya beli atau mungkin selera pasar yang berubah. Tapi baginya, asalkan masih bisa berjualan, itu sudah cukup. Ia tidak mengejar kekayaan, hanya ingin tetap sehat dan bisa menjalani hidup bersama istrinya.

Yang membuat kisah Pak Samsudin begitu menyentuh adalah ketulusannya. Ia tidak pernah merasa bahwa pekerjaannya itu diposisi yang rendah. Justru sebaliknya, ia bangga bisa bertahan, bisa dikenal, dan bisa memberi kenangan kecil untuk orang lain. Tidak banyak orang yang bisa menjalani hidup dengan cara seperti itu jujur, konsisten, dan tanpa menuntut balasan apa pun.

Menjelang akhir wawancara, Pak Samsudin memberikan pesan untuk para mahasiswa yang menjadi pelanggannya selama ini. Suaranya terdengar ringan tapi sarat makna. “Saya doakan semua mahasiswa saya sukses, sehat selalu, dan cepat dapat kerja,” katanya. Ia tahu mereka datang dan pergi, tapi ia selalu menyisakan tempat dalam doanya untuk mereka.

Di balik setiap tusuk cilok yang ia jual, ternyata terselip doa dan harapan. Ia mungkin tidak punya gelar, tidak punya jabatan, tapi punya hati yang mendoakan setiap mahasiswa yang lewat di hadapannya.

Bagi Pak Samsudin, dagangannya bukan hanya soal makanan. Itu adalah bentuk pengabdian. Ia hadir setiap hari, menyapa dengan senyum, dan diam-diam menjadi bagian dari perjalanan hidup orang lain.

 Pak Samsudin atau Mang Udin adalah satu dari sedikit orang yang hadir tanpa pamrih, tapi memberikan dampak besar. Ia adalah penjaga memori kampus, penyelip doa di antara cilok, dan pengingat bahwa kehidupan tidak harus besar untuk menjadi berarti.

 

Oleh : Kelompok 6 PBSIC-23-01
Anggia Zalfa Afifah 20230110048
Dini Damayanti 20230110032
Khalid Naufal Adani 20230110029
Neneng Nurul Aini 20230110045

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kuningan 


Langkah Badut, Langkah Hidup - Kisah Inspiratif di Balik Senyum yang Tak Pernah Pudar




Kuningan, 3 Juni 2025 — Di tengah riuhnya jalanan, sosok berwarna kuning cerah dengan senyuman khas badut Pikachu sering kali menyita perhatian anak-anak. Namun, di balik kostum lucu dan senyuman Pikachu itu, tersembunyi kisah perjuangan seorang pria bernama Rudi, atau yang sering dipanggil sebagai Om Badut.

Rudi, pria 31 tahun asal Sindang Agung, Kabupaten Kuningan, memulai profesinya sebagai badut sejak tahun 2020. Awalnya, pilihan ini bukanlah cita-cita, melainkan jalan cepat terhadap situasi mendesak saat pandemi COVID-19 yang membuat lapangan kerja semakin sempit. “Waktu itu cari kerja susah banget.” ungkapnya, “Jadi, saya kepikiran buat ngebadut aja, yang penting halal.”

Setiap harinya, Rudi memulai aktivitas dari jam 10 pagi hingga malam, kadang sampai pukul 9 malam tergantung cuaca. Lokasi yang selalu ia tempati adalah sekitaran SPBU, terutama SPBU Sindang Agung dan Taman Kota Kuningan, pada saat malam minggu yang cukup ramai pengunjung. Tak jarang ia juga tampil pada saat Car Free Day dan acara tertentu seperti ulang tahun anak-anak. Ia memiliki penghasilan yang tak menentu, berkisar Rp50.000 hingga Rp70.000 per hari. Namun, jika dalam acara ulang tahun bisa mencapai Rp300.000.

Meski mengenakan kostum badut tampak menyenangkan dari luar, kenyataannya tak semudah itu. Kostum yang tebal membuat tubuh cepat panas dan gerah. ”Kalau nggak biasa, sepuluh menit aja udah mau pingsan” katanya sambil tertawa. Tantangan lain yang ia alami adalah stigma sosial, beberapa orang menganggap profesi badut sebagai sesuatu yang rendah, bahkan ia pernah mengalami kejadian yang tak mengenakkan, seperti dianggap mengganggu ketertiban hingga akhirnya diusir.

Namun di balik semua itu, ada kebahagiaan sederhana yang menjadi penunjang semangat Rudi, adalah tawa anak-anak. “Kadang anak kecil suka dorong-dorong badut, kita sampai jatuh dan guling-guling… tapi itu lucu banget, malah bikin senang,” ujarnya. Dekat dengan anak-anak, membuatnya merasa menjadi bagian dari kebahagiaan mereka.

Di sisi lain, Rudi menyadari bahwa pekerjaan ini bukan sesuatu yang bisa ia jalani selamanya. Ia menyimpan harapan untuk memiliki usaha yang lebih mapan di masa depan. ”Saya nggak pengen selamanya ngebadut. Mudah-mudahan ke depannya bisa punya usaha yang lebih layak.”  ujarnya.

Meski hidupnya jauh dari kata mudah, Rudi tetap memegang teguh nilai kejujuran dan kerja keras. Ia ingin menjadi contoh bagi generasi muda. ”Pesan saya, tetap semangat dan jangan malas. Sekolah yang rajin, kejar cita-cita. Jangan sampai nyesel kayak kita-kita ini dulu.” ujarnya dengan senyum.

Kisah Rudi adalah potret nyata tentang daya juang, keteguhan hati, dan semangat bertahan di tengah kesulitan. Lewat kostum badut Pikachu, ia bukan hanya menghibur, tapi juga mengajarkan bahwa setiap kerja keras, sekecil apapun layak dihargai.


Oleh: Dzikri Dwiky Abdilah, Ilham Alparizi, Intan Chaerul Bariyyah, Lena Sulistia Agustrianti.

Kisah Warung Pak Yadi: Bukan Sekedar Tempat Makan, Tapi Keluarga Kedua Bagi Mahasiswa

Di balik asap wangi ayam bakar yang setiap hari mengepul di depan Kampus 2 Universitas Kuningan, tersembunyi kisah sederhana namun menyentuh, milik seorang ibu bernama Bu Yadi. Bersama sang suami, Pak Yadi, ia mengelola sebuah warung makan kecil yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa. Tidak hanya sebagai tempat makan, tetapi juga sebagai ruang nyaman tempat berbagi cerita, keluh kesah, bahkan tawa.

Warung Makan Pak Yadi berdiri sejak tahun 2013. Namun, seperti banyak kisah usaha kecil lainnya, awal mula warung ini bukanlah hasil dari perencanaan bisnis matang, melainkan lahir dari dorongan kebutuhan hidup. Saat itu, Pak Yadi bekerja sebagai security di Kampus 1 Universitas Kuningan, sementara Bu Yadi hanya tinggal di rumah. Melihat peluang dan ingin membantu ekonomi keluarga, Bu Yadi memberanikan diri mulai berjualan ayam. Situasi ini sejalan dengan penelitian dari Kurniawan, Putri, & Ghina (2020), bahwa modal usaha seperti finansial maupun kemampuan ekonomis sering menjadi motivasi utama bagi perempuan berwirausaha karena kebutuhan ekonomi keluarga.

“Daripada nganggur, ya saya coba jualan saja,” tutur Bu Yadi sambil tersenyum. Kala itu, mereka berjualan di area Kampus 1. Namun, beberapa tahun kemudian, warung mereka terpaksa pindah ke Kampus 2 karena konflik keluarga, yaitu lahan tempat mereka berjualan ikut terseret dalam sengketa warisan.

Meski harus pindah lokasi, semangat Bu Yadi dan Pak Yadi tak pernah goyah. Setiap Senin sampai Sabtu, mulai pukul 10 pagi hingga sekitar jam 3 sore, mereka membuka warungnya. Menu andalan mereka adalah satu paket makan yang isinya nasi, ayam bakar atau ayam goreng, kol goreng dan sambal rahasia yang menjadi ciri khas warung makan mereka, dan bisa didapatkan hanya dengan harga Rp10.000/porsi yang tak berubah meski harga bahan pokok terus naik.

“Kami nggak pernah naikin harga. Biar mahasiswa tetap bisa makan enak meski uangnya pas-pasan,” ujarnya.

Di Kampus 2, suasana terasa berbeda. Jika dulu di Kampus 1 pelanggan mereka mayoritas perempuan dan suka berlama-lama ngobrol, kini di Kampus 2 yang lebih banyak mahasiswa laki-laki, semua terasa cepat karena mereka hanya datang, makan, lalu pergi. “Di sini nggak ada yang ngerumpi, kebanyakan cowo” kata Bu Yadi terkekeh.

Namun meski waktunya singkat, relasi mereka dengan pelanggan tak pernah hilang. Ada saja mahasiswa yang curhat tentang kuliah, keluarga, bahkan soal cinta. Tak jarang pula, momen lucu menghiasi hari-hari mereka. Salah satunya adalah ketika seorang mahasiswa yang selama empat tahun menjadi pelanggan setia, tiba-tiba kembali hanya untuk bertanya, “Bu, nama Ibu sebenarnya siapa?” ujar Bu Yadi. Selain sebagai tempat makan, tempat ini juga menjadi ruang interaksi sosial penting bagi mahasiswa. Seperti dalam penelitian studi kasus Ishomuddin, Idris, dan Adi (2024), bahwa interaksi mahasiswa di kafe atau warung menciptakan pola kerja sama untuk tujuan bersama seperti diskusi tugas, berbagi informasi, maupun saling memberi dukungan emosional 

Dulu, saat masih di Kampus 1, mereka bisa menghabiskan hingga 50 kg ayam dalam sehari. Kini, di lokasi baru, penjualan berkisar antara 20 sampai 30 kg. Meski begitu, hasil jualan tetap cukup untuk menghidupi keluarga. Yang paling penting bagi Bu Yadi bukanlah besar kecilnya pemasukan, melainkan rasa berkah yang ia rasakan dari pekerjaan ini.

“Yang penting usaha ini berkah” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Ketika ditanya soal rencana ke depan, Bu Yadi mengaku masih berharap bisa kembali berjualan di Kampus 1 jika ada lahan yang memungkinkan. Namun, ia tidak muluk-muluk. Baginya, selama bisa terus memasak dan melayani mahasiswa, itu sudah cukup.

“Semangat kuliahnya, fokus, lulus, terus jadi sarjana” pesannya untuk semua mahasiswa yang pernah dan masih mampir di warungnya. Warung Makan Pak Yadi memang sederhana. Namun dari tempat itu, tak hanya perut yang kenyang. Hati pun hangat dan tenang. Ia menjadi saksi diam dari perjuangan para mahasiswa, sekaligus cermin ketulusan dan kerja keras seorang ibu yang tak kenal lelah.


Referensi

Ishomuddin, F. N., Idris, I., & Adi, K. R. (2024). INTERAKSI SOSIAL MAHASISWA DI WARUNG KOPI (STUDI KASUS DI WARUNG KOPI ALAMMALAM). Jurnal Integrasi Dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial, 4(10), 3. https://doi.org/10.17977/um063v4i10p3.

Kurniawan, A., Putri, M. K., & Ginanjar, A. (2020). Identifikasi Motivasi Dan Hambatan Pada Wanita Pengusaha (studi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Kota Depok). Proceedings of Management, 7(1). 


Ditulis oleh: Alisa, Muhammad Rifqi Hidayat, Nayla Lailatul Mardiyah, Rossy Dwi Indriani


Selasa, 24 Juni 2025

Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Menghidupkan Harapan



Di sela-sela deru kendaraan dan riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, sepasang tangan sibuk menata dagangan di atas trotoar sempit. Tak ada atap permanen, hanya payung lusuh penangkal terik dan hujan. Namun dari tempat itulah, pedagang kaki lima menggantungkan harapan. Bukan sekadar mencari nafkah, tapi merajut mimpi tentang pendidikan anak, rumah yang lebih layak, hingga kehidupan yang lebih tenang. Langkah mereka mungkin kecil, tapi semangatnya menghidupi denyut kota ini.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Jawa Barat Pada tahun 2023, tercatat 16.485 unit usaha mikro dan kecil di Kabupaten Kuningan, mayoritas berupa pedagang kaki lima. Di balik angka tersebut, tersimpan perjuangan berat menghadapi keterbatasan modal, cuaca tak menentu, dan persaingan yang ketat. Meski menjadi tulang punggung ekonomi lokal, kehidupan mereka tetap rapuh dan sangat membutuhkan dukungan untuk bertahan dan berkembang.

Salah satu pedagang yang ditemui di lokasi mengungkapkan bahwa dirinya mulai berjualan di tempat tersebut sejak tahun 2021. Sebelumnya, ia sempat berjualan di sisi barat area itu, namun kemudian memutuskan untuk pindah ke lokasi sekarang demi mendapatkan tempat yang lebih strategis dan ramai pengunjung. “Awalnya saya bukan berjualan di sini, tapi di barat. Lalu pindah ke sini tahun 2021,” ujarnya. Ia mengaku cukup nyaman berjualan di lokasi saat ini meskipun tetap ada tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kondisi cuaca. Salah satu pedagang lainnya mengatakan bahwa meskipun secara umum tidak ada kesulitan besar dalam berdagang, namun ketika cuaca tidak mendukung seperti hujan deras yang turun dari siang hingga malam, aktivitas jual beli menjadi sangat sepi. “Kalau hujan dari siang sampai malam, ya begini lah resikonya orang dagang. Pembeli jadi malas keluar rumah,” tuturnya sambil merapikan barang dagangannya. Kondisi ini membuat para pedagang harus bersabar dan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menarik minat pelanggan di tengah cuaca yang tidak bersahabat.

Selain persoalan cuaca, ketersediaan tempat untuk berjualan juga menjadi perhatian penting bagi para pedagang. Seorang pedagang yang sudah berjualan selama lima tahun berharap agar pemerintah dapat memperhatikan kebutuhan para pelaku usaha kecil dengan menyediakan lahan atau tempat yang lebih luas dan layak. “Kalau bisa sih memperbanyak lahannya, supaya semua pedagang punya tempat berjualan yang layak,” katanya. Ia menilai bahwa ketersediaan tempat usaha yang memadai merupakan salah satu bentuk dukungan nyata dari pemerintah terhadap pengembangan ekonomi rakyat kecil.

Tak hanya itu, bagi sebagian pedagang, usaha yang mereka jalankan ini bukan sekadar mencari nafkah harian, melainkan juga sebagai harapan untuk masa depan keluarga. Salah seorang pedagang dengan penuh semangat menyampaikan harapannya agar usahanya bisa berkembang dan membuka cabang baru di masa depan. “Semoga saya bisa menambah cabang untuk menghidupi keluarga,” ujarnya sambil tersenyum. Harapan tersebut mencerminkan semangat dan tekad para pelaku usaha kecil dalam membangun kehidupan yang lebih baik, meski di tengah keterbatasan dan tantangan yang mereka hadapi setiap hari.

Di balik asap gorengan dan tumpukan piring plastik, tersimpan harapan yang tak pernah padam.
Bagi mereka, dagangan ini bukan sekadar soal makan, tapi tentang martabat, mimpi, dan masa depan.

Maka, saat kita menikmati makanan kaki lima, mari kita lihat lebih dalam. Ada tangan-tangan gigih yang bekerja, dan ada harapan yang terus menyala.

Senin, 23 Juni 2025

Ngomong Sama Diri Sendiri: Wajar atau Gila?

Pernah nggak, kamu lagi jalan sendiri terus ngomel sendiri? Atau sedang stres, lalu berbisik pelan, “Ayo bisa, semangat, ini belum selesai!” Nah, kebiasaan ini sering bikin orang bertanya-tanya: ini gue waras nggak sih? Atau... gue udah gila”

Padahal faktanya, berbicara pada diri sendiri itu bukan hal aneh, bahkan bisa jadi tanda sehat mental—selama tahu batasnya.

Self-talk: Antara Gila dan Strategi Mental

Secara ilmiah, fenomena ini disebut self-talk, yaitu dialog internal atau ucapan yang seseorang tujukan kepada dirinya sendiri. Menurut studi yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology oleh Ethan Kross dan Jason Moser (2014), self-talk—terutama yang menggunakan penyebutan diri dalam kata ganti orang ketiga seperti “Kamu bisa, Meyren!”—dapat membantu individu mengelola stres dan kecemasan dengan lebih baik. Jadi, ini bukan kegilaan, tapi strategi pengaturan emosi!

Self-talk terbagi menjadi dua: positif dan negatif. Self-talk positif bisa memperkuat motivasi, membantu pengambilan keputusan, dan mengurangi kecemasan. Sementara itu, self-talk negatif bisa memperburuk kondisi psikologis, apalagi jika diulang terus-menerus.

Mengapa Kita Suka Ngomong Sendiri?

Menurut American Psychological Association (APA), kebiasaan berbicara kepada diri sendiri terjadi karena otak sedang memproses informasi, memperkuat ingatan, hingga menyusun rencana tindakan. Aktivitas ini merupakan bagian dari mekanisme internal untuk membantu seseorang memahami situasi dan meresponsnya secara lebih terarah.

Argumennya, manusia cenderung merasa lebih tenang ketika bisa “mendengarkan” pikirannya sendiri dalam bentuk suara. Saat kita berbicara dengan diri sendiri, seolah-olah kita sedang menciptakan ruang dialog dalam pikiran untuk memperjelas apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan. Ini membuat emosi terasa lebih ringan, dan keputusan lebih mudah diambil. Bahkan tanpa sadar, banyak orang melakukan ini saat sedang bingung, marah, atau gelisah sebagai bentuk penyaluran emosi secara aman.

Sementara itu, dalam jurnal Early Childhood Research Quarterly oleh Winsler et al. (2003), disebutkan bahwa anak-anak usia 3 hingga 7 tahun secara alami sering berbicara sendiri saat bermain atau menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan bagian dari eksplorasi, pengendalian diri, dan pembentukan pola pikir yang sehat.

Argumen lanjutannya adalah, kebiasaan tersebut sebenarnya tidak hilang saat seseorang tumbuh dewasa hanya berubah bentuk. Jika dulu anak-anak berbicara sambil bermain boneka atau menyusun balok, orang dewasa kini melakukannya dalam bentuk bisikan, gumaman, atau monolog dalam hati. Tetapi tujuannya tetap sama: membantu diri memahami situasi, memberi arahan, dan meredakan tekanan. Maka dari itu, kebiasaan ngomong sendiri sebenarnya adalah bagian dari cara alami manusia untuk berpikir dan mengelola dirinya sendiri dalam diam.

Apa Kata Ilmu Tentang Manfaatnya?

Beberapa manfaat self-talk yang telah diteliti antara lain adalah meningkatkan performa, di mana studi dari Journal of Sport & Exercise Psychology (Theodorakis, 2000) menunjukkan bahwa atlet yang rutin menggunakan self-talk positif mampu meningkatkan fokus dan kinerja fisiknya. Selain itu, self-talk juga terbukti mampu menurunkan stres. Menurut Kross dan Ayduk (2011) dalam jurnal Science, penggunaan distanced self-talk, yaitu berbicara pada diri sendiri dalam orang ketiga, efektif dalam meredam reaksi emosional dalam situasi menekan. Tak hanya itu, self-talk juga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena dengan berbicara sendiri, kita sering kali dapat “menyuarakan” pikiran-pikiran yang rumit menjadi lebih jelas, sehingga solusi bisa ditemukan dengan lebih cepat dan terarah. 

Kapan Jadi Tidak Normal?

Meski berbicara pada diri sendiri umumnya merupakan hal yang wajar, ada kondisi tertentu di mana kebiasaan ini bisa menjadi tanda peringatan adanya gangguan psikologis yang lebih serius. Hal ini terutama jika self-talk dilakukan secara intens, tidak terkendali, atau disertai dengan gejala-gejala yang mengganggu fungsi sehari-hari.

Misalnya, jika seseorang terus-menerus berbicara dengan suara keras, bahkan ketika sedang tidak ada situasi yang menuntut refleksi diri, dan ucapannya disertai dengan emosi ekstrem seperti kemarahan, ketakutan, atau kesedihan yang berlebihan, maka ini patut diwaspadai. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya disorganisasi pikiran.

Lebih jauh lagi, jika seseorang mulai mendengar suara-suara yang tidak berasal dari pikirannya sendiri (auditory hallucination), seperti merasa ada yang menyuruh, mengancam, atau mengomentari tindakannya, ini sudah masuk dalam kategori gejala psikosis. Begitu juga ketika seseorang merasa ada sosok lain dalam dirinya, yang seolah-olah nyata dan merasa harus berbicara atau berdiskusi dengannya secara teratur, maka hal ini bisa mengarah pada gangguan seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian disosiatif.

Dalam dunia psikiatri, gejala-gejala seperti itu bukan lagi dianggap sebagai self-talk sehat, melainkan sebagai gangguan persepsi dan identitas. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu relasi sosial, pekerjaan, dan bahkan keselamatan diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pertolongan profesional sangat diperlukan, seperti berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiater agar bisa mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat.

Bicara Sendiri Itu... Normal Kok!

Jadi, lain kali kalau kamu kepergok ngomong sendiri, jangan buru-buru minder atau merasa aneh. Bisa jadi kamu sedang mengatur pikiran, menenangkan diri, atau memberi semangat yang justru tidak bisa diberikan orang lain.

Psikolog Susan David dalam bukunya Emotional Agility menjelaskan bahwa apa yang kita katakan pada diri sendiri setiap hari bisa sangat memengaruhi bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. Dengan kata lain, dialog internal justru menjadi fondasi penting dalam membentuk kesehatan mental dan ketangguhan emosi.

Maka dari itu, ngomong sama diri sendiri bukanlah tanda gila, tapi bisa jadi cermin dari kemampuan seseorang dalam mengelola pikirannya sendiri. Asal tahu kapan harus berhenti dan bisa membedakan realita dengan halusinasi, maka kebiasaan ini sangat wajar, bahkan menyehatkan.

Oleh: Nurhana Alda Fadilah

Senin, 16 Juni 2025

#KaburAjaDulu: Ketika Anak Muda Merasa Pergi adalah Solusi

 


Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Lebih dari sekadar tren viral, tagar ini mencerminkan keresahan mendalam generasi muda Indonesia terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang mereka hadapi saat ini. Banyak anak muda merasa terjebak dalam situasi yang stagnan, dan keinginan untuk “kabur” atau mencari peluang di luar negeri pun semakin kuat.

Salah satu penyebab utamanya adalah terbatasnya lapangan kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk kelompok usia 15–24 tahun mencapai 17,32%, menjadikannya kelompok usia dengan tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya tingkat gaji yang diterima oleh pekerja muda. Laporan BPS pada Februari 2025 mencatat bahwa rata-rata upah/gaji buruh atau karyawan di Indonesia hanya sekitar Rp3,09 juta per bulan, jumlah yang dianggap tidak memadai jika dibandingkan dengan biaya hidup yang terus meningkat. Selain itu, sistem pendidikan dan dunia kerja dinilai belum cukup menghargai kreativitas dan inovasi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, bahkan menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini kurang mengapresiasi kreativitas, yang berdampak pada rendahnya penghargaan terhadap lulusan perguruan tinggi maupun inovator muda.

Fenomena #KaburAjaDulu ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya brain drain, yaitu migrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Kita bisa kehilangan banyak talenta unggul karena mereka lebih memilih berkarier di luar negeri, di mana prospek masa depan dinilai lebih menjanjikan. Kurangnya tenaga ahli dalam negeri bisa menghambat inovasi dan memperlambat pertumbuhan industri lokal, sehingga membuat Indonesia semakin sulit bersaing secara global. Selain itu, kesenjangan kesejahteraan pun bisa semakin melebar karena kualitas sumber daya manusia yang tertinggal di dalam negeri menjadi timpang.

Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya langkah konkret dari berbagai pihak. Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dengan menyesuaikan upah terhadap inflasi dan biaya hidup. Lingkungan kerja yang kompetitif dan adil harus diciptakan untuk mendorong inovasi serta memberikan kesempatan setara bagi semua kalangan. Pendidikan juga harus diperkuat, dengan memberikan akses yang lebih luas terhadap beasiswa dan fasilitas belajar yang memadai, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. Tak kalah penting, penyederhanaan birokrasi menjadi langkah strategis untuk mengurangi hambatan administratif yang selama ini menghambat pengembangan karier dan usaha.

Pada akhirnya, fenomena #KaburAjaDulu adalah refleksi nyata dari aspirasi generasi muda yang mendambakan masa depan yang lebih baik. Ini menjadi sinyal penting bahwa Indonesia perlu segera berbenah, agar anak mudanya tidak perlu merasa bahwa satu-satunya cara untuk berkembang adalah dengan meninggalkan tanah air. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersinergi menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan, inovasi, dan kesejahteraan generasi muda.


Oleh: Muhamad Rafid Thufail

Self-Reward Itu Perlu Banget, atau Cuma Alasan?

 


“Baru ngerjain tugas dua jam, langsung checkout skincare.”

“Baru pulang ngampus, rasanya pantas banget beli kopi mahal.”

 

Kalau kamu Gen Z dan sering ngomong kayak gitu, kamu nggak sendirian. Fenomena self-reward, alias memberi hadiah ke diri sendiri, memang lagi naik daun dikalangan anak muda sekarang. Tapi, benarkah ini bentuk self-care yang sehat? atau justru cuma alibi manis untuk memanjakan diri setiap kali sedikit lelah?

 

Kenapa Self-Reward Jadi Tren di Kalangan Gen Z?

Generasi Z tumbuh di era yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tekanan. Dari tugas kuliah, magang, freelance, sampai harus tetap exist di sosial media, semuanya terjadi bersamaan. Tidak heran jika self-reward jadi bentuk pelarian yang rasanya sah dan menyenangkan.

Banyak dari kita merasa perlu merayakan setiap usaha, sekecil apa pun. Entah itu lewat kopi kekinian, nonton Netflix semalaman, atau impulsive shopping di e-commerce tengah malam. Seolah ada bisikan halus di kepala: “Kamu sudah kerja keras, kamu pantas dapat ini.”

Dan sebenarnya itu tidak salah. Tapi juga tidak selalu benar.

 

Apa Kata Psikologi tentang Self-Reward?

Secara psikologis, memberi penghargaan pada diri sendiri itu sehat. Dalam teori operant conditioning, reward bisa memperkuat perilaku positif. Otak kita belajar untuk mengaitkan usaha dengan kesenangan. Itu sebabnya, self-reward yang terencana bisa jadi motivasi yang efektif.

 

Menurut Psychology Today, self-reward mampu:

·         Menurunkan tingkat stres

·         Meningkatkan semangat untuk menyelesaikan tugas berikutnya

·         Dan memperkuat kebiasaan baik.

 

Tapi, semua itu hanya berlaku jika dilakukan dengan sadar dan proporsional.

 

Masalahnya muncul ketika self-reward berubah jadi coping mechanism yang impulsif. Saat segala bentuk lelah direspon dengan “Healing mahal,” kamu bisa terjebak dalam siklus:

Lelah → Boros → Menyesal → Lelah Lagi.

 

Cara Bijak Melakukan Self-Reward

Boleh kok treat yourself. Tapi jangan sampai hadiah kecil justru jadi pelarian dari rasa tidak nyaman yang belum dihadapi. Yuk, kenali ciri-ciri self-reward yang sehat dan realistis:

1.          Proporsional

Selesai satu to-do list? Rayakan dengan nonton satu episode serial favorit. Tapi kalau baru nulis satu paragraf, mungkin cukup istirahat 10 menit, bukan langsung checkout skincare full set.

2.          Sesuai Kemampuan

Self-reward nggak harus mahal. Jalan sore, masak makanan favorit, journaling, atau dengar playlist santai juga bisa jadi bentuk apresiasi ke diri sendiri.

3.          Bukan Pelarian

Kalau kamu merasa perlu “Hadiah” setiap hari biar semangat, mungkin yang kamu butuhkan bukan treat, tapi istirahat, boundaries yang lebih jelas, atau bahkan ngobrol dengan tenaga profesional.

4.          Sadar Tujuan dan Pola

Tanya ke diri sendiri: “Aku melakukan ini karena aku sudah berjuang, atau karena aku capek dan nggak tahu cara lain buat tenang?” Refleksi kecil ini bisa bantu kamu keluar dari siklus auto-reward yang nggak sehat.

 

Self-reward bisa jadi bentuk self-care yang valid, selama kamu tahu batasnya. Ini bukan soal “boleh atau nggak,” tapi soal sadar atau enggak. Jangan sampai hadiah yang niatnya bikin kamu bahagia, justru bikin kamu makin lelah karena tidak menyelesaikan masalah dari akarnya.

Kamu berhak merayakan usaha sekecil apa pun. Tapi jangan lupa, kadang bentuk cinta paling tulus untuk diri sendiri bukan belanja impulsif, tapi memberi ruang untuk diam, istirahat, dan mengenali apa yang sebenarnya kamu butuhkan.

Karena self-reward terbaik bukan yang mahal, tapi yang menyembuhkan.

 


Oleh: Lena Sulistia Agustrianti (20230110031) 

Aku Ingin Masyarakat Indonesia Serius Mengikis Pembajakan Buku

  Pendahuluan   Obral buku bajakan akan tetap laris terutama ketika harga buku asli dirasa begitu mencekik. Situasi ini kerap dialami ol...